Gadis dari Neraka | Cerpen: Liu Ban Fo

Gadis dari Neraka, cerpen, Liu Ban Fo, Munaldus, getah, karet, dacing, tungking, Dayak, toke

 

ilustrasu by: AI.

Kala itu, 1972. Aku marah sekali kepada gadis itu. Seorang gadis kecil yang benar-benar payah. Seusia itu, ia sudah begitu jago merendahkanku. Ampun!

Ia mungkin seumur denganku, sekitar sepuluh tahun. Aku sungguh-sungguh tak menduga, sepertinya peristiwa ini terjadi secara spontan.

Matahari di atas kepalaku terasa membakar habis rambutku yang sejak lahir sudah kusut. 

Saat itulah aku berhadapan dengan si gadis yang benar-benar tak tahu tata krama. Seenaknya ia menghinaku, padahal aku tak berbuat salah kepadanya.

Baca juga Bologna Raut Wajah Senja | Cerpen Masri Sareb Putra

Ketika aku lewat di depan rumahnya, ia keluar dengan pakaian compang-camping, tanpa alas kaki, wajah tak terurus, dan sorot matanya berantakan. Ia berjalan mendekatiku, lalu berteriak sekeras yang ia bisa, 

“Dasar Dayak! Bla... bla... bla...” Kemudian, kalimat-kalimat hinaan lainnya nyelocos dari mulutnya, memaki-makiku sebisanya.

Mendengar keributan itu, para tetangga keluar dan memandangiku. Rasa ingin tahu memenuhi kepala mereka. Apa gerangan yang terjadi? Aku merasa seluruh dunia telah mempermalukanku.

Setelah puas dengan makiannya, ia lalu memalingkan muka dan membuang ingus, “Preeet...” Ingus menyembur dari lubang hidung sebelah kanannya, dan lendir bertebaran di tanah, pas di depan mukaku. Benar-benar jorok dan keterlaluan!

Apa salahku?

Aku berhasil melewati gadis itu dengan tertatih-tatih, batinku terluka. Tiga keping karet basah yang sedang kubawa dalam sebuah wadah yang kami sebut tungking bergoyang-goyang seirama dengan langkahku yang sedikit goyah. Napasku tersengal-sengal karena beban yang cukup berat untuk usiaku yang baru sepuluh tahun. Pakaianku seadanya, karena hanya itu yang kupunya. Dunia membuatku betul-betul frustrasi.

Kalau pada usia sepuluh tahun sudah mengalami frustrasi sedemikian hebat, bagaimana selanjutnya? Aku belum tahu jawabannya.

Badanku kurus kering, pasti kurang gizi—mungkin juga cacingan. Ya, kawan-kawan sebaya denganku di kampung rata-rata begitu. Untungnya, aku tetap semangat. Yang jelas, aku tidak mau nasib buruk terus-menerus bersahabat denganku, apalagi sepanjang hidupku.

Baca The Origin of Lake Belida

Jalan yang kulewati benar-benar payah, banyak sekali kubangan. Inilah satu-satunya jalan negara, warisan penjajah. Itu kata pamanku. Ketika suatu hari aku bertanya apakah itu benar, pamanku menjawab tegas bahwa kata-katanya benar. Kalau aku berani membantahnya, mungkin aku harus menerima ganjaran: minum tuak segelas penuh. Aku pasti mabuk, lalu muntah, mengeluarkan seluruh isi perutku yang sudah berjasa membuatku tetap tegar.

Kedua kakiku dibalut lumpur kuning. Tubuhku hitam legam, sebagian karena daki bekas lateks karet yang tetap bersarang di tangan, tubuh, dan kakiku. Biasa, aku mandi tak mengenal sabun. Setiap hari aku berada di tempat-tempat kotor yang membuat diriku tak pernah bersih. Aku juga tak pernah menyikat gigi. Tapi gigiku sungguh kuat. Gigi yang benar-benar terlatih—menggigit benda-benda keras seperti kulit tebu, ceker ayam kampung, dan memecahkan buah berangan.

Kadang-kadang, gigiku cukup berjasa untuk menakut-nakuti preman-preman kelas di sekolah. Ketika aku siap menggigit mereka, mereka mundur teratur. Jadi, ternyata gigiku adalah senjataku juga.

Hanya sekitar 100 meter lagi aku akan sampai di toko Apun, tempatku menjual tiga keping karet dan menukarnya dengan beberapa kilo beras. Sebenarnya, bukan baru kali itu aku melewati rumah si gadis tadi untuk menjual karetku. Ayahku sudah berpuluh-puluh tahun bertoke kepada Apun. Namun, baru kali itulah peristiwa naas itu terjadi padaku.

