Dayak Menulis dari Dalam

Dayak, literasi, Windsor, Carl Bock, Fridolin Ukur, Tjilik Riwut, Borneo, Malaysia, Brunei Darussalam, Gua Niah, Sarawak,

Dayak wajib menulis dari dalam.
Logo WAG Literasi Dayak. Dayak menulis dari dalam! Sederhana namun mengena. Dok. Ist.


🌍
 DAYAK TODAY  | 
JAKARTA: Dayak  hari ini memutar jarum jam sejarah. Di dalam grup WAG Literasi Dayak, berbilang angka 233 orang berkumpul. 

Mereka, para penulis, pengarang, munsyi serta pegiat literasi Dayak datang dari tiga negara: Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam. Batas politik tak membatasi ingatan. Jarak geografis tak menghalangi gagasan.

Mereka menulis. Mereka berdiskusi. Mereka menghidupkan kata-kata yang lama terpendam.

Apa yang mereka lakukan? 

Sesuatu yang, mungkin, dulu tak terbayangkan. Menulis, menerbitkan, membangun arsip yang selama ini tercecer dalam percakapan lisan, dalam cerita-cerita di perapian, dalam fragmen-fragmen yang hampir hilang. 

Kini kata-kata "dari dalam Dayak" mengalir kembali. Menemukan bentuknya dalam buku, dalam esai, dalam puisi, dalam novel, dalam sejarah-tertulis yang tak lagi diam.

Lebih dari sekadar menulis, mereka membuat lompatan raksasa. Sebuah langkah panjang yang bukan hanya melampaui waktu, tapi juga melampaui ketidakpercayaan bahwa mereka bisa melakukannya. Kini, mereka tak hanya berbicara. Mereka meninggalkan jejak.

Mereka sepakat: Kongres Internasional Literasi Dayak I dalam rancangan diadakan di Sekadau, Kalimantan Barat bulan Oktober 2025. Kesadaran itu tiba. Berkenaan dengan HUT WAG ini yang ke-3.

Baca Longhouse of the Dayak People: A Reflection of Living Values

Mengapa di Sekadau?

Kongres Internasional Literasi Dayak I diadakan di Sekadau. Mengapa bukan di tempat lain?

Pertama, karena Sekadau itu dekat. Dari Malaysia dan Brunei, teman-teman bisa datang tanpa harus menempuh perjalanan yang melelahkan. Sungai mengalir membawa perjumpaan, jalan terbuka menyambut langkah-langkah yang datang dari seberang.

Kedua, karena di sini, di jantung Kalimantan Barat, Literasi Dayak tumbuh subur. Di antara riuh-rendah zaman, para penulis, pemikir, dan pencatat ingatan berkumpul. Mereka tak sekadar menyusun kata, tetapi merawat ingatan, memastikan sejarah tak hanya jadi bisik-bisik yang menghilang bersama waktu.

Ketiga, karena tempatnya ada. Strategis, representatif. Ruang yang bukan sekadar gedung, tapi juga rumah bagi gagasan. Di sana, diskusi bisa berumur panjang, tak hanya satu-dua hari. Pikiran-pikiran bisa bertumbuh, tak sekadar muncul lalu tenggelam.

Maka Sekadau dipilih. Bukan kebetulan. Tapi keputusan yang lahir dari pertimbangan, dari harapan bahwa di sini, segala yang dicatat tak hanya menjadi arsip, tapi juga pijakan untuk melangkah lebih jauh.

Dayak sadar bahwa kata-kata punya daya. Bahwa kalimat bekerja perlahan, tapi dapat mengubah dunia. Dayak (harus) menulis dari dalam.

Baca Dayak Writing from Within

Sejarah Dayak adalah jejak panjang, tertulis dalam riak sungai, di helai daun, pada ukiran kayu yang tak lekang waktu.

Hari ini, keturunan Dayak menelusuri warisan mereka dengan cara lain: dalam kata, dalam teks, dalam ruang-ruang digital yang melampaui batas geografis.

Selama lebih dari 40.000 tahun, mereka membangun peradaban yang tak selalu lurus, tapi berliku seperti sungai yang mereka kenali lebih baik dari siapa pun.

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah

Tujuh rumpun besar, 405 sub-suku. Dayak tak bisa disederhanakan dalam satu buku, sebagaimana sungai tak bisa disimpan dalam botol.

Dayak Menulis dari Dalam

Ada yang berubah dalam cara orang Dayak menulis. Ia tidak lagi menjadi objek, tidak lagi sekadar kisah yang diceritakan oleh orang luar dengan segala bias, prasangka, dan keingintahuan yang sering kali terasa seperti jarak yang tak mungkin dijembatani. Kini, orang Dayak sendiri yang menulis. Dari dalam.

"Dari dalam" memiliki dua makna. 

Pertama, dari komunitas itu sendiri. Bukan dari luar. Bukan dari suara-suara asing yang selama ini menaruh Dayak di dalam bingkai eksotisme, atau sebaliknya, dalam catatan kolonial yang dingin dan birokratis. Dayak menulis tentang dirinya sendiri, dengan bahasa yang mereka pilih, dengan cara pandang yang lahir dari pengalaman dan pengetahuan mereka.

Kedua, "dari dalam" berarti dari kedalaman yang paling dalam. Bukan sekadar dokumentasi atau inventarisasi adat dan tradisi, tetapi juga sebuah usaha memahami akar, menjangkau palung makna yang tersembunyi dalam sejarah, dalam narasi yang selama ini tercecer, dalam simbol-simbol yang berbicara lebih banyak daripada yang tampak di permukaan. Dalam istilah hermeneutika: true conditions, sensus plenior.

