Konflik Lahan dan Perebutan Ruang Hidup di Kalimantan Barat
Tanggal rilis : 06 Juni 2025
Abstrak
Masyarakat Dayak di Borneo hidup dalam fase prakapitalisme, sebuah sistem ekonomi yang mencerminkan peralihan antara tradisi subsisten dan logika kapitalisme modern. Penelitian ini mengkaji bagaimana masyarakat Dayak mempertahankan keseimbangan antara nilai-nilai adat dan tekanan ekonomi industri, khususnya dalam konteks hak atas tanah adat dan eksploitasi sumber daya alam. Dengan pendekatan interdisipliner, penelitian ini menganalisis tantangan yang dihadapi masyarakat Dayak dalam menjaga identitas budaya dan keberlanjutan lingkungan di tengah ekspansi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Temuan menunjukkan bahwa prakapitalisme bukan hanya fase ekonomi, tetapi juga cerminan keteguhan budaya yang menawarkan pelajaran berharga tentang harmoni dengan alam.
Pendahuluan
Masyarakat Dayak, sebagai salah satu kelompok adat terbesar di Borneo, hidup dalam lanskap sosial-ekonomi yang unik, yang oleh Booke (1948) disebut sebagai prakapitalisme. Istilah ini merujuk pada sistem ekonomi yang menggabungkan praktik tradisional dengan elemen-elemen pertukaran barang dan kepemilikan modal, namun belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam logika kapitalisme modern. Dalam konteks ini, masyarakat Dayak menjalani kehidupan yang berpusat pada keberlanjutan, dengan praktik pertanian rotasi dan pengelolaan sumber daya alam yang telah diwariskan secara turun-temurun (Lukas, 2025). Suatu dilema yang dihadapi pada tahap transisi dari ekonomi tradisional ke modern di mana korporasi dan kekuatan luar bukan hanya datang, melainkan juga mengancam, bahkan cenderung meniadakan.
Baca Events that Mark Important Historical Milestones for the Dayak from 1957 to 2024
Fakta menunjukkan bahwa globalisasi dan ekspansi ekonomi industri, seperti perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, telah membawa masyarakat Dayak ke persimpangan jalan. Masyarakat Dayak dihadapkan pada dilema antara mempertahankan cara hidup tradisional yang berlandaskan pada hubungan spiritual dengan tanah adat dan mengadopsi janji kemakmuran yang ditawarkan oleh pembangunan modern. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dinamika prakapitalisme dalam masyarakat Dayak, dengan fokus pada implikasi sosial, budaya, dan lingkungan dari perubahan ekonomi yang sedang berlangsung.
Metodologi
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan analisis naratif dan studi literatur. Data dikumpulkan dari sumber-sumber akademik, laporan lapangan, dan narasi budaya yang relevan, termasuk wawancara dengan tokoh masyarakat Dayak dan studi kasus tentang konflik tanah adat (Lukas, 2025). Analisis intertekstual dilakukan untuk menghubungkan temuan dengan literatur yang ada, seperti karya Booke (1948) tentang prakapitalisme dan studi kontemporer tentang hak atas tanah adat. Verifikasi data dilakukan melalui triangulasi sumber untuk memastikan keabsahan informasi.
Hasil dan Pembahasan
Prakapitalisme: Sintesis Tradisi dan Peralihan Ekonomi
Prakapitalisme, sebagaimana dikonseptualisasikan oleh Booke (1948), merujuk pada sistem ekonomi transisional yang ditandai oleh adopsi parsial mekanisme pasar, seperti pertukaran barang dan kepemilikan tanah, tanpa dominasi logika akumulasi kapital. Dalam masyarakat Dayak, prakapitalisme tampak dalam sistem pertanian ladang berpindah yang mengintegrasikan rotasi tanaman dan pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal. Sistem ini tidak hanya mendukung keberlanjutan ekologi, tetapi juga memperkuat ikatan sosial dan spiritual dengan tanah adat, yang dipandang sebagai entitas sakral yang menghubungkan generasi masa kini dengan leluhur (Tsing, 2005). Misalnya, praktik nyabur (penanaman padi secara komunal) mencerminkan ekonomi berbasis kebersamaan, di mana surplus hasil panen dibagikan secara kolektif, bukan diakumulasikan secara individu.