Karena kelakuan anak gadis itu, pikiranku tertuju pada kemiskinan yang melanda keluargaku. Kemiskinan telah membuatku tidak punya banyak pilihan. Toke Apun, tempat ayahku menjual karetnya hampir sepanjang hidupnya, semakin kaya, sedangkan ayahku tetap saja miskin. Aku bertanya-tanya dalam hati: akankah kami miskin selamanya dari generasi ke generasi?

Jawabannya, kemiskinan itu harus dihentikan. Cukup hanya sampai pada generasi ayahku. Tidak akan menular padaku. Aku yakin itu. Sumpah!

“Kemiskinan itu seperti pendarahan. Jadi, harus dihentikan,” kata guruku yang kulitnya hitam legam. Logatnya selalu tak pernah sempurna. Ia bukan orang dari kampungku, tapi dari negeri seberang. Ia sudah seperti keluargaku sendiri karena menikah dengan tanteku.

Tetesan air dari karet basah terus-menerus membasahi betisku. Tapi itu tak menghentikanku untuk terus melangkah secepat yang aku bisa—agar menjauh dari gadis brengsek itu. Untung bagian belakang tubuh dan kedua pahaku tidak basah, karena aku melindunginya dengan selembar upih.

Baca juga Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah

Bau karet basah itu—rada-rada bau busuk, bercampur dengan bau badanku. Kau tahu... bau karet, itulah bau duit. Kata-kata itu cukup kuat untuk menghiburku.

Tiga keping karet yang beratnya sekitar 10 kilo itu nanti akan ditukar dengan sekitar lima kilo beras. Jadi, dua kilo karet ditukar dengan satu kilo beras. Hampir-hampir tak berharga. Sering kali aku melamun melihat keadaan ini. Mengapa ayahku dan warga kampung—yang nota bene satu keluarga—terus bertahan dengan keadaan ini? Apakah tidak ada sumber pendapatan lain yang lebih menjanjikan?

Bukan itu masalahnya! Orang-orang kampungku dimanja oleh alam secara turun-temurun. Lalu, mereka mengira alam akan terus berbaik hati. Dimanjakan alam jauh lebih kejam. Aku rasa begitu.

Sambil terus melangkahkan kaki, aku memalingkan muka sekali lagi ke arah gadis kecil yang telah menghinaku. Hanya ingin tahu saja. Siapa tahu dia bereaksi lagi...

Beras di rumah kami sudah habis. Sepulang dari toko Apun, ibuku akan langsung memasak nasi. Setelah makan, aku akan bergegas pergi ke sekolah. Pukul 13.30 pelajaran baru dimulai.

Dengan bersekolah, aku akan mendapatkan masa depan. Jadi, untuk menggapai masa depan, aku harus menunda banyak kenyamanan dan kenikmatan. Aku harus menanggapi penghinaan dari gadis kecil tetangga kampungku itu dengan cara yang bijak—tak lain aku harus sekolah tinggi. Kata-kata gadis itu menjadi pijakkanku untuk melangkah. Itulah janjiku kepada diriku sendiri.

Ketika aku sampai di toko, toke Apun sedang menimbang karet pelanggannya di serambi depan rumahnya. Dacing—timbangan gantung berukuran besar—tergantung di serambi tokonya. Barang itulah yang mungkin membuat Apun lebih kaya dari ayahku. Dacing itu menjadi teman akrab Apun.

Seorang bapak yang tangan dan kakinya penuh daki lateks dan kurus kering—beda-beda tipis denganku—pasti saban hari ia berkelahi dengan rasa frustrasi, sedang menunggu karetnya ditimbang.

Orang itu, yang tidak aku kenal, duduk sendirian di dalam toko, menyesap kopi suguhan si toke, dan membiarkan saja si toke menimbang karetnya tanpa ikut campur. Kok ia percaya saja kepada si toke tanpa mengecek hasil timbangan, pikirku.

“Empat puluh delapan kilo,” teriak si toke kepada orang itu. Ia mengangguk. “Kau mau beli apa?”

“Seperti biasa: beras, garam, gula, kopi, tembakau, daun nipah untuk rokok,” kata orang itu. Aku mendengarnya dengan jelas.

Sang toke memalingkan muka dan menatapku dengan senyum. Aku malu-malu.

Rezeki datang lagi, pikir si toke. Kali ini dariku.

LihatTutupKomentar