Orang-Orang Hakka di Sanggau (21)

Dayak, ritual, alam, manusia, menjaga, Babai Cinga, Tampun Juah, Gua Niah, tanah leluhur, Borneo, warisan, penduduk asli. pulau Dayak, primitive song

 

Ritual Dayak untuk melindungi alam, manusia, dan makhluk hidup yang bernapas maupun yang tidak bernapas.
Ritual Dayak untuk melindungi alam semesta dan manusia by AI.

PONTIANAK - DAYAKTODAY: Di tengah lingkaran pohon-pohon besar yang tampak seperti penjaga kuno, berdiri sekelompok lelaki dan perempuan, wajah mereka tegang namun penuh tekad. 

Di muka mereka, sebuah meja kayu tua yang diukir dengan motif leluhur dipenuhi dengan benda-benda antik lagi kuno yang sarat makna: tanduk rusa berpara tujuh berisi tuak pati, sina[1] tempa tua yang hanya digunakan dalam upacara sakral, dan arang hitam yang akan melukiskan simbol-simbol pada tubuh mereka. 

Di antara mereka berdiri seorang lelaki tua, Babai Cinga, tubuhnya tegak meski usianya telah melewati sembilan dekade. Suaranya berat, seperti suara tanah itu sendiri, saat ia mulai berbicara.

 Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (20)

"Malam ini bukan hanya tentang kita, bukan hanya tentang darah[2] kita. Malam ini adalah tentang harga yang harus dibayar oleh mereka yang telah melukai ibu kita—tanah ini. Setiap tetes tuak pati adalah pengingat bahwa hubungan kita dengan alam bukan sekadar kewajiban, tetapi sebuah sumpah yang tak boleh dilanggar." 

Di samping Babai Cinga, Macan Gaikng berdiri. Matanya menyala seperti bara api, memantulkan tekad yang membakar hatinya. Ia mengangkat tanduk rusa berisi tuak pati dan menatap langit. 

"Tuak ini dibuat dengan arus darah leluhur yang mengalir di tubuh kami. Ia bukan sekadar minuman, tetapi terlebih itu adalah jiwa kami yang dipersembahkan kembali kepada tanah ini. Barangsiapa yang berani melukai tanah ini, ia telah melukai kami semua, dan malam ini, dendanya akan ditentukan!" 

Setiap gerakan dilakukan dengan kehati-hatian yang luar biasa. Tuak pati dituangkan ke tanah, setetes demi setetes, dengan primitive song[3] atau nyanyian purba yang bergema di udara. Lagu itu terdengar seperti desahan roh-roh leluhur yang terbangun dari tidur panjang mereka, menyerukan peringatan kepada siapa pun yang mencoba melawan kehendak alam. 

Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (1)

Sementara itu, seorang perempuan muda, keturunan langsung dari garis darah leluhur, maju membawa mangkuk berisi darah pati. Rambutnya tergerai, seperti sungai hitam yang mengalir tanpa henti. Wajahnya penuh ketegangan, namun tangannya tetap mantap. Ia berlutut di hadapan Babai Cinga, menyerahkan mangkuk itu dengan penuh hormat. 

Babai Cinga menatapnya dengan tatapan tajam. "Kau tahu apa yang kau bawa, anakku?" 

Perempuan itu mengangguk pelan. "Aku membawa darah pati nyawa, Babai. Ia adalah bayaran atas dosa yang telah dilakukan oleh tangan-tangan kotor yang mengoyak hutan kita, meracuni sungai kita. Pati ini adalah pengingat bahwa semua dosa harus dibayar, dan malam ini, hukuman itu akan dimulai." 

Saat nyanyian semakin keras, Macan Gaikng berdiri di tengah lingkaran, tubuhnya bergetar oleh energi yang seolah datang dari tanah di bawahnya. Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar dari hutan, seperti ratusan pohon yang meratap dalam kesakitan. 