Baca Kalimantan, Sapi Perah Republik yang Terlupakan? (In-depth reporting)
Akan tetapi, prakapitalisme ini bukanlah sistem yang statis. Data dari Colfer (2010) menunjukkan bahwa masyarakat Dayak di Kalimantan Barat mulai mengadopsi elemen kapitalisme, seperti perdagangan hasil hutan non-kayu (misalnya rotan dan damar), yang menandakan pergeseran menuju ekonomi berbasis pasar. Pergeseran ini menciptakan ketegangan internal, karena nilai-nilai komunal sering kali bertentangan dengan logika individualisme yang dibawa oleh pasar. Sebagai contoh, kepemilikan tanah yang dulunya diatur oleh hukum adat kini mulai diakui secara individual di beberapa komunitas, memicu konflik internal tentang siapa yang berhak atas tanah.
Tekanan Ekonomi Industri dan Ancaman terhadap Tanah Adat
Ekspansi ekonomi industri, khususnya perkebunan kelapa sawit dan pertambangan, telah mengubah lanskap sosial-ekonomi masyarakat Dayak secara signifikan. Menurut Grace Lukas (2025), lebih dari 2,5 juta hektar tanah adat di Kalimantan telah dialihkan untuk Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan kelapa sawit sejak tahun 2000, sering kali tanpa persetujuan bebas, terinformasi, dan terlebih dahulu (FPIC) dari masyarakat adat. Proses ini tidak hanya mengurangi akses masyarakat Dayak terhadap sumber daya alam, tetapi juga merusak ekosistem hutan yang menjadi basis kehidupan mereka. Deforestasi akibat perkebunan telah menyebabkan hilangnya 30% tutupan hutan primer di Kalimantan Barat antara 1990 dan 2020 (Global Forest Watch, 2023), mengancam keberlanjutan praktik pertanian tradisional.
Konflik atas tanah adat semakin diperparah oleh ketimpangan kekuasaan antara masyarakat lokal dan korporasi. Studi kasus oleh Lukas (2023) tentang perjuangan Grace Lukas menunjukkan bagaimana masyarakat Dayak di Sanggau, Kalimantan Barat, menghadapi tekanan dari perusahaan untuk menyerahkan tanah mereka dengan imbalan kompensasi yang tidak sebanding. Dalam banyak kasus, HGU dan Hak Guna Bangunan (HGB) diberikan tanpa konsultasi yang memadai, mengabaikan prinsip keadilan yang diakui dalam Konvensi ILO 169 tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (ILO, 1989). Akibatnya, masyarakat Dayak terjebak dalam dilema: menerima kompensasi jangka pendek yang menjanjikan kemakmuran atau mempertahankan tanah adat yang merupakan inti identitas budaya mereka.
Keberlanjutan dan Resistensi Budaya
Di tengah tekanan eksternal, masyarakat Dayak menunjukkan ketahanan budaya yang luar biasa. Tanah adat, sebagaimana digambarkan oleh Tsing (2005), bukan hanya sumber ekonomi, tetapi juga pusat spiritual dan budaya yang menghubungkan masyarakat dengan leluhur mereka. Ungkapan lokal "dari kutuk menjadi berkat" mencerminkan transformasi persepsi terhadap tanah Dayak, yang kini menjadi target investasi karena kekayaan sumber daya alamnya, seperti minyak, gas, dan mineral (Colfer, 2010). Namun, transformasi ini juga membawa risiko eksploitasi yang mengancam keberlanjutan lingkungan dan budaya.
