Dayak dan Booming Sawit: Siapa yang Menikmati “Emas Hijau” di Borneo?

awit di Kalimantan, konflik agraria Dayak, minyak sawit dunia, hutan adat Kalimantan, tanah ulayat, perempuan Dayak, petani sawit, dampak lingkungan

Dayak harus bisa menikmati booming sawit
SAWIT. Tak pernah ada petani bangga kecuali petani sawit. Dok. Defi Susana.

Petani sawit Dayak muda di Kalimantan mulai merasakan dampak ekonomi global, namun di balik senyum panen itu tersembunyi cerita hutan yang lenyap, konflik agraria, dan ketimpangan struktural.

🌍 DAYAK TODAY | PONTIANAK : Seorang perempuan muda Dayak berdiri di tengah hamparan kebun sawit. Ia tersenyum sambil memotret dirinya, memegang tandan buah segar yang baru dipanen. Ia bangga, bukan hanya karena panen melimpah, tetapi karena merasa menjadi bagian dari dunia yang sebelumnya jauh: ekonomi global.

👉 Baca juga Manfaat dan Mudarat Sawit bagi Warga Kalimantan

Sawit, yang dijuluki “emas hijau”, membuka harapan baru. Bagi sebagian orang Dayak, menjadi petani kini bukan lagi soal bertahan hidup, tapi tampil dan bangga.

Namun di balik narasi optimistis itu, terbentang cerita panjang yang tak selalu menguntungkan bagi masyarakat adat. Ada dusun yang perlahan hilang dari peta. Hutan diganti peta konsesi. Hak adat tak lagi diakui karena absen dari lembar sertifikat.

Ledakan Permintaan Minyak Sawit Dunia: Dayak di Persimpangan

Dalam dua dekade terakhir, permintaan global terhadap minyak nabati melonjak drastis. Data Oil World Annual 2024 mencatat peningkatan produksi minyak nabati dari 130,8 juta ton (2003/04) menjadi 259,8 juta ton (2023/24). Pangsa sawit kini mencapai 31,5%, naik dari 23,1%.

Pendorong utamanya: permintaan biofuel, industri makanan, kosmetik, hingga farmasi. Laporan USDA menyebut tren ini belum akan berhenti.

Tetapi bagaimana dengan Dayak di Kalimantan?

Di balik setiap lonjakan produksi, muncul pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya menikmati keuntungan. Banyak kampung adat tidak diajak bicara sebelum tanah mereka diubah menjadi perkebunan. Konflik agraria menjamur di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, sering kali tanpa penyelesaian adil.

Ketika Tanah Ulayat Diubah Jadi Konsesi

Di Borneo, lanskap hutan berganti menjadi lautan monokultur sawit. Banyak kampung Dayak mengaku tak pernah menandatangani pelepasan tanah. Namun kamera pemetaan, bulldozer, dan alat berat tetap datang.

👉 Baca juga Yeka Hendra Fatika, Pimpinan Ombudsman RI, Soroti Masalah Utama Industri Sawit Indonesia

Seorang tetua kampung berkata, “Mereka bilang, hutan ini bukan milik kami lagi.” Padahal, hutan itu sumber hidup: untuk obat, madu, ritual, dan pangan.

Di Kalimantan Tengah, para janda hanya menerima kompensasi beberapa juta rupiah, padahal dari tanah yang sama perusahaan bisa menghasilkan miliaran per tahun.

Dampak Ekologis: Dari Orangutan Hingga Sungai Keruh

Bukan hanya manusia yang terdampak. Greenpeace (2023) mencatat bahwa pembukaan hutan dan lahan gambut di Kalimantan mempercepat pelepasan karbon, menciptakan kabut asap, dan merusak iklim mikro.

👉 Baca juga FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional Memahami Zat Tertinggi, Penduduk Asli, Alam Semesta, dan Budaya Borneo Masa ke Masa

Satwa langka seperti orangutan dan burung enggang kehilangan habitat. Sungai menjadi keruh, pola hujan kacau, dan musim tanam tak menentu. Dampaknya langsung terasa oleh komunitas petani lokal yang masih menggantungkan hidup pada alam.

Perlawanan dan Inisiatif: Dayak Tak Tinggal Diam

Namun tidak semua menyerah. Gerakan masyarakat sipil dan komunitas adat mulai merebut kembali ruang hidup. Beberapa desa telah mendapatkan status hutan desa dan hak kelola berdasarkan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC).

Di Kalimantan Timur, uji coba pendekatan yurisdiksi berkelanjutan sedang berlangsung. Jaringan LSM nasional dan internasional seperti RSPO, Human Rights Watch, hingga AMAN terus mendorong pengakuan hukum atas tanah adat dan revisi kebijakan seperti UU Cipta Kerja.

Sawit dan Keadilan: Menjadi Pemilik, Bukan Buruh di Ladang Sendiri

Sawit kini menjadi bagian dari realitas. Ia tumbuh, meluas, dan menjalar. Namun keadilan sosial tak boleh tertinggal. Sawit yang tumbuh di atas tanah orang Dayak harus membawa kesejahteraan sejati bagi yang empunya tanah.

Tak cukup hanya CSR atau kompensasi satu kali. Orang Dayak harus menjadi pemilik sah, bukan hanya buruh atau penonton.

Pembangunan harus berjalan tanpa menghapus jejak nenek moyang. Sebab tanah ini bukan sekadar aset ekonomi, tapi ruang hidup, sejarah, dan spiritualitas.

Masa Depan Sawit Harus Adil bagi Dayak

Masa depan Kalimantan tidak boleh hanya ditentukan oleh grafik produksi dan neraca ekspor. Yang lebih penting: apakah pertumbuhan itu memelihara martabat manusia dan menjaga harmoni alam.

Keadilan bukan soal angka, tapi pengakuan. Bahwa tanah ini punya sejarah, punya suara, dan berhak menentukan nasibnya sendiri.

-- Eremespe/dayaktoday.com


LihatTutupKomentar