"Mereka datang….!" suara salah satu lelaki muda dengan suara gemetar. 

Dari kegelapan muncul bayangan-bayangan besar. Orang-orang asing dengan senjata di tangan, wajah mereka sombong dan penuh nafsu untuk menguasai. Namun, mereka terhenti di tepi lingkaran, tubuh mereka seperti membeku oleh aura suci yang melingkupi Tampun Juah. 

Babai Cinga mengangkat sina, pisau tempa tua, suaranya menggema seperti gemuruh petir. 

"Kalian, yang telah melukai tanah ini, dengarkan sumpah kami! Tanah ini bukan milikmu untuk dijarah, bukan untuk dirusak oleh keserakahanmu. Ia adalah tubuh Jubata, dan kalian telah melukai tubuh itu!" 

Macan Gaikng maju, matanya seperti kilatan petir. 

"Kalian pikir bisa mengambil tanah ini dengan kekuatan senjata? Kalian salah besar! Tanah ini hidup, ia bernapas, dan ia akan melawan. Leluhur kami tidak pernah meninggalkan kami, dan malam ini, mereka akan menunjukkan murkanya!" 

Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (19)

Dengan seruan terakhir, darah pati dituangkan ke tanah, dan nyanyian leluhur mencapai puncaknya. Udara menjadi berat, seperti dihuni oleh kehadiran tak kasat mata yang membuat para pendatang merasa kecil dan tak berdaya. 

Malam itu, sesuatu yang tak terjelaskan terjadi. Orang-orang asing melarikan diri dengan ketakutan yang tak terperikan, belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Kabarnya, mereka mendengar suara-suara aneh, bisikan roh halus, merasakan tanah bergetar di bawah kaki mereka, dan melihat bayangan-bayangan besar yang tak dapat dijelaskan oleh logika manusia. 

Di Tampun Juah, Macan Gaikng dan Babai Cinga berdiri dengan tenang, menatap satu sama lain. 

"Kau lihat, Macan?" kata Babai Cinga. "Tanah ini bukan hanya milik kita. Ia adalah perpanjangan dari leluhur, dari Jubata. Selama kita setia, tak ada yang bisa mengalahkan kita di tanah ini." 

Macan Gaikng mengangguk. Pancaran nyala api di matanya tak pernah padam. 

"Malam ini, kita telah menunjukkan bahwa siapa pun yang mencoba merebut tanah ini akan celaka. Tanah ini hidup, dan ia melawan."


CATATAN KAKI:

[1] Pisau tajam, dengan gagang panjang, biasanya digunakan untuk menyembelih ayam dan menyayat sesuatu dengan hanya sekali saja.

[2] Bagi masyarakat Dayak, darah bukan sekadar cairan biologis yang mengalir dalam tubuh. Ia adalah simbol kehidupan itu sendiri, inti dari eksistensi manusia, hewan, bahkan semangat alam. Setiap tetes darah membawa makna mendalam tentang keberlanjutan, kesucian, dan hubungan yang tak terpisahkan antara manusia, leluhur, dan Jubata (Tuhan). 

Dalam tradisi Dayak, darah memiliki nilai sakral yang tidak boleh disia-siakan. Menumpahkan darah, baik dengan sengaja maupun tidak, adalah tindakan yang dianggap tabu dan melanggar adat. Pelanggaran ini tidak hanya berdampak pada pelaku tetapi juga bisa mengundang kutukan bagi komunitasnya. Sebab, menumpahkan darah tanpa tujuan yang suci adalah bentuk pengkhianatan terhadap harmoni kehidupan yang dijaga oleh roh-roh leluhur. 

Namun, darah juga memiliki sisi lain yang mulia, yaitu sebagai alat purifikasi—penyucian jiwa dan tubuh dari noda atau dosa. Dalam beberapa ritual, darah digunakan sebagai media untuk menghubungkan manusia dengan kekuatan spiritual yang lebih besar. Misalnya, darah seekor ayam yang disembelih dengan doa-doa khusus dapat digunakan untuk membersihkan ruang atau individu dari energi negatif. Tindakan ini bukanlah sekadar persembahan, tetapi juga simbol pengorbanan dan pembaruan.

