Bubu: Alat Tradisional Penangkap Ikan Khas Orang Dayak

Dayak, bubu, alat perangkap tradisional, ikan, kearifan, kecerdasan alam, natural smart

 

Bubu adalah alat atau teknologi sederhana tradisional penangkap ikan yang digunakan oleh masyarakat Dayak di Borneo.
Bubu: Alat tradisional penangkap ikan khas orang Dayak. Dok. Masri Sareb.

🌍 DAYAK TODAY  | NUNUKAN :  Bubu adalah alat atau teknologi sederhana tradisional penangkap ikan yang digunakan oleh masyarakat Dayak di Borneo. Alat ini telah digunakan secara turun-temurun sebagai bagian dari kearifan lokal dalam memanfaatkan sumber daya alam secara lestari. 

Bubu umumnya terbuat dari bahan alami seperti bambu, rotan, atau kayu, dan dirancang sedemikian rupa untuk menjebak ikan tanpa merusak habitatnya.

Jenis dan Bentuk Bubu

Ada berbagai jenis bubu yang digunakan oleh orang Dayak, tergantung pada lokasi perairan dan jenis ikan yang ditargetkan. Beberapa jenis bubu yang umum ditemukan di Kalimantan adalah:

a. Bubu Silinder

Bubu ini berbentuk tabung memanjang, biasanya dibuat dari anyaman bambu atau rotan. Terdapat satu atau lebih pintu masuk berbentuk kerucut yang memungkinkan ikan masuk tetapi sulit keluar. Jenis ini efektif digunakan di sungai dengan arus yang tidak terlalu deras.

b. Bubu Lantak

Jenis ini lebih besar dan biasanya ditanam atau diletakkan di dasar sungai atau rawa. Bubu lantak digunakan untuk menangkap ikan dalam jumlah besar, sering kali dengan tambahan umpan agar ikan tertarik masuk.

c. Bubu Jebak atau Perangkap di Air Dangkal

Bubu jenis ini ditempatkan di daerah perairan dangkal seperti rawa atau danau yang surut. Ikan yang berenang ke dalamnya akan terjebak karena struktur pintu masuk yang sempit dan melengkung ke dalam.

Cara Kerja Bubu

Bubu dirancang berdasarkan prinsip jebakan satu arah. Ikan yang tertarik oleh umpan atau arus air akan masuk ke dalam bubu melalui corong sempit, tetapi ketika mencoba keluar, mereka kesulitan menemukan jalannya. Bentuk bubu yang meruncing ke dalam menciptakan ilusi ruang yang lebih luas di dalam, sehingga ikan cenderung berenang lebih dalam ke dalam perangkap.

Baca Long Midang dan Misteri Era Megalitikum

Bubu biasanya ditempatkan di daerah yang sering dilalui ikan, seperti:
Pinggiran sungai berbatu atau berlumpur
Dekat akar pohon atau tumbuhan air yang menjadi tempat persembunyian ikan
Di pertemuan arus sungai atau kanal kecil tempat ikan sering bermigrasi

Filosofi dan kearifan lokal di balik Bubu

Bagi masyarakat Dayak, bubu lebih dari sekadar alat penangkap ikan. Ada nilai budaya dan kearifan lokal yang terkandung dalam penggunaannya:

a. Keberlanjutan dan harmoni dengan alam

Bubu terbuat dari bahan alami seperti bambu dan rotan yang mudah terurai di alam. Berbeda dengan alat tangkap modern seperti jaring plastik atau pukat harimau yang merusak ekosistem, penggunaan bubu lebih ramah lingkungan karena hanya menangkap ikan dalam jumlah wajar dan tidak merusak habitat perairan.

b. Seleksi alami dan penggunaan berkelanjutan

Bubu tidak menangkap ikan secara sembarangan. Ikan yang terlalu kecil atau belum siap dipanen sering kali bisa keluar kembali, sehingga populasinya tetap lestari. Hal ini sesuai dengan prinsip orang Dayak dalam menjaga keseimbangan alam (adat banama’ banua—hukum adat yang mengatur penggunaan sumber daya alam secara bijak).

c. Simbol ketekunan dan kearifan lokal

Membuat bubu bukan pekerjaan sembarangan. Keahlian merakit bubu diwariskan secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Setiap orang Dayak yang memancing atau menangkap ikan dengan bubu harus memahami karakter sungai, kebiasaan ikan, dan cara terbaik meletakkan perangkap agar hasilnya optimal. Ini menunjukkan hubungan erat antara manusia dan alam, di mana orang Dayak belajar dari pengalaman dan pengetahuan nenek moyang mereka.

Baca FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional Memahami Penduduk Asli, Alam Semesta, dan Budaya Borneo Masa ke Masa

Bubu dalam konteks modern

Di era modern, penggunaan bubu masih tetap bertahan di banyak komunitas Dayak, meskipun telah muncul alat tangkap ikan yang lebih modern. Namun, ada tantangan yang dihadapi, seperti:

🔹 Persaingan dengan jaring modern: Jaring plastik dan pukat lebih praktis dan mampu menangkap ikan dalam jumlah besar, tetapi sering kali menyebabkan eksploitasi berlebihan.
🔹 Penurunan jumlah ikan akibat kerusakan lingkungan: Penebangan hutan, pencemaran sungai akibat limbah, dan tambang yang mencemari air telah menyebabkan populasi ikan menurun drastis, sehingga efektivitas bubu semakin berkurang.
🔹 Generasi muda yang kurang tertarik pada metode tradisional: Banyak anak muda lebih tertarik pada pekerjaan lain dibandingkan mempertahankan keterampilan menangkap ikan dengan bubu.

