Tentang Koperasi MP
Koperasi tumbuh di tanah Dayak karena 2 hal: percaya dan belarasa. |
🌍 DAYAK TODAY | PONTIANAK: Di sebuah grup "WhatsApp Koperasi", yang entah siapa mula-mulanya, mengalir pesan-pesan seperti air kecil yang kemudian menjadi sungai dengan arus deras. Tentang koperasi. Tentang masa lalu yang terbaca seperti takdir. Tentang masa depan yang kabur di antara harapan dan skeptisisme.
Ada yang melihatnya seperti bayi yang baru lahir. Tapi sudah diwarisi rumah besar, sawah luas, dan utang yang diam-diam menunggu. Ada yang mengingat-ingat, dulu, koperasi pernah sehat.
Baca Credit Union (CU) Lembaga sekaligus Literasi Keuangan Orang Dayak
Kemudian datang program, datang bantuan, datang sesuatu yang disebut stimulus, dan tiba-tiba koperasi itu, yang dulu berjalan tegap, sekarang terseok.
"Selama koperasi berjalan sendiri-sendiri, tak akan pernah kuat," tulis seseorang.
Lalu yang lain menanggapi, "Tapi begitu dibantu, justru sakit."
Tujuh dari sepuluh suara di grup itu, katanya, pesimis. Mereka bicara seperti orang-orang tua di warung kopi, yang sudah terlalu sering menyaksikan perahu karam di sungai yang sama. Mereka tahu kisahnya. Mereka hapal bab-bab awalnya.
Mereka mengingat koperasi yang berdiri dengan niat baik, lalu ditimpa beban yang tak siap ditanggungnya.
Bantuan datang seperti hujan deras di tanah yang belum siap menampung.
Koperasi itu tumbuh, tapi tumbuh seperti pohon yang akarnya lemah, batangnya rapuh. Lalu roboh. Lalu menjadi sejarah yang diulang-ulang.
Baca CU Banuri Harapan Kita dan Literasi Keuangan Masyarakat Lokal
Tapi tetap saja, di antara keraguan yang menyerupai kepastian, ada orang-orang yang masih mau mencoba. Yang percaya bahwa koperasi, bagaimanapun, bukan sekadar soal modal atau bantuan, tetapi tentang cara manusia bersandar satu sama lain, mencari rezeki tanpa saling menjatuhkan. Mungkin mereka seperti petani yang tetap menanam meski langit mendung. Atau nelayan yang tetap melaut meski angin utara mengancam.
Lalu di pihak lain ada koperasi yang tumbuh berbeda.
Bukan dari program, bukan dari bantuan, tetapi dari : kebutuhan. Dari orang-orang yang sadar bahwa hidup tak bisa ditopang sendiri-sendiri.
Koperasi kredit, Credit Union (CU), diperkenalkan oleh Gereja Katolik sejak tahun 1970-an. Tidak ada janji-janji manis di awal.
Tidak ada modal besar yang tiba-tiba datang. Hanya kesadaran sederhana: "Saya bantu kamu, kamu bantu saya."
Itulah yang membuat CU berbeda. Terbuka. Ada pengurus. Ada pengawas. Ada kontrol. Ada akuntabilitas. Credere, credit. Saling percaya. Dan yang lebih penting: belarasa. Compassion.
Baca The Quiet Revolution: How Credit Unions (CU) Redefined Prosperity for the Dayak People
CU tumbuh karena ia dikelola, bukan sekadar diberi. Ia bertahan karena orang-orangnya percaya satu sama lain, karena sistemnya dibuat agar tetap tegak meski angin kencang datang. Tidak ada tangan negara yang mengatur terlalu jauh. Tidak ada janji bantuan yang meninabobokan. Yang ada hanya kepercayaan dan kedisiplinan.
Maka mungkin masalahnya bukan pada koperasi itu sendiri, tetapi pada bagaimana koperasi dibangun. Jika ia tumbuh seperti CU —dengan akar yang kuat di masyarakat, dengan kesadaran bahwa ia harus dikelola dengan baik— maka ia tidak akan sakit hanya karena bantuan datang. Ia tidak akan limbung hanya karena ada angin perubahan.
Tapi koperasi bukan hanya soal sistem. Ia bukan hanya soal angka, laporan keuangan, atau mekanisme pinjam-meminjam. Koperasi, jika ia ingin hidup, harus lebih dari sekadar lembaga. Ia harus menjadi kesadaran.
Bung Hatta pernah membayangkan koperasi sebagai jalan ketiga: bukan kapitalisme yang memusatkan kekayaan di tangan segelintir orang, bukan pula sosialisme yang menafikan kebebasan individu.
Koperasi, baginya, adalah tentang gotong royong. Tentang ekonomi yang tidak hanya mencari laba, tapi juga membangun kesejahteraan bersama.
Baca The Dayak Bank: The Credit Union (CU) That Drives Financial Literacy for the Dayak People
Tapi koperasi yang dibayangkan Bung Hatta bukanlah koperasi yang tumbuh karena proyek. Ia adalah koperasi yang lahir dari kebutuhan. Dari kesadaran bahwa tak ada orang yang bisa berjalan sendirian, tapi juga bahwa tak ada yang bisa selamanya disandarkan pada bantuan.
Seperti air di sungai yang mencari jalannya sendiri, koperasi yang bertahan adalah koperasi yang menemukan bentuknya di tengah masyarakat. Yang tidak hanya mengandalkan modal, tetapi juga membangun kepercayaan.
Entah bagaimana kisah ini berakhir. Mungkin seperti semua kisah koperasi yang pernah ada —yang bertahan, atau yang pelan-pelan lenyap.
Tapi sementara itu, pesan-pesan di grup masih terus mengalir.
Seperti sungai. Seperti percakapan yang tak selesai.
-- Masri Sareb Putra