Darah bagi Dayak adalah perwakilan keberanian, pengorbanan, dan keutuhan komunitas. Dalam perang adat zaman dahulu, darah prajurit yang tumpah di medan laga dianggap sebagai persembahan terakhir untuk melindungi tanah leluhur. Darah mereka menyatu dengan tanah, menjadi bagian dari sejarah dan keberlanjutan komunitas. 

Selain itu, darah juga dianggap memiliki kekuatan metafisika. Tetes darah pertama seorang ibu saat melahirkan anaknya, misalnya, dianggap sebagai simbol kelahiran dan siklus kehidupan. Dalam darah itu terkandung warisan leluhur, doa-doa, dan harapan untuk generasi mendatang. 

Orang Dayak sangat berhati-hati menjaga kesucian darah. Menumpahkan darah tanpa sebab yang benar, terutama darah manusia, adalah pelanggaran besar. Adat dan hukum tradisional memiliki sanksi berat bagi pelaku. Tidak hanya denda materi, tetapi juga upacara adat untuk memulihkan keseimbangan yang telah terganggu. Sanksi ini bertujuan untuk mengingatkan bahwa darah adalah titipan suci yang harus dihormati, bukan disia-siakan. 

Dalam konteks purifikasi, darah adalah jembatan antara dunia manusia dan dunia roh. Misalnya, dalam upacara penyucian atau pengusiran roh jahat, darah sering menjadi elemen utama. Tindakan ini mencerminkan pemahaman mendalam bahwa darah bukan hanya milik fisik, tetapi juga spiritual. 

Bagi Dayak, darah adalah awal dan akhir dari segalanya. Ia adalah pengingat bahwa kehidupan adalah anugerah yang harus dihormati, dilindungi, dan dijaga dengan sepenuh hati. Setiap tetes darah adalah pesan dari leluhur dan Jubata, bahwa kehidupan adalah sakral, dan manusia adalah penjaganya. 

[3] Istilah "primitive song" merujuk pada nyanyian atau lagu-lagu tradisional yang digunakan oleh masyarakat adat untuk tujuan spiritual, magis, atau ritual. 

Dalam konteks suku Dayak, nyanyian dan mantra adalah bagian integral dari kehidupan budaya dan spiritual mereka. Lagu-lagu ini tidak hanya dianggap sebagai ekspresi seni, tetapi juga sebagai medium yang menghubungkan manusia dengan dunia roh, alam semesta, dan kekuatan ilahi. Nyanyian dan mantra Dayak dikenal memiliki kekuatan magis yang luar biasa karena sifatnya yang penuh makna simbolis, vibrasi suara, dan keterhubungan dengan elemen spiritual. 

Nyanyian dan mantra Dayak lahir dari pemahaman kosmologis yang mendalam. Masyarakat Dayak percaya bahwa alam semesta dihuni oleh berbagai roh leluhur, dewa-dewa, dan entitas spiritual yang menjaga keseimbangan kehidupan. Setiap kata dalam mantra atau nyanyian dirancang untuk memanggil, menyenangkan, atau memohon bantuan roh-roh ini. Karena itu, setiap suku kata memiliki resonansi spiritual yang kuat. 

Mantra dan nyanyian digunakan sebagai pelindung, baik terhadap ancaman fisik maupun spiritual. Seorang Dayak yang melantunkan mantra perlindungan dianggap mampu menciptakan "perisai tak terlihat" yang mencegah musuh atau roh jahat mendekat. 

Pembaca dengan keingintahuan tinggi terkait primitive songs ini, dapat membaca Bowra, Primitve Song (1963).

LihatTutupKomentar