Dayak sebagai Indigenous People of Borneo
Dayak hari ini dengan mandau dan perisainya: simbol kemampuan adaptasi dengan perubahan dan zaman. Ist.
Oleh: Masri Sareb Putra, M.A.
Tanggal rilis: 4 Juli 2025
Pengantar
Suku-bangsa Dayak (populasi sedunia ditengarai 8 juta jiwa) memiliki keragaman subetnik, bahasa, dan adat yang luar biasa. Mereka adalah penghuni asli Pulau Borneo yang telah hidup dan berkembang jauh sebelum kedatangan pengaruh luar seperti kolonialisme, perdagangan, dan Islamisasi pesisir.
Identitas Dayak sebagai indigenous people of Borneo bukan sekadar klaim kultural, tetapi kenyataan historis yang didukung oleh bukti arkeologis, linguistik, dan antropologis.
๐ Baca juga FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional Memahami Zat Tertinggi, Penduduk Asli, Alam Semesta, dan Budaya Borneo Masa ke Masa
Sayangnya, narasi kolonial yang menempatkan Dayak dalam posisi marginal masih membayangi pustaka sejarah dan wacana publik hingga hari ini.
Telah tiba saatnya komunitas internasional, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), memberikan pengakuan resmi terhadap identitas Dayak sebagai masyarakat adat Borneo. Pengakuan ini bukan sekadar bentuk simbolik, melainkan langkah korektif terhadap distorsi sejarah yang diwariskan oleh kolonialisme.
Jika itu pun tidak, kini telah tumbuh gerakan akar-rumput yang menulis dari dalam, bukan hanya tentang Dayak, tetapi oleh Dayak itu sendiri. Komunitas seperti "Literasi Dayak", yang aktif berdiskusi melalui platform seperti WhatsApp Group, telah menjadi ruang refleksi kritis, tempat para intelektual kampus dan kampung bersama-sama menggugat warisan kolonial dalam narasi sejarah. Gerakan ini, yang dapat disebut sebagai praktik Decolonizing Indigenous Histories, merebut kembali otoritas penulisan sejarah dari tangan luar menuju tangan mereka yang hidup dan tumbuh bersama tanah dan hutan Borneo.
Rekam Jejak Sejarah dan Budaya Dayak di Borneo
Pulau Borneo dihuni manusia sejak lebih dari 40.000 tahun lalu, sebagaimana ditunjukkan oleh temuan arkeologis di Gua Niah, Sarawak, dan Gua Babi, Kalimantan Selatan. Fosil dan artefak dari periode itu menunjukkan keberadaan kelompok Austro-Melanesia, yang dalam perkembangan antropologis kemudian menjadi nenek moyang suku-suku Dayak.
๐ Baca juga Bank Dayak Itu Bernama Credit Union
Sebelum pengaruh Hindu-Buddha dan Islam masuk ke wilayah pesisir, masyarakat Dayak telah mengembangkan peradaban agraris berbasis hutan hujan tropis. Sistem perladangan ulir balik sejak 10.000 tahun silam di Kalimantan (Lubis, 1980: 9), teknik berladang tanpa membakar hutan primer, manajemen air, serta pengetahuan botani dan pengobatan tradisional menjadi warisan ekologis yang mereka turunkan lintas generasi.
Kerajaan-kerajaan awal seperti Nan Sarunai (Dayak Maanyan) dan Kutai Martadipura (Dayak Kutai) menunjukkan bahwa Dayak bukanlah masyarakat tanpa sejarah negara, melainkan telah memiliki struktur sosial dan politik yang mapan.
Kekuatan Bahasa dan Tradisi
Untuk memahami masyarakat Dayak secara lebih komprehensif, para peneliti telah mengusulkan beragam klasifikasi berdasarkan aspek hukum adat, ritual kematian, bahasa, budaya, dan lingkungan geografis.
H.J. Mallinckrodt (1928) dan W. Stohr (1959) sama-sama mengelompokkan Dayak ke dalam enam kategori etnik seperti Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan, dan Punan berdasarkan hukum adat dan ritus kematian yang memperkuat identitas kolektif dan spiritual masyarakat Dayak.
Tjilik Riwut (1958) mencatat adanya 405–450 subetnis dalam tujuh kelompok utama, menunjukkan dinamika migrasi dan interaksi sosial yang membentuk keragaman budaya Dayak.
Sementara itu, Raymond Kennedy (1974) menekankan unsur linguistik dan budaya sebagai dasar pengelompokan, membedakan kelompok Kenyah-Kayan-Bahau dan Ngaju dalam lintasan sejarahnya.
Untuk menyibak wawasan, ๐ Baca Sistem Pertanian Sawah Organik Terintegrasi dengan Kerbau pada Suku Dayak Kaharingan dan Lundayeh
Suku Dayak, sebagai penduduk asli Kalimantan, pulau terbesar ketiga di dunia dengan luas 743.330 km² diakui secara global sebagai "First Nation" atau indigenous people.
