Dara Nante dan Babai Cinga
Dara Nante dan Babai Cinga visualisasi by AI.
🌍 DAYAK TODAY | SANGGAU: SENJAKALA menyelimuti muara Sungai Sekayam. Alam menjadi saksi dari rahasia takdir yang perlahan terungkap.
Dara Nante bak bidadari yang turun dari kahyangan, melangkah ke jamban kayu dengan langkah sehalus alunan seruling malam.
Air sungai yang mengalir jernih membisikkan rahasia hulu, sementara cahaya matahari senja mengguratkan warna keemasan di permukaan air.
Tiba-tiba, sebuah timun besar meluncur di atas permukaan di arus sungai Sekayam yang mengalir ke Kapuas. Hijaunya bak zamrud dari perut bumi, terapung seolah diarak oleh arus yang penuh hormat.
Baca Novel -sejarah "Orang-orang Hakka di Sanggau"
Dara
Nante meraih timun itu. Belum sempat ia bertanya-tanya, ia mendengar suara
lembut bergaung dari arah hulu:
"Wahai dara yang terpilih, timun ini bukan sembarang buah,
Ia adalah pesan, anugerah dari dewa yang tersembunyi di balik kabut.
Sungai adalah pena, hutan adalah tinta,
Takdirmu telah tertulis, dan rahimmu akan menjadi tempat lahirnya
legenda."
Dara Nante, yang sejak kecil percaya bahwa alam menyimpan rahasia dewata, memakan timun itu. Rasanya manis, sejuk, dan mendalam, seperti melumat serpihan bintang yang jatuh ke bumi.
Malam itu, ia bermimpi. Seorang pria tinggi, wajahnya kabur
seperti bayangan di air, memegang parang yang bersinar. Ia berkata dengan suara
menggema:
"Kau telah menerima titipan takdir.
Rahimmu akan membawa keturunan yang menghubungkan hulu dan hilir.
Namun ingatlah, setiap anugerah membawa ujian,
dan setiap ujian akan menyingkap siapa yang layak menjadi pendampingmu."
Ketika perut Dara Nante mulai membesar, gemparlah seluruh kampung. Bisikan tentang kehamilannya menyebar seperti angin yang membawa abu dari perapian. Para tetua berkumpul di balai desa. Memandang Dara Nante dengan mata penuh teka-teki.
"Siapa
ayah dari si jabang bayi ini, Dara Nante? Jangan sembunyikan kebenaran dari
kami!" seru tetua adat, suaranya seperti gelegar guntur di tengah hujan
lebat.
Baca The Origin of Lake Belida
Namun,
Dara Nante hanya menunduk. Bagaimana mungkin ia menjelaskan bahwa timun hanyut
dari hulu adalah asal dari rahimnya yang kini berbunga? Maka para tetua
memutuskan:
"Jika takdir disembunyikan oleh kabut,
maka manusia harus menelusuri jalannya dengan hati dan parang."
Mereka mengirim rombongan terbaik, penelusur hutan yang mampu membaca jejak rusa di antara dedaunan basah. Namun, tak satu pun jejak lelaki ditemukan di hulu sungai. Misteri itu tetap mengambang seperti kabut di atas air.
Ketika anak laki-laki Dara Nante lahir, kampung menjadi saksi bahwa ia bukan anak biasa. Matanya memantulkan cahaya sungai, dan langkahnya seolah mengikuti irama arus. Para tetua kembali berkumpul.
“Kita
harus menemukan ayahnya,” ujar tetua tertua. Lalu ia memberikan seruas tebu
kepada si anak, sambil berkata:
"Berjalanlah, anak dari timun dan arus,
Berikan tebu ini kepada yang mampu mengupasnya,
Dengan parang yang tajam seperti takdir.
Dialah ayahmu, dan dialah penjaga takdirmu."
Anak itu tumbuh besar, dan dengan sebatang tebu di tangan, ia mulai menelusuri sungai. Setiap pria yang mencoba mengupas tebu itu gagal. Parang mereka tumpul di hadapan kulit tebu yang keras seperti lapisan batu karang.
