Prakapitalisme di Kampung-kampung Dayak
Prakapitalisme di Kampung-kampung Dayak by AI. |
🌍 DAYAK TODAY | PONTIANAK: Di suatu sudut dunia yang jauh dari hiruk-pikuk modernitas. Di tanah yang punya sejarah panjang, namun tetap kental dengan tradisi. Masyarakat Dayak di Borneo hidup dalam keseimbangan yang memikat antara dunia lama dan yang baru.
Tak bisa dipungkiri, Masyarakat Dayak masih berada dalam jalinan prakapitalisme yang kadang tersembunyi di balik wajah keindahan alam dan keteguhan adat istiadat yang mereka pegang erat.
Dalam pandangan Dr. J.H. Booke (1948), prakapitalisme ini bukanlah suatu kejanggalan, melainkan bentuk ekonomi yang terbentuk dengan sendirinya—sesuatu yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan yang tak bisa dipisahkan, meskipun dua dunia itu sering kali saling bertentangan.
Baca Dayak dan Hak Atas Tanah Adat
Prakapitalisme, dalam pengertian yang lebih sederhana, adalah masa peralihan. Sebuah fase ekonomi di mana masyarakat sudah mengenal pertukaran barang, sudah ada pemilik tanah dan modal, namun belum sepenuhnya dikuasai oleh logika kapitalisme yang modern.
Dalam masyarakat Dayak, seperti yang tampak pada banyak desa di pedalaman Borneo, kehidupan ini berputar pada prinsip-prinsip yang lebih mengutamakan keberlanjutan daripada keuntungan. Masyarakatnya masih mengolah tanah dengan cara tradisional: bertani dengan rotasi, bercocok tanam dengan metode yang sudah dipraktikkan selama berabad-abad. Bukankah itu sebuah paradoks yang menarik?
Di tengah-tengah arus globalisasi dan kapitalisme yang semakin melaju, masyarakat Dayak tetap teguh pada cara hidup yang memperhitungkan lebih banyak hal daripada sekadar keuntungan pribadi atau keuntungan jangka pendek.
Namun, prakapitalisme ini bukan tanpa tantangan. Mereka yang tinggal di pedalaman Borneo, di tanah yang kaya akan hasil hutan dan sumber daya alam lainnya, seakan berada di persimpangan jalan.
Baca Grace Lukas’ Battle: Defending Community Land Rights from Corporate Grip
Ketika kapitalisme modern melaju, menginvasi ruang hidup mereka dengan investasi besar, seperti perkebunan kelapa sawit atau pertambangan, mereka harus menghadapi pilihan yang sulit. Antara mempertahankan cara hidup yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka, atau mengikuti arus pembangunan yang menawarkan janji kemakmuran.
Keuntungan jangka pendek, tentu saja, menjadi daya tarik besar. Namun, di baliknya ada dilema moral yang mendalam tentang keberlanjutan—tentang siapa yang berhak atas tanah yang mereka sebut rumah dan siapa yang akan mengontrol sumber daya yang sudah ada sejak sebelum dunia ini mengenal konsep kapitalisme.
Pergeseran sosial dan ekonomi yang terjadi, baik di dalam masyarakat Dayak maupun di luar, juga membawa perubahan cara pandang terhadap tanah adat mereka.
Di masa lalu, tanah itu bukan hanya sekadar tempat bertahan hidup, tetapi juga simbol kehidupan spiritual, identitas budaya, dan hubungan yang tak terpisahkan dengan leluhur mereka.
“Dari kutuk menjadi berkat” adalah sebuah ungkapan yang menggambarkan perubahan tersebut.
Dahulu orang Dayak dianggap sebagai masyarakat yang terisolasi, terlupakan oleh dunia luar. Namun, kini mereka berada di pusat perhatian. Terutama karena tanah mereka kaya akan sumber daya alam yang diburu oleh perusahaan besar. Dengan harga komoditas yang semakin meroket, tanah yang dahulu dianggap kurang bernilai, kini menjadi buruan.
Di tengah semua ini, kita harus ingat bahwa bagi masyarakat Dayak, tanah bukan sekadar aset yang dapat diperdagangkan atau diambil alih dengan mudah. Tanah itu adalah segalanya.
Baca Peta Kolonial dan Peta Kapitalisme di Borneo
Di sanalah mereka bertumbuh, beranak-pinak, dan mengembangkan budaya yang sarat makna. Adalah keadilan yang seharusnya diperjuangkan, sebuah penataan yang lebih adil terkait dengan Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang tidak mengabaikan hak masyarakat adat.
Tanpa pengaturan yang jelas dan adil, masyarakat Dayak akan terus menjadi korban dari eksploitasi yang lebih besar, yang tidak hanya mengancam kelangsungan hidup mereka, tetapi juga merusak lingkungan yang telah mereka jaga selama ini.
Pada akhirnya, kita berhadapan dengan sebuah persoalan yang lebih besar daripada sekadar ekonomi. Ini adalah tentang pengelolaan kehidupan dan tanah secara bijaksana. Tentang bagaimana kita, yang terkadang terjebak dalam arus kapitalisme global, bisa belajar dari mereka yang masih menjaga harmoni dengan alam.
Masyarakat Dayak, dengan segala tradisi dan nilai-nilai yang mereka pegang, mengajarkan kita satu hal yang sangat penting: bahwa kemandirian sejati tidaklah hanya tentang memiliki modal, tetapi tentang menjaga dan mengelola warisan yang telah diwariskan oleh bumi ini. Keberlanjutan bukanlah sebuah ide, melainkan cara hidup yang dijaga turun-temurun.
Dalam dunia yang kerap kali tergoda untuk mengejar keuntungan jangka pendek, apakah kita bisa belajar dari mereka yang memilih untuk hidup dalam harmoni, menjaga kelestarian alam dan budaya mereka, meskipun dunia di luar sana terus bergerak dengan cepat?
Prakapitalisme bisa jadi hanya sepatah kata. Tetapi bagi masyarakat Dayak, ia adalah sebuah kenyataan yang tak terhindarkan. Mereka hidup dalam peralihan, antara mempertahankan yang lama dan menghadap masa depan yang penuh ketidakpastian.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Namun dalam keteguhan mereka, kita mungkin bisa menemukan sebuah pelajaran berharga: tentang keberlanjutan, tentang keseimbangan, dan tentang identitas yang tak ternilai harganya. *)