Resistensi masyarakat Dayak terhadap ekspansi kapitalisme terlihat dalam gerakan advokasi hak tanah adat, seperti yang dipimpin oleh tokoh seperti Grace Lukas. Gerakan ini menuntut pengakuan hukum atas tanah adat dan penerapan FPIC dalam setiap proyek pembangunan. Selain itu, beberapa komunitas Dayak telah mengembangkan alternatif ekonomi, seperti pengelolaan ekowisata berbasis adat dan perdagangan produk hutan non-kayu, untuk menjaga kemandirian ekonomi tanpa mengorbankan nilai-nilai budaya. Pendekatan ini mencerminkan sintesis antara prakapitalisme dan adaptasi strategis terhadap tekanan modern, menunjukkan bahwa masyarakat Dayak tidak hanya bertahan, tetapi juga berinovasi dalam menghadapi perubahan.
Baca Kabinet tanpa Menyertakan Dayak : Perlu ada Partai Dayak (Lagi)
Konflik lahan di Kalimantan Barat, khususnya di wilayah Sosok (Kabupaten Sanggau), Sekadau, Sintang, dan Ketapang, memperlihatkan pola struktural yang serupa: perebutan ruang hidup antara masyarakat adat Dayak dan kepentingan modal perusahaan sawit, dengan keterlibatan atau pembiaran oleh negara. Meskipun masing-masing wilayah memiliki konteks lokal yang khas, benang merahnya adalah pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat, serta lemahnya mekanisme perlindungan negara terhadap wilayah kelola rakyat.
Di Sosok, Kabupaten Sanggau, konflik lahan terjadi antara masyarakat adat Dayak dengan perusahaan sawit seperti PT M dan anak-anak usahanya. Perusahaan-perusahaan ini mengklaim telah mendapatkan izin resmi dari pemerintah daerah, namun proses perolehan lahan dilakukan tanpa konsultasi memadai dan tanpa persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (PADIATAPA). Wilayah adat seperti tembawang (kebun warisan), hutan keramat, dan tanah ladang masyarakat tidak diakui secara hukum formal. Masyarakat yang mempertahankan tanah mereka justru menghadapi intimidasi, ancaman hukum, bahkan kriminalisasi. Sejumlah aktivis ditangkap atas truduhan dianggap merusak fasilitas perusahaan, padahal mereka hanya membela hak atas tanah leluhur. Ketegangan sosial pun meningkat karena sebagian warga menerima skema kemitraan plasma, sementara sebagian lainnya tetap menolak dengan alasan nilai adat dan keberlanjutan ekologis. Akibatnya, muncul keretakan sosial dan ketimpangan ekonomi antarwarga.
Sementara itu, di Sekadau, konflik lahan berkembang dalam bentuk yang lebih terselubung, yaitu melalui skema koperasi dan kemitraan dengan perusahaan sawit seperti PT AA. Banyak warga menandatangani surat pelepasan lahan tanpa memahami sepenuhnya isi dan implikasinya, karena proses sosialisasi dilakukan secara terbatas atau bahkan manipulatif. Alih-alih memperkuat posisi masyarakat, skema koperasi justru memindahkan kendali sosial dari lembaga adat ke institusi yang dikendalikan oleh korporasi. Dampaknya sangat jelas: masyarakat adat kehilangan kedaulatan atas tanah dan hanya menjadi buruh atau petani plasma dengan pembagian hasil yang sangat tidak adil. Selain kehilangan hak ekonomi, masyarakat juga mengalami peminggiran budaya. Tanah tidak lagi dimaknai sebagai sumber kehidupan dan identitas, melainkan sekadar alat produksi yang dikendalikan oleh perusahaan.
