Bubarkan Kementerian Transmigrasi! Warga Kalimantan Menolak Keras
Demo massa di Kalbar menolak keras Program Transmigrasi. sumber: Landak Informasi. |
Program Transmigrasi di Kalimantan ditolak keras dengan demo dan aksi protes yang semakin menguat. Ratusan warga, organisasi masyarakat, dan mahasiswa di Kalimantan Barat (Kalbar) dan Kalimantan Tengah (Kalteng) turun ke jalan, menuntut penghentian program transmigrasi dan bahkan pembubaran Kementerian Transmigrasi.
Warga Kalimantan merasakan benar bahwa Praktik dan Program Transmigrasi tidak hanya gagal menyejahterakan masyarakat, tetapi juga memicu konflik sosial, kesenjangan ekonomi, dan kerusakan lingkungan.
Baca Transmigration: Moving Poverty, Manufacturing Despair
Demonstrasi besar-besaran di Kantor Gubernur dan DPRD Kalbar pada 21 Juli 2025, serta aksi serupa di Kabupaten Landak pada 18 Juli 2025, menjadi puncak keresahan masyarakat lokal terhadap kebijakan yang dianggap merugikan ini. Apa yang mendorong penolakan ini, dan mengapa warga menyerukan pembubaran Kementerian Transmigrasi?
Latar Belakang Penolakan Transmigrasi
Program transmigrasi, yang telah berjalan sejak era kolonial Belanda dan digencarkan pada masa Orde Baru, bertujuan untuk pemerataan penduduk, pengentasan kemiskinan, dan pembangunan wilayah. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029, pemerintah kembali mengalokasikan anggaran besar, yakni Rp1,89 triliun, untuk revitalisasi 45 kawasan transmigrasi prioritas, termasuk di Kalimantan.
Baca 10 Dampak Negatif Transmigrasi di Kalimantan: Ancaman terhadap Masyarakat Adat Dayak dan Lingkungan
Tiga kabupaten di Kalteng yakni Kapuas, Sukamara, dan Kotawaringin Barat; telah ditetapkan sebagai lokasi transmigrasi, dengan rencana menerima pendatang dari Jawa dan Bali. Namun, kebijakan ini memicu resistensi kuat dari masyarakat lokal.
Warga Kalimantan, khususnya masyarakat adat Dayak, menilai transmigrasi justru memperparah ketimpangan sosial. Agustinus, Kepala Bidang Hubungan Antar Lembaga Pemuda Dayak Kalbar, menyoroti ketidakadilan dalam fasilitas yang diberikan kepada transmigran, seperti rumah, tanah, dan pekerjaan, sementara masyarakat lokal sering kali hidup tanpa akses serupa.
“Masyarakat lokal tempat transmigran ditempatkan ada yang tidak punya tanah, pekerjaan, bahkan rumah mereka tidak layak huni,” ujar Agustinus dalam konferensi pers pada 26 Juni 2025.
Dampak Sosial dan Budaya
Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi konflik horizontal antara masyarakat lokal dan pendatang. Koordinator aksi di Landak, Ferry Sak, menyebut transmigrasi sebagai “bom waktu di atas jerami kering” yang dapat memicu konflik sosial.
Demonstrasi di Ngabang pada 18 Juli 2025 menggarisbawahi bahwa masyarakat tidak menolak pendatang secara pribadi, tetapi menentang sistem transmigrasi terstruktur yang dianggap mengabaikan kebutuhan masyarakat adat dan lokal. Warga menyerukan supaya pemerintah terlalu fokus pada transmigran dari luar, sementara infrastruktur dasar seperti jalan, listrik, dan air bersih bagi masyarakat lokal masih minim.
Baca Moratorium Transmigrasi: Teras Narang Dorong Evaluasi Total demi Keadilan Sosial di Kalimantan
Megawati, Ketua Umum Aliansi Dayak Bersatu Kalteng, menyatakan bahwa transmigrasi berpotensi menggeser nilai, norma, dan tradisi lokal, mengancam eksistensi budaya Dayak. Ia mengingatkan bahwa sejak era Orde Baru, Kalimantan telah menjadi lokasi utama transmigrasi, namun hasilnya sering kali merugikan masyarakat adat, termasuk perampasan tanah leluhur.
Kerusakan Lingkungan
Selain dampak sosial, transmigrasi juga dikritik karena dampak lingkungannya. Pembukaan lahan untuk permukiman transmigran sering kali menyebabkan deforestasi dan degradasi tanah. Menurut studi Anthony J. Whitten (1987), sekitar 30% lahan yang dibuka untuk transmigrasi pada 1979-1984 adalah hutan primer, dengan kerusakan parah pada hutan di lahan gambut.
