Rekam Jejak Pleistosen di Gua Niah: Dari Manusia Purba ke Masyarakat Dayak

Dayak, Tom Harrisson, deep skull, Niah, Sunda Shelf, Bellwood, Pleistosen, Borneo, Asia Tenggara, homo sapiens, stegodon, Sahul, Holosen

 

Gua Niah dan cikal bakal leluhur suku bangsa Dayak sedunia.

KUCHING - dayaktoday.comPerhatikan peta secara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya!

Sebelum jauh masuk ke Jejak Pleistosen di Gua Niah: Dari Manusia Purba ke Masyarakat Dayak, ada baiknya kita memahami rekonstruksi migrasi manusia prasejarah secara umum yang dikemukakan oleh Peter Bellwood (2015).

Bellwood, seorang ahli prasejarah dan arkeologi, mengemukakan bahwa migrasi homo sapiens dari Afrika ke berbagai penjuru dunia terjadi dalam beberapa gelombang besar. Salah satu jalur utama yang sangat relevan dengan sejarah Nusantara adalah migrasi melalui Asia Tenggara menuju kepulauan Indonesia, Papua, dan Australia.

Gua Niah menjadi penting dalam konteks migrasi

Dalam skema migrasi ini, wilayah yang kini dikenal sebagai Asia Tenggara dan kepulauan Indonesia menjadi jalur penting bagi pergerakan manusia prasejarah. 

Bellwood menunjukkan bahwa selama periode Pleistosen, permukaan laut lebih rendah, menciptakan daratan luas yang disebut Paparan Sunda (Sundaland) dan Paparan Sahul (Sahulland). Wilayah ini memungkinkan homo sapiens untuk berpindah melalui daratan yang sekarang telah terpisah oleh lautan akibat kenaikan permukaan air setelah zaman es berakhir.

Baca Dayak: Origins and First Use as Indigenous Identity of Borneo

Dalam konteks ini, Gua Niah di Sarawak, Borneo, menjadi salah satu situs arkeologi penting yang menyimpan bukti awal keberadaan manusia modern di wilayah ini. 

Temuan di Gua Niah, seperti sisa-sisa rangka manusia dan alat-alat batu, menunjukkan bahwa manusia telah mendiami kawasan ini sejak setidaknya 40.000 tahun yang lalu. Hal ini menguatkan teori bahwa Borneo menjadi salah satu persinggahan utama dalam migrasi homo sapiens sebelum mereka menyebar lebih jauh ke berbagai pulau di Nusantara dan bahkan hingga ke Australia.

Rekonstruksi migrasi Bellwood juga memberikan pemahaman tentang bagaimana peradaban awal berkembang di Nusantara. 

Setelah fase migrasi awal, terjadi adaptasi lingkungan, domestikasi tanaman, dan pembentukan kelompok sosial yang akhirnya melahirkan masyarakat-masyarakat yang menjadi cikal bakal etnis-etnis di Indonesia, termasuk masyarakat Dayak di Kalimantan.

Dengan memahami peta migrasi manusia prasejarah ini, kita dapat melihat bagaimana perjalanan panjang nenek moyang manusia membentuk lanskap demografi dan budaya di kepulauan Indonesia, termasuk jejak-jejak mereka yang masih dapat kita temukan di Gua Niah.

Rute migrasi homo sapiens di kawasan Asia dan Nusantara

Peta ini menggambarkan rute migrasi homo sapiens di kawasan Asia dan Nusantara berdasarkan penelitian Peter Bellwood. 

Dalam peta ini terdapat dua elemen utama yang penting untuk memahami pola migrasi manusia prasejarah di Asia Tenggara dan Australasia:

Perbatasan Lipatan Sunda & Sahul

Wilayah yang ditandai dengan garis putus-putus biru menunjukkan batas antara daratan Sunda (Asia Tenggara termasuk Kalimantan, Sumatra, dan Jawa) dan Sahul (Papua dan Australia).

Pada masa Pleistosen (sekitar 50.000–10.000 tahun lalu), daratan ini lebih luas akibat permukaan laut yang lebih rendah, memungkinkan manusia melakukan migrasi dengan lebih mudah melalui daratan dan jalur laut yang sempit.