Pengakuan dunia ini tercermin dalam berbagai narasi dan publikasi internasional, menegaskan status mereka sebagai pewaris budaya dan sejarah pulau tanpa memerlukan pengakuan lain.
Lontaan, dalam subbab "Penduduk Kalimantan Raya" (1975: 47-64), menguraikan secara rinci temuan awal tentang keberagaman Dayak yang mendiami wilayah Indonesia (73%), Malaysia (26%), dan Brunei (1%).
Suku Dayak terdiri dari 268 sub-suku, seperti Ngaju, Ot Danum, dan Iban, yang dikelompokkan ke dalam enam rumpun utama: Punan, Klemantan, Apokayan, Iban, Murut, dan Ot Danum. Setiap sub-suku memiliki bahasa, tradisi, dan seni khas, seperti ukiran Dayak dan kepercayaan Kaharingan yang diakui sebagai Hindu.
Selain Dayak, suku Banjar, Melayu, Kutai, dan Paser turut memperkaya demografi, dengan Banjar mendominasi Kalimantan Selatan dan Melayu di pesisir.
Migrasi suku Jawa dan Tionghoa juga menghasilkan akulturasi budaya, seperti batik Dayak Ngaju dan tari zafin. Dengan populasi Kalimantan sekitar 23,7 juta jiwa (2020), pulau yang dijuluki "Pulau Seribu Sungai" ini tetap menjadi pusat keanekaragaman budaya dan hayati, dengan Dayak sebagai jantung identitasnya yang telah diakui dunia.
Untuk menyibak wawasan, ๐ Baca The Classification of Dayak Ethnic Groups
Bernard Sellato (1989) menggunakan pendekatan geografis, terutama sungai-sungai besar, sebagai dasar klasifikasi menyoroti pentingnya aliran sungai dalam struktur sosial dan ekonomi masyarakat Dayak.
Pendekatan linguistik murni dikembangkan oleh Aronson (1978), yang membagi etnis Dayak menjadi Exo-Borneo dan Endo-Borneo, menegaskan bahasa sebagai penanda identitas budaya yang kuat.
Lalu catatan perjalanan Anton Nieuwenhuis (1998) selama ekspedisi tahun 1894 memberikan gambaran etnografis awal tentang kehidupan Dayak, meskipun dibatasi oleh tantangan pemahaman budaya dari sudut pandang luar.
Semua klasifikasi ini tidak hanya menggambarkan kompleksitas masyarakat Dayak, tetapi juga menjadi fondasi penting bagi pendekatan dekolonial dalam studi identitas pribumi di Borneo.
Bahasa merupakan salah satu penanda paling mendasar dalam membentuk dan mempertahankan identitas kultural suatu kelompok etnis.
๐ Baca juga Dayak di Titik Hijau Pulau Kalimantan
Dalam konteks masyarakat Dayak di Borneo, bahasa tidak sekadar berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga sebagai medium pewarisan nilai-nilai kosmologis, pengetahuan ekologis, dan relasi spiritual dengan alam semesta.
Menurut kajian linguistik mutakhir, terdapat setidaknya 405 bahasa dan dialek yang digunakan oleh berbagai subetnis Dayak yang tergolong dalam rumpun besar Austronesia, khususnya cabang Malayo-Polynesia. Beberapa di antaranya mencakup kelompok Land Dayak di wilayah barat Borneo, Barito dan Apokayan di bagian tengah dan timur, serta kelompok Malayic Dayak yang beririsan dengan komunitas pesisir. Keanekaragaman bahasa ini tidak hanya mencerminkan heterogenitas internal suku Dayak—tetapi juga menunjukkan tingkat adaptasi dan interaksi mereka yang kompleks terhadap ekologi Borneo yang kaya dan menantang.
Setiap bahasa Dayak mengandung konsepsi dunia yang unik. Konsep-konsep mengenai waktu, ruang, roh leluhur, dan siklus kehidupan, tertanam kuat dalam struktur bahasa, ungkapan adat, dan narasi lisan yang diwariskan secara turun-temurun. Hal ini memperlihatkan bahwa bahasa Dayak tidak hanya bersifat komunikatif, tetapi juga performatif dan spiritual, menghubungkan generasi sekarang dengan para leluhur serta lingkungan hidupnya.
Seiring dengan bahasa, berbagai bentuk ekspresi budaya Dayak menjadi penopang identitas kolektif yang kuat. Tradisi seni seperti kerajinan manik-manik, rajah tubuh (tato) dengan motif khas seperti bunga terong, yang melambangkan kedewasaan dan keberanian, ritual panen, musik tradisional seperti sapek dan kecapi, serta lembaga hukum adat yang kompleks, membuktikan adanya kontinuitas budaya yang panjang dan hidup.
