Gua Niah: Perjalanan Bertemu Leluhur Dayak bukan Sekadar Meneliti
Penulis bersama fotografer andalan Indonesia, Arbain Rambey (belakang) di dalam mulut Gua Niah nan bersejarah. Ist. |
BATU NIAH- dayaktoday.com: Gua Niah adalah impian setiap penulis dan peneliti yang tertarik pada situs bersejarah ini. Terutama bagi mereka yang fokus pada asal-usul Dayak dan sejarahnya secara ilmiah.
Dalam konteks tersebut, penulis dan peneliti Dayak harus memiliki "vorurteil" yang sempurna. Yakni pemahaman yang utuh dan mendalam, serta wajib untuk mengisi kekosongan pengetahuan yang ada mengenai Gua Niah.
Baca Spesimen Arkeologi Gua Niah Dikirm ke Nevada Southern University untuk Diteliti
Saya telah mendalami budaya dan sejarah Dayak sejak 1984, dengan tulisan perdana tentang tradisi Dayak, "Mangkok Merah", yang dimuat di Kompas Minggu pada 11 Maret 1984.
Sejak saat itu, saya terus meneliti dan menulis tentang berbagai aspek kehidupan Dayak.
Sebelum mengunjungi Gua Niah, saya merasa telah memiliki bekal pengetahuan yang luas dan mendalam tentang Dayak.
Baca Jessica Manser: Temuannya tentang Manusia Gua Niah Mementahkan Teori migrasi Austronesia
Akan tetapi, ketika berdiri di hadapan Gua Niah, dengan segala kekayaan sejarahnya yang bermula sejak era Pleistosen, tepat pada tanggal 9 Agustus 2024 itu, saya menyadari. Bahwa pengetahuan saya tentang Dayak —yang saya kira sudah cukup luas— ternyata hanya seujung kuku hitam saja.
Benarlah kata-kata ilmu padi ini, "Jika kita merasa tahu banyak hal, sebenarnya kita belum tahu banyak hal". Sebab semakin seseorang tahu banyak hal, semakin ia merasa belum tahu banyak hal.
Pengetahuan saya terkait Dayak hanya seujung kuku hitam
Ternyata, selama ini saya "tidak tahu di tidak tahu saya" bahwa Dayak punya pra-sejarah dan sejarah yang sangat panjang menjadi sebuah sukubangsa dengan populasi tidak kurang dari 8 juta sedunia hari ini.
Banyak realitas seputar manusia Dayak dan asal-usulnya belum sepenuhnya saya ketahui. Untuk memahami lebih dalam, saya harus menenggelamkan diri ke dalam masa prasejarah, ketika jutaan tahun lalu situs ini masih berupa dasar lautan. Pada periode itu, daratan Borneo dan wilayah sekitarnya belum mengalami perubahan geologis yang signifikan, termasuk apa yang oleh Robert Blust (1984) dan Peter Bellwood (2007) sebut sebagai deglasiasi. Istilah ini merujuk pada pencairan es besar-besaran di akhir Zaman Es yang menyebabkan kenaikan permukaan laut dan mengubah lanskap Asia Tenggara secara drastis.
Baca Perdagangan dan Migrasi Besi di Austronesia: Jejak di Borneo, Sungai Sarawak, dan Kapuas
Sebelum peristiwa deglasiasi, wilayah yang kini menjadi kepulauan Indonesia, Filipina, dan Malaysia masih tergabung dalam satu daratan luas yang dikenal sebagai Sundaland. Dalam konteks ini, migrasi manusia purba, termasuk leluhur orang Dayak, kemungkinan besar mengikuti jalur darat sebelum terpisah akibat naiknya air laut. Bellwood (2007) berpendapat bahwa pergeseran ekologi akibat perubahan iklim ini berkontribusi pada pola migrasi dan adaptasi masyarakat prasejarah, yang jejaknya dapat ditemukan di berbagai situs arkeologi, termasuk Gua Niah di Sarawak.
