Duri Cinta Kebun Sawit (9) | Permainan Tenis Dimulai

Novel, roman, cerita bersambung, perusahaan sawit, Maria Magdalena, Janting, Dayak, pemuda, tanah ulayat, mencaplok, Pontianak, bule, Eric,

Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (9)
Permainan tenis dimulai by AI.

Permainan tenis dimulai....

Eric meluncurkan servis keras. Menggelegar, dan presisi, seperti roket NATO. Magdalena menahan bola. Memantul. Membalas. Gerak tubuhnya cepat, lincah, dan sedikit menghina.

Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (8) | Lapangan Tenis yang Menyibak Rahasia Semesta

Dia bukan sekadar bermain untuk menang. Dia bermain untuk mengingatkan. Bahwa tubuhnya sudah tidak lagi tersedia. Sudah dipasak.

Janting, yang berada di pinggir lapangan, mengepalkan tangan. Bukan karena cemburu, tapi karena dia tahu: pertandingan ini bukan sekadar olahraga. Ini adalah ritual.

Bola melayang. Magdalena melompat dan memukul. Suara raket membelah udara. Eric terpental, tersungkur. Wajahnya terciprat embun, tapi yang ia rasakan lebih seperti air mata.

Penonton bersorak. Namun, Magdalena tidak tersenyum. Ia menatap Eric seperti menatap masa lalu yang hampir menjebaknya.

Lalu ia berjalan perlahan ke tepi lapangan, mendekati Janting yang diam.

“Sudah selesai?” tanya Janting.

Magdalena mengangguk, namun matanya menyiratkan sesuatu yang belum selesai. Karena pasak bukan hanya soal menancap, tapi juga soal bertahan, bahkan ketika tanah di bawahnya mulai bergerak.

Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (7) | Lorong menuju Dunia Lain

Mereka tidak berkata apa-apa lagi. Namun, saat tangan mereka bersentuhan, semua orang tahu: ini bukan cinta biasa. Ini perjanjian tubuh. Perjanjian darah. Perjanjian yang tak bisa dibeli dengan dolar atau visa diplomatik. Karena keringat sehat hari ini... bau tanah. Dan tanah itu, sudah ditandai pasak.

Beberapa jam setelah pertandingan tenis itu, Eric kembali ke kamarnya. Kamar suite paling mahal. Tirai beludru. Lantai marmer. AC yang dinginnya menusuk sampai tulang ekor. Namun tubuh Eric basah oleh sesuatu yang tak bisa dijelaskan: bukan keringat, bukan air, lebih seperti... ketakutan yang terlambat disadari.

Ia duduk di depan laptop, membuka berkas akuisisi. Perusahaan bernama "DAYA BORNEO INTI" siap dilebur ke dalam portofolio. Tinggal satu tanda tangan.

Tapi di pojok layar, video pertandingan tadi pagi terus berputar. Magdalena dalam slow motion. Keringatnya menetes di pelipis, turun ke leher, lalu menghilang ke celah dada terbuka; seolah mengundang roh jantan keluar dari jasadnya.

Eric menggertakkan gigi.

"Kalau tidak bisa dibeli... harus dikuasai," bisiknya sambil menekan tombol kirim—memanggil tim eksekutor: negosiator, pengacara, dan satu unit Satpam bersenjata.

Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (4) | Terperangkap Kesunyian dan Pencarian Diri

Namun, di luar hotel, langit mendadak gelap. Angin bertiup dari arah hutan. Tapi bukan angin biasa, ini angin yang membawa bau akar lapuk, darah binatang, dan dupa yang entah dibakar siapa.

Dan Janting tahu: roh-roh sudah bangun.

Sementara itu, di kedalaman hutan, di lubuk yang tak pernah disentuh alat berat, ada pasak tua. Bukan sembarang pasak. Ini pasak yang ditancapkan oleh leluhur saat masih telanjang, saat tubuh dan bumi belum dipisah pakaian. Dari pasak itu, roh penjaga hutan bangkit. Berwajah gelap, mata putih, lidah bercabang. Tapi bukan menyeramkan, malah erotik. Seperti mimpi basah yang dilarang oleh agama, namun direstui oleh tanah dan didukung ilmu jiwa.

Salah satu roh itu yang paling beringas mendekat ke Magdalena. Tak bicara. Hanya mendesis seperti ular kawin.

Magdalena tersenyum. Tubuhnya sedikit bergetar. Tapi bukan takut.

"Sudah waktunya, ya?" bisiknya.

Keesokan harinya, Eric menghilang.

Yang tertinggal hanya sepatu kulitnya dan bercak lendir kehijauan di balkon kamarnya. Negosiasi dibatalkan. Perusahaan rugi miliaran, hampir mencapai 1 T. Investor gelisah. Namun di kalangan warga lokal, legenda baru mulai dibisikkan:

"Bule itu dikawinkan roh tanah. Karena mau beli sesuatu yang tak dijual: tubuh, hutan, dan perempuan yang sudah dipasak."

Di malam hari, Magdalena dan Janting duduk di beranda rumah kayu. Kopi hitam mengepul. Angin menyisir kulit mereka.

Janting menatap Magdalena. Lalu berbisik, "Dia mati?"

Magdalena menggeleng pelan.

Baca Duri-duri Cinta di Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan

"Tidak. Dia hidup. Tapi sekarang... dia jadi penjaga. Roh hutan suka lelaki bule. Dagingnya lembut. Tulangnya rapuh. Tapi gairahnya keras. Seperti jamur pagi: tegang, tapi mudah patah."

Janting tertawa. Sampai ngakak. Magda, Magda... pikirnya. Jauh benar ilmunya. Perbandingan produk dan cita rasa lelaki mana yang tidak diketahuinya?

-- Roman simbolik: Masri Sareb Putra

(Berambung)

LihatTutupKomentar