Beberapa komunitas Dayak mulai mengadaptasi bubu dengan teknologi baru, seperti:
Menggunakan sensor atau kamera untuk memantau tangkapan ikan.
Menggabungkan bubu dengan metode pemancingan modern.
Menjadikan bubu sebagai daya tarik wisata budaya, di mana wisatawan bisa belajar cara menangkap ikan secara tradisional.


Bubu adalah lebih dari sekadar alat tangkap ikan bagi orang Dayak. Ini adalah simbol harmoni dengan alam, pengetahuan turun-temurun, serta kearifan lokal yang mengajarkan tentang keberlanjutan dan keseimbangan ekosistem.

Di tengah modernisasi, bubu tetap menjadi alat yang relevan, baik untuk menangkap ikan secara berkelanjutan maupun sebagai bagian dari identitas budaya Dayak yang perlu dilestarikan. Jika generasi muda mau belajar dan menghargai warisan ini, bubu bisa terus bertahan sebagai alat tradisional yang mencerminkan kearifan dan ketahanan orang Dayak dalam menjaga hubungan mereka dengan alam.

Bubu ujud kecerdasan alam orang Dayak

Bubu mencerminkan kecerdasan alamiah (natural smart) orang Dayak dalam memanfaatkan sumber daya sungai secara bijaksana. Alat ini dirancang dengan memahami perilaku ikan dan arus air, sehingga ikan dapat masuk dengan mudah tetapi sulit keluar. 

Bubu dibuat dari bahan alami seperti rotan atau bambu, yang tidak mencemari lingkungan dan dapat terurai secara alami. 

Dengan cara ini, orang Dayak tidak hanya menangkap ikan untuk kebutuhan sehari-hari, tetapi juga menjaga keseimbangan ekosistem sungai agar tetap lestari.

Keunikan bubu juga terletak pada kemampuannya dalam menyeleksi ikan secara alami. 

Hanya ikan yang berukuran cukup besar yang akan terperangkap, sementara ikan kecil dapat meloloskan diri dan terus berkembang biak. Hal ini menunjukkan bagaimana orang Dayak hidup berdampingan dengan alam tanpa merusaknya. 

Tradisi penggunaan bubu menggambarkan filosofi hidup yang menghargai keberlanjutan, di mana manusia dan lingkungan saling mendukung untuk menciptakan harmoni dalam kehidupan sehari-hari.


Harga bubu

Membuat bubu bukanlah pekerjaan yang mudah karena memerlukan keterampilan menganyam yang teliti dan kesabaran tinggi. Prosesnya melibatkan kerja halus dalam menyusun serat bambu agar membentuk perangkap yang kuat dan tahan lama. 

Bahan yang digunakan pun tidak sembarangan, melainkan bambu tua yang telah dipilih secara khusus karena lebih kokoh dan tahan terhadap air. Bambu ini harus dikeringkan dengan baik sebelum dianyam agar tidak mudah lapuk saat terendam dalam waktu lama. Oleh karena itu, bubu memiliki nilai yang cukup tinggi di kalangan masyarakat yang masih bergantung pada alat tangkap tradisional.

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah: Ini Bukti Ilmiah Uji-karbon 40.000 Tahun Silam

Di daerah Krayan, bubu bahkan bisa dihargai hingga Rp 150.000 per unit, mencerminkan nilai kerja dan bahan yang digunakan dalam pembuatannya. Harga ini cukup sepadan mengingat bubu dapat digunakan berulang kali dalam waktu lama. 

Bubu merupakan alat tangkap yang pasif, artinya nelayan tidak perlu terus-menerus mengawasi atau mengoperasikan alat ini seperti halnya jaring atau pancing. Mereka cukup memasang bubu di lokasi yang strategis, seperti tepian sungai yang sering dilewati ikan, dan menunggunya terisi secara alami. Dengan demikian, meskipun harganya terlihat mahal, bubu tetap menjadi pilihan utama bagi masyarakat yang mengutamakan efisiensi dan keberlanjutan dalam menangkap ikan.

Keunggulan bubu semakin terlihat jika dibandingkan dengan hasil tangkapannya. Dalam sekali panen, bubu yang dipasang dengan baik bisa menghasilkan sekitar 3 kilogram ikan, yang nilainya setara atau bahkan lebih dari harga bubu itu sendiri. Ini membuat bubu menjadi investasi yang menguntungkan bagi masyarakat yang bergantung pada perikanan sungai. 

Baca Dayak dalam Pusaran "Political Decay" Bangsa Indonesia Hari Ini

Oleh karena sistemnya yang selektif, bubu membantu menjaga populasi ikan dengan hanya menangkap yang berukuran cukup besar, sementara ikan kecil tetap bisa tumbuh dan berkembang biak.

Dengan menggunakan alat tradisional bubu, masyarakat Dayak tidak hanya memperoleh manfaat ekonomi dari hasil tangkapan ikan. Mereka juga turut menjaga keseimbangan ekosistem sungai agar tetap berkelanjutan dan dapat menyediakan ikan bagi generasi mendatang.

-- Masri Sareb Putra

LihatTutupKomentar