Gua Niah sendiri merupakan salah satu situs penting dalam menelusuri jejak awal manusia di Borneo. Ekskavasi di tempat ini telah mengungkap keberadaan Homo sapiens sejak sekitar 40.000 tahun yang lalu, menunjukkan bahwa wilayah ini telah dihuni jauh sebelum terbentuknya lanskap kepulauan modern. Blust (1984) menambahkan bahwa penyebaran bahasa-bahasa Austronesia, yang kini digunakan oleh orang Dayak, kemungkinan besar berkaitan erat dengan dinamika lingkungan yang dipicu oleh deglasiasi. Oleh karena itu, memahami sejarah ekologis dan geologis kawasan ini menjadi kunci dalam menelusuri asal-usul serta peradaban awal manusia Dayak.
Saya mengaku kalah di hadapan leluhur, alam semesta, dan Sang Pemilik Pengetahuan. Sembari telut bertekuk lutut pada mulut Gua Niah yang seakan menganga saya mengucapkan kredo ini: Scientia nostra, scientia Tua comparata: ignorantia!
Kunjungan Penelitian ke Gua Niah
Pada 9 Agustus 2024, penulis berkesempatan mengunjungi situs bersejarah yang penting ini, yaitu Gua Niah. Sembari meneliti dokumen, inskripsi, dan artefak di Muzium Arkeologi Niah.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah: Ini Bukti Ilmiah Uji-karbon 40.000 Tahun Silam
Penulis ditemani oleh Arbain Rambey, seorang fotografer andal dan ternama Indonesia; Dr. Patricia Gagdosen dan pakar adat budaya Iban; dan Clemens Joy, seorang pesohor dan penyanyi Malaysia.
Karcis masuk Sarawak National park: 20 ringgit Malaysia. |
Perjalanan mulai dengan menyusuri hutan hujan tropis yang lebat menuju mulut Gua Niah. Setibanya di sana, disambut dengan pemandangan mulut gua yang megah, dengan lebar sea150 meter dan tinggi 75 meter.
Di dalam gua, penulis menjelajahi berbagai ruang yang bergema dengan suara kelelawar dan burung walet. Juga mengamati struktur bambug digunakan oleh penduduk setempat untuk mengumpulkan sarang burung, sebuah tradisi yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Baca Dayak: Origins and First Use as Indigenous Identity of Borneo
Salah satu momen paling berkesan adalah saat mengunjungi area di mana deep skull (tengkorak dalam) ditemukan pada tahun 1958 oleh tim arkeolog yang dipimpin oleh Tom Harrisson. Tengkorak ini, yang diperkirakan berusia sekitar 37.000 tahun, merupakan bukti keberadaan manusia modern paling awal di Asia Tenggara.
Di Muzium Arkeologi Niah, penulis meneliti berbagai artefak yang ditemukan di kompleks gua ini, termasuk alat-alat batu dari periode Pleistosen, perhiasan kerang, dan tembikar dari Zaman Besi. Penelitian ini memberikan wawasan mendalam tentang kehidupan dan budaya manusia purba yang pernah mendiami wilayah ini.
Kunjungan ini bukan hanya memperkaya pengetahuan tentang sejarah dan arkeologi Gua Niah, tetapi juga menguatkan apresiasi terhadap warisan budaya yang tak ternilai dari masyarakat Dayak dan peran penting Gua Niah dalam memahami sejarah manusia di Asia Tenggara.
Perjalanan penelitian yang sangat menyenangkan melalui jembatan kayu besi tertata rapi ditingkah rimbunnya hutan tropis Borneo. Ist. |
Gua Niah, yang terletak di Sarawak, Malaysia, adalah salah satu situs arkeologi paling penting di Asia Tenggara. Tempat ini terkenal karena menyimpan jejak kehidupan manusia purba yang sangat berharga, dengan artefak-artefak yang memberikan wawasan mendalam tentang kehidupan dan kebudayaan manusia yang telah ada di wilayah ini selama ribuan tahun.
Perjalanan penelitian yang sangat menyenangkan melalui jembatan kayu besi tertata rapi, tetapi juga menyimpan banyak bukti arkeologis yang mengungkapkan interaksi manusia dengan lingkungan mereka, terutama dengan hutan hujan tropis yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka.
