Dayak
Ada suku tertentu yang jika anaknya menangis tak kunjung reda, akan diperingatkan, "Awas, nanti datang orang Dayak lho!" Seketika tangis sang anak mereda. Ketakutan yang dibangun dan diwariskan dari cerita-cerita lama ke telinga baru.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Di Jawa, ada istilah "sak Ndayak". Artinya: banyak sekali. Bagai pasukan perang.
Wajah Dayak hari ini
Tapi lihat mereka sekarang. Dayak hari ini punya harta. Mereka melangkah dengan penuh keyakinan, kepala tengadah. Wangi dengan parfum terbaik, berpakaian rapi.
Dayak naik mobil-mobil yang sama seperti di kota-kota Eropa, di jalan-jalan Amerika. Dan ketika ada perkumpulan keluarga, perayaan adat, barisan mobil yang terparkir bisa mencapai satu kilometer.
Baca FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional
Kata “Dajak” pertama kali muncul pada 1757, tersembunyi dalam lembaran monograf kolonial Hindia Belanda, tertulis di Banjarmasin.
Dalam Borneo: Oerwoud in Ondergang, Culturen op Drift (Rijksmuseum voor Volkenkunde, 1986), Jan B. Ave dan Victor T. King menyelipkan nama itu di antara kabut sejarah, sebuah tanda yang nyaris luput, pengakuan yang ragu-ragu atas keberadaan mereka.
Sebuah nama yang beringsut di tepi catatan-catatan lama, terjepit antara laporan kolonial dan kisah pelaut yang tercerai-berai. Jauh sebelum Ave dan King, pada 1757, J.A. Von Hogendorff, seorang penguasa di Banjarmasin, telah menuliskannya.
Tapi apa yang benar-benar ia lihat?
Mungkin hanya bayang-bayang yang bergerak di tepi sungai, suara yang tertelan rimba, atau sekadar sebuah nama yang diucapkan dengan ragu oleh seseorang yang bahkan tak lagi ingat dari mana asalnya.
Mengutip monograf Hogendorff, Ave dan King menulis:
"Naar ons weten was het woord ‘Dajak’ reeds in 1757 aan Nederlanders bekend, getuige het voorkomen van die term in de beschrijving van Banjarmasin door J.A. Hogendorff. Het woord betekent ‘binnenland’.”
Bagi orang Belanda, Dayak berarti pedalaman. Tapi bagi mereka yang membawa nama itu, yang hidup dan bernapas di dalamnya. Dayak adalah sesuatu yang lain —sesuatu yang lebih tua, sesuatu yang tak bisa dijangkau oleh kertas dan tinta.
Membongkar nama yang diberikan
Pernah, dalam bahasa para penjajah, "Dayak" adalah kutukan. Sebuah kisah hantu yang dibisikkan untuk menakuti anak-anak. Sebuah nama yang bukan sekadar merendahkan, tapi juga mengutuk.
Baca Dayak Sukubangsa yang Jujur
Bayangan yang dilemparkan oleh ketakutan kolonial, terperangkap dalam bahasa penaklukan. Nama yang disebut bukan dengan hormat, tapi sebagai peringatan. Sebuah nama yang bukan milik mereka, tapi yang diberikan, yang diberati dengan kisah orang lain.
Tapi lihat mereka hari ini. Tajam dalam langkah, harum dalam wewangian kota, mengemudi mobil-mobil mewah, saku mereka dalam dengan kekayaan. Di setiap desa, setiap perayaan, barisan mobil terparkir hingga satu kilometer.
Mereka tidak pernah menjadi liar seperti yang dituduhkan. Mereka hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk bangkit.
Mengurai Dayak: Identitas yang tak bisa dikunci dalam klasifikasi
Kini, populasi Dayak diperkirakan mencapai 8 juta jiwa, tersebar di seluruh pulau—dari perbukitan hijau hingga tepian sungai yang subur. Keberagaman mereka begitu luas, hingga upaya mengklasifikasikan suku-suku Dayak menjadi tantangan tersendiri.
