Ethno-logic Orang Dayak
Manusia Dayak punya logikanya sendiri. Ilustrasi by AI berdasarkan narasi. |
JAKARTA: DAYAK TODAY: Logika berasal dari bahasa Yunani logikḗ (λογική), yang merupakan bentuk feminin dari logikós (λογικός) yang berarti: berkaitan dengan logos.
Kata logos (λόγος) sendiri memiliki makna luas, termasuk "kata", "akal", "prinsip", atau "rasio".
Tonton habis Analisis Hermeneutika Dayak | Masri Sareb Putra & Albert Rufinus
Dalam konteks filsafat, logikḗ merujuk pada studi tentang prinsip-prinsip penalaran yang benar dan argumentasi yang valid.
Sejarah dan pengenalan awal
Logika pertama kali diperkenalkan secara sistematis oleh Aristoteles (384–322 SM) di Yunani Kuno dalam karyanya Organon, yang berisi enam buku: Kategori, Hermeneutika, Analitika Pertama, Analitika Kedua, Topika, dan Refutasi Sofistik.
Baca FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional
Dalam mahakarya ini, Aristoteles mengembangkan logika silogistik, yang menjadi dasar logika formal selama berabad-abad.
Logika Aristotelian berfokus pada bagaimana kesimpulan dapat ditarik secara valid dari premis-premis tertentu. Ia mendefinisikan tiga hukum dasar logika:
- Hukum Identitas (A adalah A).
- Hukum Non-Kontradiksi (A tidak bisa sekaligus A dan bukan A).
- Hukum Eksklusi Tengah (Sesuatu harus A atau bukan A, tidak ada kemungkinan ketiga).
Logika dalam tradisi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Logika, sebagaimana dipahami dalam tradisi filsafat Barat, merupakan ilmu yang mempelajari kecakapan berpikir secara lurus, tepat, dan teratur.
Baca Dayak Sukubangsa yang Jujur
Secara klasik, logika memiliki objek material berupa berpikir (khususnya proses penalaran) dan objek formal berupa ketepatan dalam berpikir.
Dalam kajian filsafat, logika sering dianggap sebagai cabang filsafat ilmu atau bahkan sebagai alat epistemologis untuk mencapai kebenaran (Copi & Cohen, 2019).
Namun, Aristoteles menolak menganggap logika sebagai ilmu pengetahuan, melainkan hanya sebagai hodos (jalan) untuk mencapai pembuktian dan kebenaran (Russell, 1945).
Seiring waktu, para filsuf setelahnya mengakui logika sebagai bagian dari filsafat praktis yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menentukan validitas suatu inferensi atau kesimpulan.
Dalam konteks modern, logika juga menjadi dasar dalam ilmu matematika, terutama dalam pengembangan kalkulus dan ilmu komputer. Struktur berpikir dalam matematika dan pemrograman berbasis pada prinsip logika yang dikembangkan sejak era Aristoteles melalui Organon (Church, 1956).
Logika Dayak: Perspektif Ethno-logic
Dalam konteks masyarakat Dayak, logika bukan sekadar alat penalaran individual, tetapi juga berakar dalam sistem nilai, adat, dan kearifan kolektif. Ethno-logic Dayak mengacu pada cara berpikir dan menalar yang berbasis pada pengalaman historis, relasi sosial, dan ekologi budaya masyarakat Dayak.
Baca Melacak Jejak Pemakaman Prasejarah Gua Niah: Penan atau Ibankah Sang Pewaris?
Logika Dayak tidak hanya mempertimbangkan koherensi formal, tetapi juga unsur sosial, etika, dan harmoni dengan alam (King, 1993).
Dalam tradisi Dayak, suatu argumen atau pernyataan dapat diterima jika memenuhi empat syarat utama, yang dapat disebut sebagai "4 Kapan" dalam Etno-logic Dayak:
1) Kapan Argumen Berdasarkan Fakta Nyata (Hakikat Realitas)?
Dalam budaya Dayak, suatu klaim atau pernyataan harus berakar pada realitas konkret yang dapat dibuktikan melalui pengalaman langsung atau saksi kolektif.
Kebenaran bukan sekadar hasil deduksi rasional, tetapi juga harus bersandar pada pengalaman empiris yang telah diuji dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, dalam menentukan apakah suatu wilayah adalah tanah adat atau bukan, masyarakat akan mengacu pada sejarah lisan, bukti fisik, dan kesaksian para tetua adat (Sellato, 2002).