Di wilayah Sintang, konflik terjadi karena pemberian izin lokasi dan izin usaha perkebunan (IUP) kepada perusahaan seperti PT K dan PT SS tanpa melalui proses pemetaan wilayah adat yang partisipatif. Konsesi perusahaan tumpang tindih dengan ladang berpindah, tembawang, serta hutan adat milik komunitas. Walaupun belum terjadi bentrokan fisik terbuka, konflik di Sintang bersifat laten namun sangat menggerogoti eksistensi masyarakat adat. Keterlibatan aktor multilevel pemerintah, perusahaan, tokoh adat, LSM, hingga gereja menambah kompleksitas, tetapi posisi tawar masyarakat tetap lemah. Masyarakat kehilangan akses terhadap sumber daya alam yang selama ini menopang ekonomi subsisten mereka, sementara hukum formal lebih berpihak kepada pemegang konsesi. Ketimpangan akses informasi, lemahnya perlindungan hukum, dan absennya pengakuan negara atas wilayah adat menjadi sumber utama ketegangan.
Di Ketapang, eskalasi konflik terjadi secara lebih terbuka. Perusahaan besar ) memperluas perkebunan hingga masuk ke wilayah keramat dan tanah adat. Berbeda dari wilayah lainnya, pola konflik di Ketapang kerap disertai kekerasan dan kriminalisasi warga adat. Modus yang digunakan adalah mengklaim tanah sebagai bagian dari HGU (Hak Guna Usaha) yang sah, meskipun masyarakat memiliki sejarah penguasaan dan penggunaan yang jelas. Warga yang membangun pondok atau berkebun di tanah tersebut dituduh melanggar hukum dan diproses secara pidana. Penegakan hukum tidak berpihak pada keadilan restoratif, tetapi lebih condong pada perlindungan investasi. Di sisi lain, tokoh adat dan tokoh agama mengalami dilema: antara membela warga atau menjaga stabilitas dan keamanan wilayah. Sayangnya, keterbatasan dukungan hukum dan minimnya advokasi membuat masyarakat adat semakin terpinggirkan.
Baca Grace Lukas dan Perjuangan Sertifikat Lahan dan Rumah Warga di Kabupaten Sekadau
Dari keempat wilayah tersebut, dapat disimpulkan bahwa konflik lahan di Kalimantan Barat bukan semata-mata konflik horizontal antarwarga atau antarpendatang dan masyarakat adat. Konflik ini bersifat struktural, mencerminkan ketimpangan relasi kuasa antara masyarakat adat dan korporasi, serta lemahnya peran negara dalam menjamin hak-hak konstitusional masyarakat adat atas tanah, budaya, dan identitas. Konflik ini juga memperlihatkan dampak multidimensional: ekonomi masyarakat melemah, struktur sosial rusak, dan jati diri budaya terancam. Tanah, yang dalam pandangan masyarakat Dayak adalah ibu kehidupan, telah direduksi menjadi objek komodifikasi yang bisa diukur, dijual, dan dialihkan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai sakral dan ekologis yang melekat padanya.
Kesimpulan
Prakapitalisme dalam masyarakat Dayak bukan sekadar fase ekonomi, melainkan cerminan dari keseimbangan antara tradisi dan modernitas. Di tengah tekanan globalisasi dan ekspansi ekonomi industri, masyarakat Dayak menawarkan pelajaran berharga tentang keberlanjutan dan pengelolaan sumber daya secara bijaksana. Untuk memastikan keadilan, diperlukan pengaturan hukum yang melindungi hak atas tanah adat dan mendorong pembangunan yang inklusif. Penelitian ini menegaskan bahwa kearifan lokal masyarakat Dayak dapat menjadi model bagi dunia dalam mencapai harmoni antara manusia, budaya, dan alam.
Daftar Pustaka
Booke, J.H. 1983. Prakapitalisme di Asia. Jakarta: Penerbit Sinar Harapan.
Gunarso, Petrus dan Masri Sareb Putra. 2024. Kaya dengan Sawit: Emas Hijau Alat Politik Ekonomi yang Diperebutkan. Jakarta: Penerbit Lembaga Literasi Dayak.
Wawancara mendalam dengan Lukas, G. (2023).
Global Forest Watch. (2023). Deforestation Trends in Kalimantan, 1990–2020. Diakses dari https://www.globalforestwatch.org.