Rute Penyebaran Homo Sapiens

  1. Panah ungu menunjukkan jalur migrasi manusia modern dari Asia ke berbagai wilayah di Asia Tenggara, Nusantara, hingga ke Australia dan kepulauan Pasifik.
  2. Migrasi ini terjadi dalam beberapa gelombang dan dipengaruhi oleh perubahan iklim serta perkembangan teknologi perahu.

Rute utama:

  1. Dari daratan Asia menuju kepulauan Nusantara melalui jalur Semenanjung Malaya.
  2. Menyebar ke Filipina dan pulau-pulau di Pasifik.
  3. Bergerak ke selatan menuju Australia melalui Papua.

Gua Niah dan Homo sapiens 

Gua Niah di Sarawak, Malaysia, merupakan salah satu situs arkeologi terpenting di Asia Tenggara yang mengungkap jejak manusia modern awal di Borneo pada era Pleistosen. 

Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah

Temuan di gua ini memberikan bukti kuat bahwa Borneo telah dihuni oleh Homo sapiens sejak setidaknya 40.000 tahun lalu, jauh sebelum era Holosen yang menandai peradaban manusia yang lebih kompleks. 

Era Holosen adalah periode geologi yang dimulai sekitar 11.700 tahun yang lalu setelah akhir zaman Pleistosen. Ini adalah masa ketika iklim mulai stabil, memungkinkan perkembangan ekosistem yang lebih mendukung kehidupan manusia, termasuk migrasi dan adaptasi budaya.

Kaitan era Holosen dengan Gua Niah dan nenek moyang sukubangsa Dayak di Borneo

Gua Niah, yang terletak di Batu Niah, Miri Sarawak, Malaysia, adalah salah satu situs arkeologi terpenting di Borneo. Di sini, para arkeolog menemukan bukti keberadaan manusia purba sejak lebih dari 40.000 tahun yang lalu. Dalam konteks era Holosen, penelitian menunjukkan bahwa gua ini tetap dihuni hingga beberapa ribu tahun terakhir, menunjukkan kesinambungan kehidupan manusia di wilayah ini.

Penampakan Gua Niah. Kredit gambar: Masri Sareb.

Pada awal Holosen, perubahan iklim menyebabkan kenaikan permukaan laut yang mengubah lanskap Asia Tenggara, termasuk Borneo. Wilayah yang sebelumnya merupakan daratan luas (Sundaland) mulai terpisah menjadi pulau-pulau. Manusia yang menghuni Borneo beradaptasi dengan lingkungan baru, mengembangkan teknik berburu, meramu, dan bercocok tanam

Kaitan dengan nenek noyang Dayak

  1. Jejak Genetik dan Budaya: Beberapa penelitian DNA menunjukkan bahwa populasi yang menghuni Borneo sejak Holosen memiliki hubungan genetik dengan populasi Austroasiatik dan Austronesia, yang kemudian berkembang menjadi suku-suku Dayak saat ini.
  2. Pengaruh Teknologi dan Pertanian: Bukti arkeologi dari gua-gua di Borneo menunjukkan adanya transisi dari kehidupan berburu-meramu ke bentuk pertanian awal, termasuk budidaya tanaman seperti padi ladang, yang masih menjadi bagian dari kehidupan suku Dayak hingga kini
Bukti Arkeologi di Gua Niah pada Holosen
  1. Penemuan alat-alat batu dan sisa-sisa makanan menunjukkan bahwa manusia di Gua Niah beradaptasi dengan ekosistem hutan hujan tropis.
  2. Kuburan manusia dari sekitar 4.000 tahun lalu memberikan petunjuk tentang praktik pemakaman dan kepercayaan spiritual yang mungkin berlanjut dalam budaya Dayak modern.

Dapat dikatakan bahwa era Holosen menandai fase penting dalam sejarah manusia di Borneo, di mana perubahan iklim dan ekologi mendorong migrasi serta adaptasi budaya. Gua Niah menjadi saksi penting dalam perjalanan nenek moyang Dayak, yang terus berkembang dan bertahan hingga kini.