Baca FILSAFAT DAYAK

Maka kini, Dayak menulis bukan sekadar untuk mengisi kekosongan, tetapi untuk membangun kembali sesuatu yang selama ini tercerai. Di WAG Literasi Dayak, para penulis Dayak tercatat lebih dari 200 orang. Buku yang telah terbit? Hampir 2.000 judul. Angka yang tak hanya mencerminkan produktivitas, tapi juga sebuah gerakan.

Ada yang hendak ditegaskan di sini: bahwa Dayak menulis bukan sekadar sebagai upaya melawan narasi lama, tetapi sebagai cara menegaskan keberadaan, sebagai jalan menuju kebebasan yang lebih hakiki. Ini bukan hanya tentang siapa yang menulis, tapi dari mana ia menulis. Dan kini, ia menulis dari dalam.

Membaca Literasi Dayak

Menulis adalah cara mengingat. Seribu halaman hanyalah sebuah awal. Seperti sumbu yang baru dinyalakan, nyalanya kecil, tapi ia cukup untuk menyalakan yang lain.

Dayak bukan satu warna, bukan satu suara. Mereka adalah mozaik, berserakan tapi saling berhubungan.

Semakin dalam menelisik narasi yang lahir dari dalam, semakin tampak bahwa identitas Dayak tidak pernah tunggal. Tulisan-tulisan ini adalah pecahan cermin, menangkap bayangan dari berbagai sudut.

Ada yang melihat Dayak dalam ritual sakral. Ada yang menelusuri jalur dagang purba. Ada yang mencatat perlawanan. Ada yang mengisahkan garis tipis antara mitos dan sejarah.

Baca Ngayau (6)

Seiring bertambahnya kisah, semakin kuat kesadaran bahwa Dayak bukan sekadar nama di peta. Mereka adalah suara yang mengisi celah-celah sejarah yang lama dituturkan oleh orang lain. Kini, mereka menuliskannya sendiri—lebih tajam, lebih berlapis, lebih rumit.

Menulis adalah menyalakan obor di dalam gelap. Semakin banyak nyala itu, semakin terang wajah Dayak—bangsa yang lama diamati, tapi jarang sungguh dipahami.

Sebelum Tjilik Riwut dan Fridolin Ukur menerbitkan karya mereka, suara Dayak nyaris sunyi. Mereka lebih sering menjadi objek tulisan daripada penulis sejarahnya sendiri. Mereka dikaji dari kejauhan, realitas mereka dibiaskan oleh asumsi dan prasangka.

Tatapan Kolonial dan Distorsi Identitas

Berabad-abad lamanya, Dayak dilihat dari luar. Mereka ditulis dengan prakonsepsi. Carl Bock, dalam The Head-Hunters of Borneo (1881), menggambarkan mereka sebagai pemburu kepala, seakan-akan Dayak beku dalam waktu yang tak bergerak.

Baca The Vibrancy of Dayak Publications and Literacy from Higher Education Institutions

Windsor Earl, dalam narasinya, menarik garis pemisah: Dayak bukan Melayu. Sebuah penggarisan yang lebih dari sekadar pengamatan, tetapi juga pembentukan batas: "mereka" dan "kita." Aku dan lian.

Narasi semacam itu hidup lama. Begitulah kolonialisme bekerja. Ia tak sekadar menguasai tanah, tapi juga mengendalikan cara kita melihat.

Dalam teks-teks asing, Dayak lebih sering menjadi subjek bisu. Mereka diam, ditafsirkan, digambarkan dari luar.

Tapi perlahan, suara mereka bangkit. Tjilik Riwut menulis Borneo dari dalam, bukan sebagai orang luar, melainkan sebagai seseorang yang menyatu dengan sungainya. Fridolin Ukur, dalam Tantang Jawab Suku Dayak (1971), mengupas identitas Dayak dalam lanskap sosial dan politik yang lebih luas.

Sejak itu, narasi dari dalam semakin menguat. Kini, makin banyak suara yang muncul, menata ulang kisah Dayak dengan cara mereka sendiri.

Dayak Membangun dan menulis narasinya sendiri

Dulu, Dayak diceritakan. Kini, mereka menulis. Dulu, mereka dibingkai oleh orang luar. Kini, mereka mengisi bingkai itu dengan narasi mereka sendiri. Tulisan-tulisan asing yang dahulu penuh bias dan miskonsepsi mulai mereka koreksi.

Baca "Dayak" as a Standardized Term: A Unifying Identity

Satu narasi yang lama bertahan adalah bahwa Dayak berasal dari Yunnan, Tiongkok. Pernyataan ini diulang dalam berbagai teks akademik maupun populer. Namun, penelitian ilmiah—termasuk uji karbon di Gua Niah, Sarawak—membuktikan bahwa nenek moyang Dayak telah berada di Borneo sejak 40.000 tahun lalu.

Mereka bukan pendatang. Mereka bagian dari tanah ini. Hutan, sungai, dan gunung bukan sekadar latar dalam cerita mereka. Itu adalah keberadaan mereka sendiri.

Hari ini, Dayak telah sampai pada literasi. Mereka menulis dengan suara mereka sendiri, menggunakan kata-kata untuk merebut kembali narasi mereka. Komunitas seperti Literasi Dayak menjadi ruang baru bagi cerita yang dulu hanya dituturkan oleh orang lain.

Baca Ladang Orang Dayak: Yang Merusak Hutan Kalimantan Petambang, Perusahaan Sawit, dan Industri

Kini, para penulis Dayak menelaah sejarah, menantang bias lama, dan mendefinisikan kembali identitas mereka dengan cara mereka sendiri. Mereka bukan lagi sosok bisu dalam catatan orang lain.

Dayak menulis. Mereka menuturkan kisah mereka. Dan kali ini, kata-kata itu milik mereka sendiri.

-- Rangkaya Bada

LihatTutupKomentar