Ketika
pencarian di Sungai Sekayam tak membuahkan hasil, seorang tetua bermimpi. Dalam
mimpinya, seorang dewa berkata:
"Takdirmu tak berhenti di sini,
Sungai Sekayam hanyalah awal dari labirin takdirmu.
Masuklah ke anak sungainya,
Di Entabai, pengupas tebu menunggumu."
Maka perjalanan pun dilanjutkan ke Sungai Entabai. Di sebuah tikungan sungai yang sunyi, di mana pepohonan membentuk atap hijau yang gelap, mereka bertemu Babai Cinga.
Baca Bologna Raut Wajah Senja | Cerpen Masri Sareb Putra
Pria itu berdiri seperti patung dewa, tubuhnya kokoh bagai akar beringin, dan matanya memancarkan cahaya seperti obor di tengah malam.
Ketika anak itu menyerahkan tebu kepadanya, Babai Cinga hanya tersenyum. Ia menghunus parangnya, yang berkilauan seperti bulan sabit di langit gelap, dan dengan satu tebasan, tebu itu terbelah.Langit tiba-tiba berubah warna.
Kabut
menyelimuti sungai, dan suara dewa kembali terdengar:
"Dia yang mampu mengupas tebu,
adalah penjaga takdirmu,
Babai Cinga, kau adalah ayah dari darah ini.
Dan anak ini adalah jembatan antara manusia dan alam."
"Anak dari timun,
lahir dari arus, takdir dari kabut.
Babai Cinga, darahmu mengalir di nadinya,
Seperti sungai yang tak pernah henti mengalir.
Jagalah dia,
seperti hutan menjaga akarnya,
Seperti sungai menjaga ikan-ikannya.
Dara Nante, rahimmu adalah gua tempat takdir berdiam,
Dan kini anakmu adalah penyeberang,
yang menghubungkan hulu dengan hilir,
manusia dengan alam, legenda dengan keabadian."
Dara Nante berdiri di tepi Sungai Entabai. Wajahnya bercampur antara harapan dan kegelisahan.
Ketika Babai Cinga akhirnya muncul dari rimbunan hutan, tubuhnya tegap seperti pilar kayu ulin. Namun, alangkah terkejutnya Dara Nante ketika melihat kulit lelaki itu. Lelaki itu mengidap penyakit kulit yang dalam bahasa mereka disebut lisong.
Ketika menyaksikan pemandangan di depan matanya, Dara Nante mengerutkan kulitnya seperti tanah yang retak di musim kemarau. Meski demikian, matanya tetap memancarkan kecerdasan dan ketulusan.
Baca Gadis dari Neraka | Cerpen: Liu Ban Fo
Sekonyong-konong pecah suara kegirangan. "Ini ayahku," seru si anak tanpa ragu, menunjuk Babai Cinga dengan penuh kegembiraan. Anak itu melompat ke arahnya dan memeluknya erat.
Namun,
hati Dara Nante bergejolak. Ia seorang perempuan yang dipuja karena kecantikan
dan keanggunannya. Bagaimana mungkin ia menerima seorang lelaki yang membawa
beban penyakit kulit? Namun, ia teringat pesan dewa di mimpinya:
"Takdir adalah pakaian yang dijahit oleh tangan dewata,
dan manusia tak bisa menolaknya, hanya memakainya."
Dengan napas panjang, Dara Nante mengangguk. "Jika ini memang jalan yang telah ditentukan, maka aku akan menerimanya. Tapi hati ini masih bertanya, apakah ada jalan untuk mengubah takdir ini?"
Dara Nante, Babai Cinga, dan anak mereka lalu naik ke sebuah kapal besar yang dihias ukiran naga di haluannya. Kapal itu berlayar menuruni Sungai Entabai, menyusuri arus Sekayam menuju muara. Perjalanan itu panjang, melalui tikungan sungai yang dibatasi hutan lebat.
Dalam perjalanan, si anak yang penuh rasa ingin tahu memperhatikan Babai Cinga.
“Ayah, kenapa tubuhmu seperti ini? Bukankah para dewa bisa menyembuhkan?” tanyanya polos.