Ini adalah gambar ulang dengan detail yang lebih tajam dan realistis, menggambarkan manusia zaman dahulu menangkap ikan di sungai dengan teknologi sederhana, seperti yang terinspirasi dari konsep di Muzium Arkeologi Niah, Miri, Sarawak. By: AI.

Keberadaan manusia di Gua Niah berkaitan erat dengan perubahan lanskap Borneo selama Pleistosen (sekitar 2,6 juta tahun lalu), saat wilayah ini masih menjadi bagian dari daratan Asia. Adaptasi terhadap lingkungan tropis serta budaya yang berkembang di antara manusia purba menjadi fondasi peradaban masyarakat pribumi Borneo yang bertahan hingga kini.

Bukti kehadiran manusia di Pleistosen

Gua Niah menjadi titik awal bagi para arkeolog dalam memahami bagaimana manusia purba hidup dan berkembang di Borneo selama Pleistosen. 

Baca Jessica Manser Menantang Teori Migrasi Austronesia dengan Novelty dan Evidence Neolitikum di Gua Niah

Penemuan kerangka manusia Deep Skull pada tahun 1958 oleh arkeolog Tom Harrisson mengonfirmasi bahwa Homo sapiens telah mendiami wilayah ini selama puluhan ribu tahun. Deep Skull diperkirakan berusia sekitar 37.000–40.000 tahun, menjadikannya salah satu fosil manusia modern tertua di Asia Tenggara.

Sumber gambar: Darren Curnoe, Ipoi Datan, dkk. (2016).

Keterangan gambar:

Deep Skull dari Gua Niah.

Calvaria dalam tampilan:
(A) tampak atas,
(B) tampak lateral kiri,
(C) tampak depan,
(D) tampak bawah/endokranial, dan
(E) tampak belakang;

(F) Fragmen parietal-temporal-okipital kiri yang terisolasi dalam tampilan lateral (panah hijau menunjukkan prosesus mastoid; panah biru menunjukkan skama okipital);

Maksila dalam tampilan:
(G) tampak bawah/palatal,
(H) tampak depan,
(I) tampilan diperbesar dari mahkota gigi,
(J) tampak lateral kanan, dan
(K) tampak atas/internal.

Selain fosil manusia, Gua Niah juga menyimpan artefak batu, sisa makanan, serta jejak api yang menunjukkan bahwa manusia purba di sana memiliki keterampilan berburu dan meramu. Mereka berburu mamalia hutan seperti babi hutan dan rusa, serta mengumpulkan hasil hutan, termasuk umbi-umbian dan moluska. Temuan alat batu menunjukkan bahwa mereka memiliki kemampuan membuat perkakas sederhana untuk memotong dan mengolah makanan.

Keberadaan sisa arang dan abu dalam stratifikasi tanah menandakan bahwa mereka telah mengenal penggunaan api untuk memasak dan perlindungan dari predator. Bukti ini memperjelas bahwa manusia yang tinggal di Gua Niah bukan sekadar pengembara, tetapi telah mengembangkan pola hidup yang lebih kompleks dan adaptif terhadap lingkungan tropis Borneo.

Borneo sebagai jalur migrasi manusia

Pada masa Pleistosen, Borneo tidaklah seperti sekarang yakni sebuah pulau besar yang terpisah dari daratan utama Asia. Saat itu, permukaan laut 120 meter lebih rendah dibandingkan saat ini, membentuk daratan luas yang dikenal sebagai Sunda Shelf, yang menghubungkan Sumatra, Jawa, Borneo, dan Semenanjung Malaya dengan daratan Asia. Kondisi ini menciptakan jalur migrasi alami bagi manusia dan hewan.

Baca The Iban are the Largest and Most Dominant Indigenous Group in Sarawak

Migrasi manusia ke Borneo pada masa itu kemungkinan besar terjadi melalui jalur darat dari Indochina dan daratan Asia lainnya. Homo sapiens yang mendiami Gua Niah diduga merupakan bagian dari gelombang awal migrasi manusia modern keluar dari Afrika, melewati Asia Selatan, sebelum akhirnya mencapai kepulauan Nusantara dan Australia. Keberadaan mereka di Borneo memberikan petunjuk bahwa jalur migrasi manusia di Asia Tenggara lebih kompleks dari yang diperkirakan sebelumnya.