Antropolog, pencatat kolonial, dan para sarjana telah mencoba membagi mereka ke dalam kategori-kategori. Setiap upaya adalah pantulan dari apa yang dilihat, apa yang dipahami, dan lebih banyak lagi, apa yang luput.
H.J. Mallinckrodt (1928) melihat hukum sebagai benang merah yang menghubungkan mereka, membaginya dalam enam kelompok: Kenyah-Kayan-Bahau, Ot Danum, Iban, Murut, Klemantan, dan Punan. W. Stohr (1959) justru melihat kepada yang mati—cara mereka ditangisi, dikuburkan, dikirim ke dunia selanjutnya—untuk menemukan perbedaan dan kesamaan.
Baca The Classification of Dayak Ethnic Groups
Tjilik Riwut (1958) menyebut ada 405 hingga 450 sub-suku, dan mengerti bahwa sejarah terukir dalam pergerakan, dalam migrasi, dalam cara suatu bangsa berpindah, menetap, dan bangkit kembali.
Raymond Kennedy (1974) berpaling kepada bahasa, ritme dan irama ujaran Dayak, membaginya ke dalam enam kelompok linguistik dan budaya. Bernard Sellato (1989) mengikuti sungai —Kapuas, Barito, Mahakam—sebab ia tahu bahwa air, lebih dari batas administrasi, menandai kepemilikan dan kebersamaan.
Untuk memberi nama pada sebuah bangsa adalah berusaha menghentikan mereka di satu titik. Tapi Dayak tak pernah berhenti. Mereka ada di tanah, di sungai, di hembusan pohon. Mereka ada dalam sejarah yang tak bisa dihapus. Dan meskipun dunia mencoba mengurung mereka dalam kategori, Dayak tetap lebih dari sekadar kumpulan klasifikasi, lebih dari yang pernah ditulis, lebih dari yang pernah dilihat.
Pertarungan mempertahankan tanah
Dulu, sungai-sungai mengangkut pedagang, pelabuhan-pelabuhan dipenuhi kapal asing. Kini, jalan-jalan membelah tanah mereka, pesawat-pesawat mendarat di tempat yang dulu hanya dihuni langit. Dayak masih ada. Tanah ini masih milik mereka. Perkebunan sawit datang, tambang menggali dalam, tapi Dayak mengenal bumi ini, mengenal desahnya, mengenal detaknya. Mereka menanam, mereka membangun, mereka bertahan.
Baca Baluk: The Towering Ancestral Home of the Bidayuh Dayak
Tapi sejarah tak pernah ramah, tak pernah sesederhana satu kisah. Para pemilik kuasa datang dengan mesin-mesin berat, dengan kontrak-kontrak yang tertulis dalam bahasa yang bukan milik mereka. Mereka menggelar peta, menarik garis, mengklaim hak. Mereka menyebutnya kemajuan. Mereka menyebutnya pembangunan.
Tapi Dayak telah melihat ini sebelumnya. Mereka telah mendengar janji-janji manis, merasakan ujung tajam pengkhianatan.
Menulis sejarah sendiri
Namun, mereka tidak berlutut. Mereka tidak menyerah.
Sejarah mereka bukan kisah tentang kesunyian, tapi tentang bisikan yang menjelma gemuruh. Tentang tangan yang dulu kapalan karena kerja nenek moyang, kini menggenggam pena, kamera, mikrofon.
Baca Sejarah Asal usul Dayak Berdasarkan Bukti Arkeologis
Tanah ini ingat. Sungai-sungai masih mengalirkan lagu-lagu lama. Dan suatu hari nanti, kisah mereka yang mencoba merebut akan memudar. Sementara kisah mereka yang bertahan, yang tak melepaskan, yang menolak tunduk—kisah itu akan tetap hidup.
Mereka akan menuliskannya dengan kata-kata mereka sendiri, dengan waktu mereka sendiri. Dengan tinta yang diambil dari akar tanah mereka, dan dipahat ke dalam lembar sejarah.
Karena tanah ini, langit ini, nafas hutan ini—milik mereka. Dan mereka tak akan melepaskannya.
-- Masri Sareb Putra, M.A.