Dr. Stefanus Masiun dan Hasil Penelitiannya terkait Valuasi (Nilai) Wilayah Adat

Dayak, hutan adat, wilayah adat, Masiun, ITKK, hutan adat, Kalimantan, Tembuni, tembawang, huma, pelaman, first nation, orang asli, tanah warisan

 

Dr. Stefanus Masiun, ahli ekonomi lingkungan. Dok gambar. Ist.

PONTIANAK - DAYAK TODAY: Dr. Stefanus Masiun, Rektor Institut Teknologi Keling Kumang (ITKK), Sekadau, dalam disertasinya tentang penilaian hutan, menyatakan bahwa bagi masyarakat pribumi di Kalimantan, wilayah adat diperoleh dengan beberapa cara.

Seperti diketahui bahwa wilayah adat dihuni oleh masyarakat pemangku dan pewaris dari generasi ke generasi. "Tembuni, tembawang, huma, pelaman, dan wilayah adat adalah jejak kepemilikannya turun-temurun," papar Dr. Stefanus Masiun.

Konflik atas kepemilikan tanah antara negara, pengusaha swasta, dan penduduk setempat di Kalimantan, khususnya Kalimantan Barat, telah menjadi insiden terkini yang mencuat. Sejak ribuan tahun yang lalu, orang-orang telah mewarisi tanah mereka, tetapi seringkali mereka tidak tahu tujuannya. 

Baca Menjadi Dayak di Era Modern

Sebagian tanah warisan mereka telah diserobot untuk memberi jalan bagi perkebunan kelapa sawit, lokasi penambangan sumber daya alam, dan bisnis lain tanpa pengetahuan mereka. Peristiwa seperti ini sering terjadi di Kalimantan.

Landasan Hukum dan Syarat Pengakuan Wilayah Adat

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat menyatakan bahwa masyarakat hukum adat dapat diakui sebagai subjek hukum jika memenuhi lima syarat, yaitu:

  1. memiliki sejarah asal-usul;

  2. memiliki wilayah adat yang ditunjukkan dengan peta;

  3. memiliki hukum adat;

  4. memiliki harta kekayaan dan/atau benda-benda adat; dan

  5. memiliki kelembagaan/sistem pemerintahan adat (Pasal 5 ayat (2)).

Proses Perolehan Wilayah Adat dalam Masyarakat Dayak

Wilayah adat didiami oleh masyarakat adat secara turun-temurun. Masiun menyatakan bahwa pada masyarakat adat di Kalimantan, wilayah adat diperoleh dengan beberapa cara:

  1. Wilayah adat diperoleh karena merekalah yang secara turun-temurun berada di wilayah itu.

  2. Wilayah adat diperoleh karena merekalah yang pertama membuka wilayah tersebut.

  3. Wilayah adat diperoleh karena masyarakat bermigrasi ke tempat tersebut dan diberikan wilayah oleh pemilik wilayah yang telah lebih dahulu berada di tempat tersebut.

  4. Wilayah adat diperoleh sebagai bentuk balas jasa karena telah membela suku saat terjadi perang suku pada masa pengayauan.

  5. Wilayah adat diperoleh karena kalah perang antar suku atau antar-kerajaan masa lalu.

Wilayah adat dapat berupa wilayah fungsional yang berdasarkan suatu ekosistem seperti mengikuti aliran sungai, perairan, pulau, atau sebuah kawasan. 

Baca "Jangan Salahkan Kami Jika Mengibarkan Bendera Negara Tetangga" : Warga Krayan Tuntut Keadilan Pembangunan

Oleh karena itu, wilayah adat dapat sangat luas karena meliputi besar kecilnya suku tersebut. Akan tetapi, wilayah adat dapat juga kecil sesuai dengan unit sosial pada masyarakat adat tersebut berada seperti kampung (sebutan umum di Sekadau, Sintang, dan beberapa tempat lain), ompuk (Sanggau), laman dan banua (Ketapang), binua (Landak), menoa (masyarakat Iban di Kapuas Hulu).

Tantangan dan Ancaman terhadap Wilayah Adat

Dalam konteks perlindungan hak masyarakat adat, pengakuan wilayah adat menjadi aspek krusial yang harus diperkuat. Banyak komunitas adat masih mengalami kesulitan dalam memperoleh pengakuan resmi atas tanah mereka, meskipun telah memenuhi kriteria yang ditetapkan dalam regulasi. Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya dokumentasi tertulis yang bisa dijadikan dasar hukum dalam proses pengakuan tersebut. Hal ini menyebabkan sering terjadinya tumpang tindih klaim antara masyarakat adat dengan korporasi atau bahkan pemerintah.

Hutan adat Kalimantan Barat. Iustrasi: Vermy.
Penampakan hutan adat Kalimantan Barat. Iustrasi: Vermy.

Upaya masyarakat adat untuk mempertahankan wilayahnya sering kali berhadapan dengan tekanan besar dari pihak luar. Misalnya, di daerah Kapuas Hulu, masyarakat adat Dayak Iban harus menghadapi ekspansi perkebunan sawit yang mengancam wilayah menoa mereka. Meski telah memiliki sistem pemerintahan adat yang kuat dan bukti sejarah keberadaan mereka di wilayah tersebut, mereka masih harus berjuang agar hak-hak mereka diakui secara hukum.

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah: Ini Bukti Ilmiah Uji-karbon 40.000 Tahun Silam

Selain itu, masyarakat adat di Landak dan Sanggau juga mengalami permasalahan serupa. Wilayah binua dan ompuk yang telah diwariskan turun-temurun semakin tergerus akibat eksploitasi sumber daya alam. Konflik lahan sering kali berujung pada kriminalisasi terhadap tokoh adat yang berusaha mempertahankan hak-haknya.

Wacana ini ditegaskan dalam buku Dr. Masiun dkk. mengenai valuasi ekonomi yang segera diterbitkan Lembaga Literasi Dayak. Itu, di atas, sebagian saripatinya.

-- Masri Sareb Putra

LihatTutupKomentar