Flora dan fauna Pleistosen di Borneo juga menjadi bukti penting dalam memahami ekologi saat itu. Keberadaan spesies mamalia besar seperti gajah purba (Stegodon), badak purba, dan orangutan purba menunjukkan bahwa Borneo memiliki ekosistem yang mirip dengan daratan Asia. Namun, seiring dengan naiknya permukaan laut menjelang akhir Pleistosen, banyak spesies mengalami kepunahan atau beradaptasi dengan lingkungan yang berubah. Faktor-faktor seperti iklim, kondisi geografis, dan interaksi biotik turut memengaruhi ekosistem saat itu.

Masyarakat purba di Borneo pun harus beradaptasi dengan perubahan ini. Mereka yang sebelumnya berburu hewan besar harus menyesuaikan pola hidup mereka dengan lingkungan hutan hujan yang semakin dominan. Adaptasi ini menjadi awal dari budaya hidup berburu, meramu, dan bercocok tanam yang nantinya berkembang dalam tradisi masyarakat Dayak.

Warisan Pleistosen: Dari manusia purba ke masyarakat Dayak

Jejak kehidupan manusia Pleistosen di Borneo tidak berakhir di Gua Niah. Perkembangan budaya dan pola hidup yang terbentuk sejak masa itu terus berlanjut dalam masyarakat pribumi Borneo, khususnya suku Dayak, yang hingga kini masih mempertahankan banyak elemen budaya nenek moyang mereka.

Baca Gua Niah: Perjalanan Bertemu Leluhur Dayak bukan Sekadar Meneliti

Salah satu warisan yang dapat ditelusuri dari era Pleistosen adalah pola pemanfaatan hutan hujan tropis. Manusia purba yang tinggal di Gua Niah sudah terbiasa mengandalkan hasil hutan untuk bertahan hidup. Konsep ini masih bertahan dalam kehidupan masyarakat Dayak yang hingga kini menggantungkan hidup mereka pada hutan, baik untuk bahan pangan, obat-obatan, maupun bahan bangunan tradisional.

Selain itu, sistem kepercayaan dan spiritualitas masyarakat Dayak juga memiliki jejak dari pola pikir manusia purba yang tinggal di Borneo. Bukti awal kepercayaan spiritual ditemukan dalam penguburan yang dilakukan di Gua Niah, yang menunjukkan bahwa manusia purba di sana telah memiliki konsep tentang kematian dan kehidupan setelah mati.

Teknik berburu dan bertani yang diwariskan dari generasi ke generasi menunjukkan kesinambungan budaya yang dimulai sejak era Pleistosen. Alat batu yang ditemukan di Gua Niah merupakan cikal bakal teknologi berburu yang kemudian berkembang menjadi senjata berburu khas Dayak seperti sumpit dan mandau. Begitu pula dengan teknik perladangan berpindah, yang kemungkinan besar merupakan adaptasi dari cara manusia purba menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan yang dinamis.

Temuan di Gua Niah bukan hanya sekadar bukti keberadaan manusia purba di Borneo, tetapi juga menjadi titik penting dalam memahami migrasi manusia modern awal di Asia Tenggara. 

Baca Jejak Kerajan Dayak dan Pengakuan Kolonial pada Raja Hulu Aik, Awat Tjenggoeng Singa Djaja

Keberadaan manusia di Borneo selama Pleistosen menunjukkan bahwa wilayah ini telah menjadi rumah bagi Homo sapiens selama puluhan ribu tahun, jauh sebelum peradaban besar di Asia berkembang.

Gua Niah adalah saksi perjalanan panjang manusia dalam beradaptasi, bertahan, dan membangun budaya yang akhirnya berkembang menjadi identitas masyarakat pribumi Borneo. Jejak kehidupan manusia purba yang ditemukan di gua ini bukan hanya menjadi bagian dari sejarah masa lalu, tetapi juga menjadi warisan yang terus hidup dalam budaya Dayak hingga saat ini.

-- Masri Sareb Putra, M.A. adalah mahasiswa Doktoral Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Palangka Raya yang penelitian disertasinya terkait topik asal usul dan menyejarahnya Manusia Dayak.

LihatTutupKomentar