Bias Barat dalam Kajian Kepercayaan Dayak

Dayak, agama, kepercayaan, Landak, Tayan, bias, Schärer, pagan, Peter Brosius

Memahami Kepercayaan Asli Dayak
Bias Barat dalam Kajian Kepercayaan Dayak. Visualisasi berdasarkan teks oleh AI.

PONTIANAK- dayaktoday.comBanyak peneliti asing telah mencoba mendeskripsikan agama asli Orang Dayak. Salah satunya adalah Hans Schärer (1963), yang menulis Ngaju Religion: The Conception of God among a South Borneo People

Dalam kajiannya, Schärer mengungkapkan bagaimana kepercayaan Dayak Ngaju mencerminkan hubungan yang erat antara manusia, alam, dan roh leluhur. Kepercayaan Ngaju bukan sekadar sistem religi, tetapi juga landasan filosofis dan etika dalam kehidupan masyarakat Dayak (Schärer, 1963).

Memahami Kepercayaan Asli Dayak

Sementara itu, Y. W. M. Bakker (1972) dalam karyanya Agama Asli di Indonesia menjelaskan bahwa agama asli Indonesia merupakan ekspresi dari sensus divinitas, yaitu pengalaman atau pemahaman manusia akan keberadaan Zat Tertinggi yang terpendam dalam jiwa bangsa Indonesia. 

Bakker menegaskan bahwa sifat utama agama asli ini adalah sifat lokal yang berasal dari daerah itu sendiri dan telah ada sejak dahulu, bukan diimpor dari luar. Sifat asli ini disebut autochton, sebagai lawan dari allocton, yang merujuk pada ajaran yang berasal dari luar atau diimpor dari tempat lain (Bakker, 1972).

Baca Perdagangan dan Migrasi Besi di Austronesia: Jejak di Borneo, Sungai Sarawak, dan Kapuas

Namun, banyak penelitian mengenai agama asli Dayak masih terbatas dan sering kali mengalami kesalahpahaman dalam interpretasi. Misalnya, beberapa kajian yang menyebut sistem kepercayaan Dayak sebagai "shamanisme" sering kali tidak sepenuhnya mencerminkan kompleksitas spiritualitas mereka.

Bias Barat dalam Kajian Kepercayaan Dayak

Peneliti dan penulis asing tempo dulu menggambarkan Dayak dari sisi pandang pengetahuan dan teori Barat. Demikian kita melihatnya dalam publikasi para antropolog dan penulis Barat berikut ini:

William Henry Furness III (1902) dalam The Home-life of Borneo Head-Hunters mendeskripsikan kehidupan sosial dan ritual Dayak berdasarkan pengalamannya di lapangan. Namun, tulisannya masih didominasi oleh perspektif kolonial yang cenderung memandang Dayak sebagai masyarakat eksotis dan primitif (Furness, 1902). 

Furness tidak pernah tahu bahwa ngayau mempunyai empat, bahkan lima tujuan. Bukan pertama-tama soal kesukaan atau hobi menggal kepala, seperti yang sering diasumsikan oleh para penulis Barat pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ngayau bukanlah tindakan yang lahir dari kebrutalan semata, melainkan memiliki landasan sosial, spiritual, dan strategis yang mendalam dalam budaya Dayak.

Baca Batas-Batas Sinkretisme dan Inkulturasi dalam Teologi Kontekstual

Selain sebagai bentuk tuntutan balas dendam (pati nyawa), ngayau juga merupakan strategi untuk menyerang lebih dulu sebelum diserang, sebagai upaya mempertahankan klan dan menjaga keseimbangan dalam komunitas. Dalam masyarakat Dayak, tindakan ini memiliki makna perlindungan, di mana setiap serangan yang dilancarkan memiliki tujuan utama untuk menjamin keamanan dan kelangsungan hidup kelompok.