Selama puluhan tahun, penemuan-penemuan di Gua Niah telah membantu para ilmuwan mengungkap sejarah manusia purba, termasuk penemuan tengkorak manusia, alat-alat batu, dan artefak lainnya.
Salah satu penemuan yang sangat terkenal adalah Tengkorak Dalam yang ditemukan pada tahun 1958, yang diperkirakan milik seorang perempuan berusia lanjut. Penemuan ini memberikan bukti kuat bahwa manusia modern telah menghuni wilayah ini sejak ribuan tahun yang lalu.
Baca The Iban are the Largest and Most Dominant Indigenous Group in Sarawak
Gua Niah kini tidak hanya menjadi situs yang penting bagi studi sejarah dan arkeologi, tetapi juga menjadi tempat bagi peneliti dan pengunjung untuk mengapresiasi warisan budaya yang telah ada sejak zaman prasejarah.
Penemuan tengkorak manusia berusia sekitar 37.000 tahun di gua Niah menjadi bukti kuat pemukiman manusia di wilayah tersebut.
Penemuan Deep skull (Tengkorak dalam)
Pada tahun 1958, tim arkeolog yang dipimpin oleh Tom Harrisson menemukan tengkorak manusia yang dikenal sebagai "Tengkorak Dalam" di Gua Niah, Sarawak, Malaysia.
Tom Harrisson. Sumber: Sarawak Muzium. |
Tengkorak ini diperkirakan milik seorang perempuan berusia lanjut, bukan laki-laki remaja seperti yang sebelumnya diperkirakan. Bukti morfologis menunjukkan bahwa tengkorak ini mewakili manusia modern paling awal yang menetap di Borneo, kemungkinan besar berasal dari daratan Asia Timur.
Gua Niah telah menjadi situs arkeologi penting sejak abad ke-19, dengan penemuan-penemuan yang menunjukkan aktivitas manusia purba di wilayah tersebut. Penemuan deep skull (tengkorak dalam) menambah bukti bahwa Gua Niah merupakan salah satu situs hunian manusia paling awal di Asia Tenggara.
Analisis morfologi tengkorak menunjukkan bahwa pemilik tengkorak ini kemungkinan besar adalah perempuan berusia lanjut.
Tingkat keausan gigi dan karakteristik tulang lainnya mendukung estimasi usia ini. Penentuan usia radiokarbon dari arang yang ditemukan di sekitar tengkorak menunjukkan bahwa individu ini hidup sekitar 37.000 tahun yang lalu.
Penemuan Tengkorak Dalam memberikan wawasan penting tentang migrasi dan pemukiman manusia purba di Asia Tenggara.
Baca Gua Niah: Proses Pembentukanya dari era Pleistosen hingga Kini
Morfologi tengkorak yang menunjukkan kesamaan dengan populasi manusia modern di Asia Timur mengindikasikan bahwa nenek moyang orang Dayak mungkin berasal dari wilayah tersebut.
Penemuan ini menyoroti pentingnya pelestarian situs arkeologi seperti Gua Niah untuk memahami sejarah manusia. Upaya pelestarian dan penelitian lebih lanjut diharapkan dapat mengungkap lebih banyak informasi tentang kehidupan manusia purba di Asia Tenggara.
Pekuan UNESCO
Pada 27 Juli 2024, Gua Niah diakui sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO, menjadikannya salah satu situs arkeologi paling penting di Asia Tenggara.
Pengakuan UNESCO ini tidak hanya mengakui nilai sejarah dan budaya Gua Niah, tetapi juga menegaskan pentingnya pemahaman tentang interaksi manusia dengan lingkungan sekitar, terutama hutan hujan tropis Borneo, yang telah berlangsung selama ribuan tahun.
Gua Niah memiliki sejarah panjang sebagai situs hunian manusia purba, dengan penemuan artefak dan sisa-sisa manusia yang mengungkapkan bahwa kawasan ini telah dihuni sejak lebih dari 40.000 tahun yang lalu.
Salah satu penemuan yang paling signifikan adalah "Tengkorak Dalam", yang diperkirakan milik seorang perempuan berusia lanjut dan berasal dari sekitar 37.000 tahun yang lalu. Penemuan ini memberikan wawasan mendalam tentang migrasi manusia purba dan interaksi mereka dengan alam sekitar.
