Ladang Orang Dayak

Dayak, ladang, tradisiona, kearifan, salah dipahami, sengaja diframing, kriminalisasi oleh pendatang, Guy Sacerdoti, Jenkins, tambang ilegal

 

Ladang Orang Dayak ramah lingkungan. Yang merusah: industri, tambang, dan perusahaan sawit.
 Ladang Orang Dayak ramah lingkungan. Yang merusak: industri, tambang, dan perusahaan sawit. Dok. Rmsp.

🌍 DAYAK TODAY  | PONTIANAK: Ada musim yang datang dengan janji. Ada musim yang datang dengan luka.


Di Borneo, tanah yang lebih tua dari sejarah, ladang bagi orang Dayak bukan sekadar tempat bercocok tanam. Ia adalah ingatan yang merambat dari generasi ke generasi, suara yang berbisik dalam gerak tangan menanam benih, nyanyian dalam derak bilah parang yang membelah batang padi. 

Baca Ladang Orang Dayak: Yang Merusak Hutan Kalimantan Petambang, Perusahaan Sawit, dan Industri

Bertani bagi Dayak bukan sekadar bertahan hidup, tetapi cara membaca waktu, merapal doa, menulis sejarah dengan jemari yang akrab dengan tanah.

Di musim panen, bukan hanya butiran padi yang dikumpulkan. Ada syair yang dinyanyikan, tarian yang menjejak tanah, dan hidangan yang dibagi dalam belarasa yang lebih tua dari kata itu sendiri.

 Namun, perubahan datang seperti gelombang yang tak tertahan. Hutan yang dulu melindungi ladang kini beringsut pergi, digantikan oleh lahan kelapa sawit yang rapi dalam barisan, seperti serdadu yang tak mengenal belas kasih. Ladang yang dulu melahirkan kehidupan kini terancam menjadi kenangan.

Tanah yang Ditelan Zaman

Di Landak, Bengkayang, Ketapang, Sekadau, Sintang—nama-nama yang terukir dalam peta sebagai saksi bisu perubahan—hak guna usaha (HGU) merayap seperti bayangan yang tak diundang. Ia merampas tanah adat, menyusup hingga ke pemakaman leluhur. Bukankah tanah ini lebih dari sekadar hamparan yang bisa diukur dalam hektar? Ia adalah tempat para leluhur menambatkan nyawa, tempat anak-anak tumbuh dengan cerita yang diajarkan dalam bisikan angin di antara pepohonan.

Baca FILSAFAT DAYAK

Grace Lukas dari Sekadau pernah berkata, "HGU telah menembus tanah adat, bahkan kuburan Dayak pun tak luput." 

Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kehilangan lahan. Ada warisan yang perlahan pudar, ada nyawa yang tercerabut dari tanah yang dulu mereka lindungi dengan nyawa.

Ladang yang Menghidupi, Ladang yang Terabaikan

Bukan hanya soal padi, bukan hanya soal makanan. Ladang bagi orang Dayak adalah cara hidup. Setelah panen padi, tanah itu tidak dibiarkan mati. Ia melahirkan umbi-umbian, sayur-mayur, jamur liar—makanan yang lebih dari sekadar konsumsi, tetapi bagian dari siklus yang terus menghidupkan.

Guy Sacerdoti dan Jenkins (1978) pernah memperkirakan bahwa satu hektar ladang Dayak mampu menghasilkan hingga 900 kilogram padi. Namun, yang lebih penting dari angka itu adalah kehidupan yang tumbuh di sekitarnya —satwa yang masih menemukan habitatnya, pohon yang masih bisa bernapas, dan tanah yang tetap subur meski tak dijaga oleh pupuk buatan.

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah

Lalu datanglah industri. Lalu datanglah ekspansi. Lalu datanglah kemudahan yang memudarkan. Dan anak-anak Dayak yang dulu melihat ladang sebagai halaman rumah kini melihatnya sebagai sisa-sisa dunia yang tak lagi relevan.

Etnoturisme: Menjaga yang Nyaris Hilang

Mungkin satu-satunya cara untuk menjaga ladang agar tetap hidup adalah dengan mengundang orang luar untuk masuk ke dalamnya—bukan untuk mengubahnya menjadi museum, tetapi untuk merasakan denyutnya. Bukan sekadar melihat, tetapi ikut menanam, ikut menuai, ikut merasakan betapa tanah ini berbicara dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti dengan menyentuhnya.

Di sinilah etnoturisme menemukan maknanya. Bukan sebagai pelarian eksotis bagi mereka yang haus akan pengalaman unik, tetapi sebagai jembatan bagi dunia yang nyaris putus. 

Dengan etnoturisme, orang Dayak bisa menjaga tanahnya tanpa harus menjualnya. 

Orang Dayak bisa tetap bertani tanpa harus kehilangan. Mereka bisa menunjukkan pada dunia bahwa ada cara lain untuk hidup bersama alam, bukan sebagai penakluk, tetapi sebagai penjaga.

Baca Fruit Season in Kalimantan: The Dayak People Embrace Change with Creativity

Seperti yang ditulis Dr. Yansen TP dalam Lundayeh Idi Lunbawang (2018), ladang bukan sekadar sawah, tetapi ekosistem yang terus bergerak. Hutan yang dipelihara dengan bijak, tanah yang diberi waktu untuk beristirahat, dan tangan yang tak pernah lelah menanam ulang.

Tapi waktu tak selalu bersabar. Dan mungkin, suatu hari nanti, jika kita gagal menjaga ladang, kita hanya bisa menemukannya dalam catatan seperti ini. 

Sebuah elegi untuk tanah yang pernah hijau, untuk reguiem yang pernah dinyanyikan, untuk kehidupan yang pernah ada, dan hampir tak lagi ada.

-- Masri Sareb Putra

LihatTutupKomentar