Babai Cinga tersenyum tipis. “Ini adalah hukuman, anakku. Karena kesombongan masa lalu, aku dikutuk. Dulu aku menantang kehendak para dewa. Kulupakan bahwa manusia hanyalah tamu di dunia ini. Tapi kehadiranmu dan ibumu mungkin adalah jalan untuk memulihkan diriku.”
Ketika kapal memasuki badan sungai yang lebih dalam, ikan-ikan patin tiba-tiba bermunculan dari dalam air. Mereka berenang mengitari kapal, seolah dipanggil oleh kekuatan tak kasatmata.
Seorang tetua kampung yang ikut dalam perjalanan tiba-tiba berkata, “Wahai Babai Cinga, coba masukkan tubuhmu ke dalam air. Mungkin ini adalah pertanda dari dewata.”
Babai Cinga ragu sejenak, tetapi ia menuruti nasihat itu. Ia melangkah ke tepi kapal, lalu mencelupkan tubuhnya ke sungai. Saat tubuhnya menyentuh air, ikan-ikan patin itu mendekat, menggigit lembut kulitnya, mengelupas lapisan yang rusak, dan membersihkannya dengan telaten.
Seketika air sungai berubah menjadi seperti cairan berkilauan, memantulkan cahaya matahari keemasan. Dara Nante menyaksikan dengan takjub ketika kulit Babai Cinga yang tadinya penuh lisong mulai bersih, lapis demi lapis. Suara dewa kembali bergema di tengah arus sungai:
"Air adalah pelipur dosa,
dan ikan adalah pelayan kehendak dewata.
Hukumanmu telah selesai, Babai Cinga,
karena kau telah memenuhi takdirmu,
dan Dara Nante adalah kunci pembebasanmu."
Saat Babai Cinga naik kembali ke kapal, tubuhnya telah berubah. Kulitnya halus, bercahaya seperti perunggu yang dipoles. Ia bukan lagi lelaki dengan kutukan, tetapi seorang pria tampan yang tiada tandingannya di wilayah itu. Dara Nante memandangnya dengan mata berbinar.
Dalam hatinya, ia berbisik, "Inilah takdirku. Aku dipilih untuk mengubah buruk rupa menjadi keindahan."
Ketika mereka tiba di muara, kabar tentang Babai Cinga dan Dara Nante telah menyebar ke seluruh penjuru Sanggau. Penduduk berkumpul di tepi sungai, menyambut mereka dengan tarian dan nyanyian. Para tetua adat, yang awalnya meragukan hubungan mereka, kini memuji kehendak dewata.
Babai Cinga, yang kini menjadi pangeran dengan pesona tak tertandingi, berlutut di hadapan Dara Nante.
"Wahai Dara Nante, bukan hanya kau yang mengubah takdirku. Kau adalah titisan kekuatan dewa yang menjadikan aku pria yang pantas untukmu. Izinkan aku mendampingimu sebagai suami dan penjaga anak kita."
Dara Nante tersenyum lembut, lalu mengulurkan tangan. "Kita adalah satu, Babai Cinga. Apa yang telah dipersatukan oleh takdir, tak akan dipisahkan oleh dunia."
Saat malam tiba, bulan bersinar terang di atas sungai, memantulkan bayangan Dara Nante dan Babai Cinga yang berdiri bersama di haluan kapal.
Suara lembut arus sungai membisikkan puisi dari dewata:
"Sungai mengalir membawa kisah,
Hulu dan hilir menyatu dalam takdir.
Dara yang elok dan pangeran yang lahir dari arus,
Kini menjadi simbol keabadian cinta yang tulus.
Ikan-ikan patin menjadi saksi,
Bahwa yang buruk bisa menjadi indah.
Air sungai menjadi pena yang menulis sejarah,
Dan cinta adalah tinta yang tak pernah kering."
Legenda Dara Nante dan Babai Cinga pun hidup dalam cerita rakyat, diwariskan dari generasi ke generasi, sebagai lambang cinta yang mengatasi kutukan, mengubah takdir, dan mempertemukan manusia dengan kehendak dewata.
Legenda
ini pun hidup dalam kisah cerita hingga hari ini. Dinyanyikan oleh air yang
mengalir di Sekayam dan Entabai, menjadi bisikan hutan yang tak pernah tidur.
-- Masri Sareb Putra