Salah satu praktik adat yang kerap disalahpahami dalam literatur kolonial adalah ngayau yakni tradisi pengambilan kepala musuh. Dalam perspektif Dayak tradisional, ngayau bukanlah tindakan kekerasan semata melainkan bagian dari sistem kepercayaan dan mekanisme sosial yang memiliki dimensi sakral. Ia dijalankan dalam kerangka hukum adat yang ketat, dengan batasan moral dan prosedur religius yang harus dipatuhi. Sayangnya, praktik ini kemudian distigmatisasi oleh penulis-penulis Barat sebagai “barbarisme”, padahal dalam kerangka lokal, ngayau adalah bentuk spiritualitas, pelestarian keseimbangan kosmis, dan penegakan marwah komunitas.
๐ Baca juga: Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah: Ini Bukti Ilmiah Uji-karbon 40.000 Tahun Silam
Dengan demikian, bahasa dan tradisi Dayak tidak dapat dipisahkan dari struktur makna yang membentuk eksistensi mereka sebagai masyarakat adat. Melalui bahasa dan budaya, orang Dayak membangun pengetahuan lokal, mengatur hubungan sosial, serta mempertahankan relasi harmonis dengan alam dan leluhur.
Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, kekuatan bahasa dan tradisi ini justru menjadi titik tolak penting dalam memperjuangkan kedaulatan identitas, kearifan ekologis, dan hak-hak kolektif Dayak sebagai indigenous people of Borneo.
Kolonialisme dan Distorsi Narasi
Dalam konteks penjajahan, kolonial Belanda dan Inggris membangun dikotomi artifisial antara “Dayak” dan “Melayu”, Dayak diidentifikasi sebagai pedalaman, pagan, dan non-negara, sementara Melayu dianggap lebih beradab karena berada di wilayah pesisir dan telah menerima Islam.
Konstruksi ini bukan hanya mereduksi sejarah Dayak, tetapi juga membenarkan praktik marginalisasi politik dan ekonomi terhadap mereka. Hingga hari ini, dampaknya masih terasa, dalam penggusuran lahan adat, diskriminasi struktural, serta penghapusan referensi Dayak dalam kurikulum sejarah.
Pengakuan Global, Jalan Menuju Keadilan
Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Penduduk Asli (UNDRIP) tahun 2007 menyatakan bahwa masyarakat adat berhak atas pengakuan identitas, budaya, wilayah, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan.
๐ Baca juga: Cornelis Sounds the Alarm: Protect West Kalimantan’s Credit Union Movement
Dalam kerangka itu, pengakuan terhadap Dayak sebagai indigenous people of Borneo bukan hanya layak, tetapi mendesak.
Pengakuan ini akan membuka jalan bagi:
-
Koreksi terhadap literatur sejarah dan akademik, yang masih mencerminkan narasi kolonial.
-
Penguatan hukum adat dan hak atas tanah, termasuk hutan adat seperti di Gunung Bawakng dan wilayah leluhur di Kalimantan Tengah dan Barat.
-
Pelestarian bahasa dan budaya Dayak, melalui pendidikan, teknologi, dan lembaga adat.
-
Pendokumentasian sistem pengetahuan lokal, yang mencerminkan kecerdasan ekologis Dayak.
Rekomendasi Strategis
Untuk mewujudkan keadilan historis dan pengakuan global, artikel ini mengusulkan:
Diselenggarakannya Konvensi Internasional Dayak, di bawah koordinasi PBB, melibatkan tiga negara: Indonesia, Malaysia, dan Brunei.
-
Pembentukan Komite Revisi Sejarah Borneo, melibatkan akademisi lintas negara dan komunitas adat.
-
Penguatan dan menambah jumlah lembaga pendidikan Dayak, seperti Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK) sebagai pusat studi kedaulatan budaya dan pengetahuan lokal.
-
Integrasi nilai-nilai budaya Dayak dalam kurikulum pendidikan nasional, bukan sekadar sebagai folklor, tetapi sebagai pengetahuan kritis.
DAFTAR PUSTAKA
Adelaar, S. (2005). The Austronesian Languages of Asia and Madagascar. Routledge.
Bakker, J.W.M. (1972). Agama Asli Indonesia: Penelaahan dan Penilaian Theologia. Yogyakarta: Puskat, Bagian Dokumentasi.
Bellwood, P. (2007). Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. ANU Press.
Blust, R. (2013). The Austronesian Languages. Pacific Linguistics.
Collins, J.T. (2000). Malay, World Language: A Short History. Dewan Bahasa dan Pustaka.
Hogendorph, F. (1757). Verslag van de Binnenlanden van Banjarmasin. dalam King dan Ave.
Lubis, Mochtar. (1980). Bangsa Indonesia: Masa Lampau, Masa Kini, Masa Depan. Jakarta: Yayasan Idayu.
Manser, J. (2019). Stability of Loci and Human Continuity in Borneo. Journal of Human Evolution, 135, 102679.
Tiwi Etika and Masri. (2025). Agama Asli Suku Dayak: Dahulu, Kini, Masa Depan. Jakarta: Penerbit Lembaga Literasi Dayak.
Tiwi Etika, et al. (2025). Filsafat Dayak. Jakarta: Penerbit Lembaga Literasi Dayak.
Jakarta, 04 Juli 2025