Gapura Kamponk Tionghoa di Sanggau: Bukti Di Mana Saja Tionghoa Bikin Jejak Pendaratan dan Migrasi

Sanggau, Kapuas, Dara Nante, Babai Cinga, Hakka, Tionghoa, gapura, kampung, toapekong, Kamponk Tionghoa, Kalimantan Barat, Borneo, Dayak

 

Gapura Kamponk Tionghoa di Jalan Kapuas, Sanggau.
Gapura Kamponk Tionghoa  di Sanggau. Dok. Masri Sareb Putra.

SANGGAU, KALBAR - dayaktoday.comArtefak sejarah seperti gapura, monumen, toapekong, dan kampung Cina merupakan bukti nyata kedatangan serta akulturasi masyarakat Tiongkok di Nusantara. 

Di Sanggau, Kalimantan Barat, keberadaan komunitas Hakka telah menjadi bagian dari sejarah panjang Bumi Daranante-Babai Cinga.

Mereka tidak hanya membawa budaya, tetapi juga keterampilan bertani, berdagang, serta membangun infrastruktur sosial dan ekonomi. Kelenteng di Jalan Kartini, Sanggau, misalnya, menjadi salah satu saksi bisu bagaimana masyarakat Hakka mempertahankan identitas budaya mereka sambil beradaptasi dengan lingkungan lokal.

Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah

Bukti kedatangan orang Tiongkok ke Nusantara

Di sisi lain, interaksi mereka dengan penduduk asli, termasuk orang Dayak dan Melayu, membentuk lanskap sosial yang unik di Kalimantan Barat. Tradisi, bahasa, dan bahkan arsitektur yang mereka tinggalkan menjadi warisan yang terus hidup hingga kini.

Gapura Kamponk Tionghoa di Jalan Kapuas berdiri tegak, sebagai pintu menuju sebuah kisah yang telah lama terlupakan. Sebuah kisah yang bermula dari permusuhan dan persatuan, dari darah yang tertumpah hingga janji-janji yang diambil kembali oleh takdir. 

Gapura itu adalah lebih dari sekadar batu bata dan semen, ia adalah penjaga rahasia yang tersembunyi dalam setiap goresan sejarah. Di balik gapura itu, di dalam darah yang mengalir, terdapat sebuah warisan yang lebih tua dari tanah Borneo itu sendiri. Pedang Langit dan Bumi, senjata legendaris yang dikatakan mampu mengubah takdir siapa pun yang memilikinya, tersembunyi jauh di dalamnya. 

Namun, di balik keheningan malam, ketegangan mulai memuncak. Konflik yang telah lama terpendam, antara dua etnis yang seharusnya hidup berdampingan, kini terancam kembali membakar Borneo. Para penjaga Gapura mendengar bisikan dari langit, bisikan yang datang dari seorang dewa yang telah lama diam. 

Baca Autochthonous sebagai Sistem Kepercayaan Asli Orang Dayak

"Di bawah langit yang sama, kalian adalah bagian dari bumi yang berbeda. Namun, dalam tiap darah yang mengalir, dalam tiap napas yang dihela, ada satu takdir yang akan mempersatukan kalian." 

Bara, seorang pemuda keturunan Macan Gaikng, baru saja menyelesaikan pelatihan terakhirnya dalam ilmu silat yang diwariskan oleh leluhurnya. Ilmu yang konon tak pernah terkalahkan, ilmu yang membuatnya dihormati di seluruh tanah Borneo. Namun, Bara merasa ada sesuatu yang hilang. Sebuah rahasia yang lebih besar dari dirinya, sebuah tanggung jawab yang lebih berat dari sekadar kemampuan bertarung. 

Di muka Toapekong

Saat ia berjalan menyusuri Jalan Kapuas, ia merasakan sesuatu yang tidak biasa. Ada yang mengintai dari bayang-bayang. Sesuatu yang tidak terlihat, namun terasa. Sesuatu yang telah lama terpendam, menunggu saat yang tepat untuk bangkit. Dalam pikirannya, ia teringat akan cerita dari kakeknya bernama Tua Langga yang sering berkata, "Ketika langit dan bumi bersatu, maka tak ada lagi yang dapat memisahkan keduanya." 

Di muka Toapekong, Bara berdiri. Di sini, di bawah ukiran kuno yang menggambarkan dua pendekar, ia tahu bahwa waktunya telah tiba. Waktunya untuk mencari jawabannya. Tetapi saat ia hendak melangkah maju, suara berat terdengar dari belakang. 

Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau

"Apakah kau siap untuk mengungkap rahasia yang lebih besar dari dirimu?" suara itu menggelegar, dan Bara menoleh. Di hadapannya berdiri seorang pria berwajah dingin, dengan pedang biru yang berkilau—Loh Tian Hui, keturunan langsung dari Ban Theng seorang toke besar yang telah lama kehilangan jalannya. 