Lebih dari itu, ngayau memiliki aspek spiritual yang kuat. Dalam banyak kasus, kepala musuh yang diambil bukan hanya sekadar trofi, melainkan simbol kekuatan dan pengakuan bagi seorang laki-laki yang telah mencapai kedewasaan atau membuktikan keberaniannya. Kepala yang dibawa pulang juga diyakini membawa energi yang akan memperkuat komunitasnya, baik secara fisik maupun spiritual.

Namun, perspektif seperti yang dianut oleh Furness dan banyak peneliti kolonial lainnya kerap melukiskan ngayau sebagai praktik biadab yang hanya mencerminkan kekejaman. Mereka gagal memahami konteks sosial dan budaya di balik praktik ini, sehingga menghasilkan bias, mispersepsi, bahkan kesimpulan yang keliru. Narasi dominan yang terbentuk dari sudut pandang asing ini sering kali mereduksi kompleksitas budaya Dayak, menjadikannya sekadar stereotip yang jauh dari realitas sejarah dan kearifan lokal yang melandasinya.

Furness menggambarkan tradisi berburu kepala sebagai sebuah praktik brutal tanpa mempertimbangkan konteks sosial, spiritual, dan hukum adat yang melingkupinya. Ia juga menempatkan Dayak sebagai 'the other,' kelompok yang berbeda dan terbelakang dibandingkan peradaban Barat yang dianggap lebih maju.

Nah, siapa yang meluruskan bias dan mispersepsi seperti itu? Tidak lain: peneliti dan penulis Dayak sendiri. Dayak yang paham siapa dirinya, bukan orang lain!

Baca Dayak Sukubangsa yang Jujur

Studi yang dilakukan oleh Alfred Russel Wallace dalam The Malay Archipelago (1869) juga tidak lepas dari bias semacam ini. Wallace, seorang naturalis yang terkenal dengan kontribusinya dalam teori evolusi, mengkaji budaya dan kepercayaan Dayak dalam kaitannya dengan alam dan ekologi Borneo. Meskipun observasinya bernilai dalam konteks ilmiah, ia tetap menggunakan pendekatan orientalis yang menampilkan Dayak sebagai masyarakat yang terisolasi dari peradaban modern. Kepercayaannya terhadap superioritas peradaban Eropa terlihat dalam cara ia membandingkan sistem kepercayaan Dayak dengan agama-agama besar dunia.

Frank Marryat dalam Borneo and the Indian Archipelago (1848) menampilkan narasi yang lebih ekstrim, di mana ia menggambarkan Dayak sebagai 'savage' atau manusia liar yang memiliki kebiasaan aneh dan menakutkan. Marryat, yang menulis dari perspektif petualang, menampilkan kisah-kisah dramatis tentang kehidupan Dayak yang dipenuhi dengan elemen mistis dan kekerasan, sehingga memperkuat stereotip yang berkembang di kalangan pembaca Barat saat itu.

Hans Schärer dalam Ngaju Religion: The Conception of God among a South Borneo People (1966) berusaha mendalami agama asli Dayak Ngaju. Namun, meskipun usahanya lebih objektif dibandingkan peneliti sebelumnya, ia tetap terpengaruh oleh sudut pandang Kristen Eropa yang mencoba mengklasifikasikan kepercayaan Dayak dalam terminologi agama-agama monoteistik. 

Schärer menafsirkan konsep Ketuhanan dalam agama Ngaju dengan kerangka yang berupaya menyamakan unsur-unsur kepercayaan lokal dengan ajaran Kristen, sehingga mengabaikan makna asli dari sistem kepercayaan tersebut.

Baca FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional Memahami Penduduk Asli, Alam Semesta, dan Budaya Borneo Masa ke Masa

Charles Hose dan William McDougall The Pagan Tribes of Borneo (1912)  juga menggambarkan Dayak sebagai masyarakat yang belum tersentuh peradaban modern. Karyanya sering kali memunculkan dikotomi antara masyarakat Dayak sebagai "pagan" yang masih liar dan dunia Barat yang lebih rasional dan beradab. Ini menjadi bagian dari narasi kolonial yang menjustifikasi misi penyebaran agama dan pendidikan sebagai upaya untuk "membawa peradaban" kepada masyarakat pribumi.