Baca Leo Kumbang Tegaskan Sikap Inklusif di Tengah Demonstrasi di Landak
Data dari Aliansi Masyarakat Adat Adat Nusantara (AMAN) mempertonytonkan fakta bahwa transmigrasi saat ini berisiko memperparah kerusakan hutan hujan Kalimantan, yang menyumbang 25% udara bersih dunia. Joko Supriyadi dari Forum Intelektual Kaltara bahkan menyebut program ini sebagai kedok eksploitasi sumber daya alam oleh korporasi.
Tuntutan Warga dan Akademisi
Demonstran di Kalbar dan Kalteng mengajukan sejumlah tuntutan, termasuk evaluasi menyeluruh program transmigrasi, penghentian pemindahan penduduk dari luar, dan pengalihan anggaran untuk pembangunan infrastruktur lokal seperti jalan, pendidikan, dan kesehatan.
Baca Alasan Penduduk Asli Kalimantan Menolak Keras Program Transmigrasi: 10 Keburukan Banding 1 Kebaikan
Aliansi Kalbar Menggugat juga menuntut penyelesaian konflik agraria akibat transmigrasi sebelumnya dan pengakuan hak masyarakat148 adat atas tanah ulayat. Mereka bahkan meminta agar Kementerian Transmigrasi dibubarkan, dengan alasan bahwa lembaga ini gagal memahami realitas sosial dan budaya Kalimantan.
Wakil Gubernur Kalbar, Krisantus Kurniawan, mendukung penolakan ini dan mengusulkan solusi konkret: alihkan anggaran transmigrasi untuk kesejahteraan masyarakat lokal yang masih kekurangan lahan, rumah, dan pekerjaan.
“Daripada kita kasih rumah untuk warga luar, kenapa tidak warga Kalbar saja yang dikasih?” ujarnya pada 17 Juli 2025.
Akademisi yang tergabung dalam Ikatan Cendekiawan Dayak Nasional (ICDN) juga meramaikan protes dan diskusi itu. Mereka menekankan perlunya melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan kebijakan untuk memastikan keberlanjutan sosial dan lingkungan.
Refleksi Kebijakan
Penolakan terhadap transmigrasi mencerminkan kegagalan pemerintah dalam menyelaraskan kebijakan dengan kebutuhan lokal. Transmigrasi yang dulu dianggap sebagai solusi pemerataan kini dipandang sebagai sumber masalah baru, mulai dari kecemburuan sosial hingga ancaman terhadap lingkungan dan budaya. Meskipun Kementerian Transmigrasi mengklaim bahwa program ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan, realitas di lapangan menunjukkan sebaliknya. Kurangnya transparansi, keterlibatan masyarakat adat, dan evaluasi dampak menjadi celah besar dalam implementasi.
Pemerintah perlu belajar dari kegagalan masa lalu, seperti yang diungkapkan peneliti BRIN: “Mungkin Kementerian Transmigrasi bisa belajar dari ketidakberhasilan yang dulu-dulu.” Alih-alih memaksakan transmigrasi, fokus pada pemberdayaan masyarakat lokal melalui pendidikan, pelatihan kerja, dan pembangunan infrastruktur dasar mungkin lebih efektif. Jika tidak, Kalimantan berisiko menjadi medan konflik baru, bukan hanya antara masyarakat lokal dan pendatang, tetapi juga antara manusia dan alam.
Aksi demonstrasi di Kalimantan adalah seruan nyata dari masyarakat yang merasa terpinggirkan oleh kebijakan transmigrasi. Tuntutan untuk membubarkan Kementerian Transmigrasi bukan sekadar ekspresi kemarahan, tetapi cerminan dari kegagalan sistemik dalam merancang pembangunan yang inklusif.
Pemerintah harus mendengar suara warga, mengevaluasi kebijakan, dan memprioritaskan kesejahteraan masyarakat lokal serta pelestarian lingkungan. Tanpa langkah konkret, gelombang penolakan ini dapat menjadi awal dari ketegangan yang lebih besar, mengancam harmoni sosial dan keberlanjutan ekosistem di Bumi Borneo.
Sumber: BBC News Indonesia, Faktakalbar.id, Prokal.co, Detik.com, Pontianak Post, Kaltengpedia.com, Kompas.id