"Tian Hui, apa yang kau inginkan dari Gapura ini?" Bara bertanya dengan hati yang berdebar. 

"Aku ingin memulai perang," jawab Loh Tian Hui, senyum dinginnya merekah. "Perang antara kita, yang akan memusnahkan semua yang lemah." 

Dengan satu gerakan cepat, pedang Tian Hui terhunus, dan Bara tahu bahwa ini adalah pertarungan yang tak bisa ia hindari.

Di bawah Gapura yang penuh sejarah itu, Bara dan Tian Hui berhadapan. Pedang Langit dan Bumi, yang selama ini tersembunyi, kini kembali keluar dari bayang-bayang. Bara merasakan panas dari pedang Tian Hui, tetapi ia tidak gentar. Dalam dirinya mengalir kekuatan yang diwariskan oleh Macan Gaikng, kekuatan yang tak hanya bergantung pada kecepatan dan ketepatan, tetapi pada kebijaksanaan. 

"Jangan hanya mengandalkan kekuatan tubuh," suara dalam pikirannya berbisik, seperti suara Tua Langga, kakeknya. "Kekuatan sejati datang dari dalam, dari pengetahuan yang mendalam tentang hidup dan alam semesta." 

Pertarungan mereka adalah pertarungan yang lebih dari sekadar fisik. Dalam setiap serangan, Bara merasakan beratnya konflik yang telah lama terpendam. Dunia yang seharusnya damai kini dipenuhi dengan darah dan kebencian. Pedang Bara dan pedang Tian Hui bertemu, menghasilkan percikan api yang menyala di udara. 

"Apakah kau tahu, Bara?" Tian Hui bertanya sambil mendesak dengan pedangnya. "Perang ini bukan hanya untukku, ini untuk semua keturunan yang terhina. Untuk setiap Tionghoa yang diperlakukan seperti sampah di tanah ini!" 

Bara menggenggam keris pusaka Hati Api miliknya lebih erat. "Ini bukan hanya tentang etnis. Ini tentang manusia. Dan manusia, Tian Hui, tidak akan pernah bisa merasakan kedamaian jika mereka hanya mengandalkan kebencian." 

Tian Hui terdiam sejenak, namun kemarahannya tak teredakan. Ia menyerang lebih brutal, namun Bara berhasil menghindar. Dalam hati Bara, suara sang dewa kembali terdengar. 

"Di setiap tetes darah, ada cerita. Di setiap langkah, ada jejak. Tetapi ingatlah, Bara, bahwa di balik setiap pertarungan, ada kesatuan yang tak terlihat. Jangan biarkan amarah membutakanmu." 

Dengan sebuah lompatan yang luar biasa, Bara berhasil mengalihkan pedang Tian Hui dan melumpuhkannya. Namun, ia tidak membunuhnya. "Ini bukan waktunya untuk membunuh, Tian Hui. Ini waktunya untuk memahami." 

Setelah pertarungan, Bara duduk di bawah Gapura, yang kini tampak lebih berarti daripada sebelumnya. Tian Hui, yang terbaring lemah, menatapnya dengan mata penuh kebingungan.

"Apa yang sebenarnya kau cari, Bara?" Tian Hui bertanya dengan suara lemah. 

"Aku mencari kedamaian, Tian Hui," jawab Bara. "Aku mencari jawaban atas semua konflik ini. Kita bukan musuh. Kita adalah bagian dari satu cerita yang lebih besar." 

Tian Hui terdiam, dan di saat itulah Bara menyadari bahwa pertempuran mereka bukanlah tentang siapa yang lebih kuat, tetapi tentang bagaimana mereka bisa bersama mengatasi ketakutan dan kebencian yang telah mengakar dalam diri mereka. 

"Di bumi ini, kita semua adalah penjaga takdir," suara dewa itu kembali terdengar, lebih jelas dan penuh makna. "Kalian berdua, Tionghoa dan Dayak, adalah dua sisi dari koin yang sama. Hanya dengan mengakui perbedaan dan merayakan kesamaan, kalian bisa menemukan kedamaian." 

Bara dan Tian Hui berdiri bersama, memandang Gapura yang kini tampak lebih megah dari sebelumnya. Mereka tahu bahwa meskipun jalan mereka berbeda, tujuan mereka satu: menciptakan kedamaian di bumi Dara Nante - Babai Cinga. 

Gapura Kampung Tionghoa: Bukti sejarah

Gapura Kampung Tionghoa tetap tegak di Jalan Kapuas, sebagai simbol dari masa lalu yang penuh dengan konflik dan sejarah yang tak terlupakan. Namun, kini Gapura itu bukan lagi sekadar pembatas, melainkan pintu menuju masa depan yang lebih baik, tempat di mana dua etnis yang berbeda dapat hidup berdampingan dalam harmoni. 