Dalam karya The Pagan Tribes of Borneo (1912) bias Barat semakin terasa dalam cara si penulis mengkategorikan praktik kepercayaan Dayak sebagai bentuk primitif dari spiritualitas yang dianggap belum berkembang. Mereka menganggap sistem religi Dayak tidak memiliki landasan filosofis yang kompleks, sehingga tidak bisa dibandingkan dengan sistem agama yang lebih "mapan" seperti Kristen atau Islam.

Studi yang lebih mutakhir dari Peter Brosius (1992) dalam kajiannya tentang kepercayaan Dayak menunjukkan adanya perubahan pendekatan dalam studi antropologi. Brosius menekankan bagaimana sistem kepercayaan Dayak tidak bisa dipahami hanya dengan kacamata luar, tetapi harus diletakkan dalam konteks ekologi, sosial, dan sejarah mereka sendiri. Ia menyoroti bagaimana ritual-ritual Dayak tidak sekadar praktik spiritual, tetapi juga menjadi bentuk komunikasi dengan alam dan strategi kelangsungan hidup masyarakat Dayak di tengah perubahan lingkungan.

Bias Barat dalam kajian kepercayaan Dayak bukan hanya terbentuk karena ketidaktahuan, tetapi juga akibat dari kepentingan kolonial dalam mengontrol dan mengkategorikan masyarakat pribumi. 

Representasi yang mengarah pada penggambaran eksotis dan primitif memperkuat narasi dominasi kolonial, di mana masyarakat Dayak dianggap perlu 'diberadabkan' melalui pendidikan dan agama yang diperkenalkan oleh Barat. Narasi ini kemudian memengaruhi kebijakan kolonial dan bahkan terus berlanjut dalam berbagai bentuk hingga era modern.

Saat ini, kajian akademik tentang kepercayaan Dayak semakin berkembang dengan melibatkan perspektif yang lebih inklusif. Para peneliti dari kalangan Dayak sendiri mulai mengambil peran dalam mendokumentasikan dan menganalisis sistem kepercayaan mereka dengan pendekatan yang lebih kontekstual dan tanpa bias kolonial. Misalnya, kajian terbaru tentang mitologi dan sistem religi Dayak yang dilakukan oleh antropolog lokal menunjukkan bagaimana konsep-konsep spiritual Dayak tidak hanya berkaitan dengan kepercayaan kepada roh dan dewa, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai sosial, lingkungan, dan hukum adat yang telah berkembang selama berabad-abad.

Oleh karena itu, kajian tentang kepercayaan Dayak perlu dikembangkan dengan perspektif yang lebih adil dan mendalam, dengan melibatkan lebih banyak penelitian yang dilakukan oleh peneliti Dayak sendiri. 

Dengan demikian, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih otentik dan komprehensif tentang sistem kepercayaan Dayak yang kaya dan dinamis, tanpa terperangkap dalam bias yang diwariskan oleh kolonialisme dan orientalisme.

Penulis: Masri Sareb Putra, M.A.


Referensi:

  • Bakker, J. (1976). Agama Asli Indonesia. Diterbitkan oleh S.T. Kat Pradnyawidya, Yogyakarta, sebagai bagian dari Seri Puskat.

  • Brosius, P. (1992). "The Persistence of Indigenous Knowledge and the Discourse of Development." Cultural Anthropology, 7(3), 291-318.

  • Furness, W. H. (1902). The Home-life of Borneo Head-Hunters. Philadelphia: J.B. Lippincott Company.

  • Hose, C., & McDougall, W. (1912). The Pagan Tribes of Borneo. London: Macmillan.

  • Marryat, F. (1848). Borneo and the Indian Archipelago. London: Longman.

  • Schärer, H. (1966). Ngaju Religion: The Conception of God among a South Borneo People. The Hague: Martinus Nijhoff.

  • Wallace, A. R. (1869). The Malay Archipelago. London: Macmillan.

LihatTutupKomentar