Panorama di dalam perut Gua Niah. Ist. |
Gua Niah juga menyimpan banyak artefak bersejarah, termasuk lukisan gua, alat-alat batu, dan sisa-sisa tanaman yang digunakan oleh manusia purba.
Semua penemuan ini memberikan gambaran yang lebih jelas tentang kehidupan sehari-hari manusia purba dan bagaimana mereka berinteraksi dengan alam sekitar.
Pengakuan Gua Niah sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO bukan hanya soal melestarikan situs ini, tetapi juga memperkuat pemahaman kita tentang sejarah panjang umat manusia di Borneo. Gua ini menjadi simbol pentingnya pelestarian warisan budaya dan alam bagi generasi mendatang.
Dengan status ini, diharapkan Gua Niah akan mendapat perhatian lebih dalam hal penelitian dan pelestarian, sehingga generasi masa depan dapat terus belajar dan menghargai pentingnya situs bersejarah ini.
Gua Niah bukan hanya menjadi saksi bisu perjalanan panjang peradaban manusia purba, tetapi juga menjadi tempat yang penuh makna bagi masyarakat Dayak modern, yang dapat melihat langsung akar sejarah mereka yang terhubung erat dengan situs ini.
Gua Niah bukan sekadar sebuah situs arkeologi
Bagi banyak peneliti dan penulis, Gua Niah bukan sekadar sebuah situs arkeologi, tetapi juga jendela untuk memahami perjalanan panjang manusia di Borneo dan sekitarnya. Gua ini menyimpan jejak kehidupan yang berusia lebih dari 40.000 tahun, menjadikannya salah satu situs prasejarah paling penting di Asia Tenggara. Dari lukisan-lukisan gua hingga sisa-sisa manusia purba yang ditemukan di dalamnya, setiap artefak yang terungkap menjadi potongan puzzle yang membantu kita memahami asal-usul dan evolusi masyarakat awal di kawasan ini. Melalui berbagai penemuan arkeologi yang terus bermunculan, kita tidak hanya memperoleh wawasan baru tentang kehidupan manusia pada masa lampau, tetapi juga memiliki kesempatan untuk merayakan dan menghormati warisan budaya yang telah bertahan selama ribuan tahun.
Baca Dayak: Asal Usul dan Pengelompokannya
Dengan pengakuan UNESCO ini, Gua Niah diharapkan dapat terus berkembang sebagai pusat pendidikan dan penelitian yang menarik perhatian dunia. Keberadaan gua ini bukan hanya penting bagi para akademisi, tetapi juga bagi masyarakat luas yang ingin memahami sejarah peradaban manusia lebih dalam.
Pengakuan internasional UNESCO ini membuka peluang bagi lebih banyak penelitian lintas disiplin, mulai dari arkeologi, antropologi, hingga ekologi, untuk mengungkap lebih banyak misteri yang masih tersembunyi di dalam gua ini. Selain itu, status warisan dunia ini juga membawa dampak positif bagi pariwisata budaya, yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pelestarian situs bersejarah.
Namun, di balik pengakuan global ini, terdapat tanggung jawab besar untuk menjaga dan melestarikan Gua Niah agar tetap terjaga keasliannya. Tantangan seperti perubahan iklim, aktivitas manusia, serta potensi eksploitasi dapat mengancam kelestarian situs ini jika tidak dikelola dengan baik.
Baca FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional Memahami Penduduk Asli, Alam Semesta, dan Budaya Borneo Masa ke Masa
Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, komunitas lokal, dan para ahli menjadi sangat penting dalam merancang strategi pelestarian yang berkelanjutan. Dengan langkah-langkah yang tepat, Gua Niah dapat terus diwariskan kepada generasi mendatang sebagai bagian dari kekayaan sejarah dan identitas manusia yang tak ternilai harganya.
-- Masri Sareb Putra, M.A. adalah mahasiswa Doktoral Institut Agama Kristen Negeri (IAKN) Palangka Raya yang penelitian disertasinya terkait topik asal usul dan menyejarahnya Manusia Dayak.