"Di mana langit dipijak, di situ bumi dijunjung," kata Tua Langga dengan bijaksana. Dan Bara, kini tahu bahwa kedamaian bukan hanya tentang mengalahkan musuh, tetapi tentang menemukan kedamaian dalam diri sendiri. 

Di bawah langit yang penuh gemerlap bintang, sebuah gerbang megah berdiri kokoh di Jalan Kapuas, Sanggau—sebuah gapura yang menembus waktu, terbuat dari batu dan kayu, namun lebih dari sekadar materi. Di balik ukiran-ukiran halus dan warna-warni yang menghiasi setiap sisi, ada kekuatan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang telah melalui perjalanan panjang dan penuh rintangan. Gapura Kampung Tionghoa itu bukan hanya pintu fisik yang menyambut kedatangan, tetapi juga sebuah simbol dari perjalanan para pendatang yang meninggalkan jejak tak terhapuskan. Mereka adalah pejuang-pejuang yang datang jauh dari tanah leluhur mereka, membawa harapan baru dan membangun sebuah dunia baru, sebuah komunitas yang tegak berdiri di atas dasar perjuangan dan darah. 

Seperti kisah-kisah dalam buku-buku silat yang hanya bisa diungkapkan oleh para dewa, gapura ini adalah simbol dari keterbukaan, bukan hanya bagi mereka yang datang, tetapi juga bagi mereka yang pergi. 

Baca Perdagangan dan Migrasi Besi di Austronesia: Jejak di Borneo, Sungai Sarawak, dan Kapuas

Dengan gemerincing lonceng di kejauhan, gapura ini mengisyaratkan dua hal: "Silakan masuk," kata gapura itu kepada siapa saja yang ingin mencari perlindungan, yang ingin belajar, dan yang ingin menjadi bagian dari kisah ini. Namun, di sisi lain, gapura itu juga berkata, "Silakan keluar," kepada mereka yang telah menemukan jalannya, yang telah menempa diri di bawah kerasnya cobaan, dan yang siap untuk membawa bekal dari tanah ini menuju dunia yang lebih luas. Gapura ini adalah simbol dari dinamika kehidupan yang terus bergerak maju—datang dan pergi, lahir dan mati—seperti alur kisah yang terajut dalam setiap helai benang takdir. 

Jauh di balik gapura yang terbuka, terdapat warisan yang tak terhitung jumlahnya. Bukan hanya rumah-rumah yang berdiri kokoh, bukan hanya jalan-jalan yang kini dilalui oleh ribuan kaki, tetapi sebuah kekuatan batin yang lebih dalam, yang telah tertanam sejak jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. 

Orang-orang Hakka di Sanggau adalah pewaris sejati dari tanah ini, bukan hanya sebagai pendatang yang mencari harapan, tetapi sebagai pahlawan yang menyulam kisah mereka dalam aliran darah kota ini. 

Orang-orang Hakka di Sanggau telah melangkah di jalan yang sama dengan para pendekar dalam cerita silat, bertarung melawan badai waktu, dan mengukir kemenangan dari setiap rintangan yang ada. 

Gapura ini dengan segala keindahannya menjadi penanda bahwa dalam setiap langkah mereka, orang-orang Hakka membuktikan bahwa keberanian, pengorbanan, dan cinta yang tulus adalah hal-hal yang lebih kuat daripada segala sesuatu yang tampaknya fana dan rapuh. 

Di atas gapura ini, para pendiri mengabadikan kisah leluhur yang mengajarkan kita bahwa kisah orang-orang Hakka di Sanggau bukan hanya milik mereka, tetapi adalah kisah yang melintas dan memintas ruang dan waktu. Mengingatkan kita untuk selalu menjaga warisan kebenaran yang tak akan pernah pudar. 

Gapura Kamponk Tionghoa yang terletak di Jalan Kapuas, Sanggau menegaskan bahwa orang-orang Tionghoa yang bermigrasi dan mendarat selalu meninggalkan artefak fisik. 

Baca FILSAFAT DAYAK

Gapura ini menjadi monumen peringatan yang mengajak siapa saja untuk "Silakan masuk" dan "Silakan keluar" dari Pecinan di Sanggau, sebab gerbang ini terbuka lebar.

Lebih dari sekadar pintu masuk, gapura Kamponk Tionghoa mencerminkan eksistensi orang-orang Hakka di Sanggau yang tidak hanya hadir kemarin sore, tetapi telah terbangun sejak jauh sebelum Indonesia merdeka.

-- Masri Sareb Putra

LihatTutupKomentar