Contoh konkret dalam kehidupan sehari-hari: dalam peradilan adat, suatu tuduhan hanya akan diterima jika ada bukti nyata dan kesaksian yang bisa dipertanggungjawabkan. Kejujuran menjadi prinsip utama dalam berpikir lurus, karena tanpa kejujuran, logika menjadi sia-sia.
2) Kapan Argumen Menjaga Keselarasan Sosial?
Logika Dayak bukan hanya soal validitas formal, tetapi juga tentang keserasian dalam komunitas. Sebuah argumen dapat diterima jika tidak menimbulkan perpecahan sosial atau merusak tatanan adat. Dalam pengambilan keputusan adat, musyawarah (bepakat) menjadi sarana utama untuk memastikan bahwa setiap pendapat dipertimbangkan dalam semangat kebersamaan (Ave & King, 1986).
Dalam pembagian hasil ladang komunal, keputusan harus mempertimbangkan keadilan bagi semua pihak, sehingga tidak ada yang merasa dirugikan dan keseimbangan sosial tetap terjaga. Musyawarah adat adalah wujud nyata dari prinsip ini.
3) Kapan Argumen Sejalan dengan Nilai Adat dan Spiritualitas?
Bagi masyarakat Dayak, logika tidak dapat dilepaskan dari adat dan spiritualitas. Suatu pernyataan atau argumen harus selaras dengan hukum adat (araat) dan kepercayaan spiritual.
Sebagai contoh, dalam sistem hukum adat, penyelesaian sengketa tidak hanya berlandaskan pada bukti rasional, tetapi juga pada keharmonisan dengan nilai-nilai leluhur dan restu dari roh penjaga (antu) (Dove, 1985).
Contoh konkret: Dalam menentukan waktu bercocok tanam, masyarakat Dayak menggunakan tanda-tanda alam, seperti munculnya bunga tertentu atau pergerakan bintang di langit. Ini bukan sekadar mitos, melainkan logika berbasis pengamatan yang telah teruji selama berabad-abad.
4) Kapan Argumen Memperhitungkan Masa Depan dan Keberlanjutan?
Logika Dayak bersifat holistik, yang berarti tidak hanya berfokus pada kebenaran sesaat, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya bagi generasi mendatang. Suatu keputusan atau argumen harus mempertimbangkan kesinambungan lingkungan, kesejahteraan komunitas, dan keberlanjutan nilai budaya.
Dalam konteks pengelolaan hutan, misalnya, masyarakat Dayak cenderung menolak eksploitasi besar-besaran yang hanya menguntungkan satu pihak dan merusak keseimbangan ekologi (Colfer, 2008).
Contoh konkret: Dalam menentukan kapan harus menebas ladang, membakar lahan (bukan membakar ladang secara sembarangan), atau menugal (menanam), masyarakat Dayak menggunakan hukum sebab-akibat yang telah diwariskan turun-temurun. Mereka memahami pola cuaca, pergerakan angin, dan perubahan musim untuk memastikan keberhasilan panen tanpa merusak alam.
Jika Pembaca merasa penasaran bagaimana manusia Dayak telah sejak zaman semula jadi menggunakan logika yang bertumpu pada alam ini untuk hidup (life skill), kunjungilah situs yang menyejarahkannya di Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Yansen dan Masri (2023) telah meneliti dan menarasikan logika manusia Dayak yang bertumpu pada alam ini untuk hidup.
Baca Jejak Peradaban Manusia Sungai Krayan
Jejak peradaban manusia Krayan berupa peninggalan batu masih dapat ditemukan di Desa Long Mutan. Dari Ba’ Binuang, lokasinya berada di sebelah kiri Sungai Krayan. Jika berjalan kaki sekitar 300 meter dari tebing sungai, akan ditemukan sebuah bukit kecil. Pada puncak bukit kecil inilah Batu Tabau berada, utuh sebagai penunjuk arah matahari (musim) sekaligus tempat duduk si penunggunya.
Logika manusia Dayak dibangun dan berdasarkan hukum alam seperti Batu Tabau di Long Mutan, Krayan ini. Dr. Yansen TP dan Masri serta penduduk lokal. Dok. Masri. |
Nilai sejarah dari peninggalan ini tidak ternilai, karena mencerminkan budaya pertanian nenek moyang di masa lalu. Batu ini terdiri atas dua bagian: pertama, sebagai alat penunjuk arah matahari; kedua, sebagai tempat duduk si penunggu.
Baca Filsafat Bahasa Dayak dan Perbandingannya dengan Bahasa Yunani dan Latin
Di area sekitar situs, tidak ditemukan batu serupa, sehingga muncul pertanyaan: dari mana asal batu Tabau ini? Kuat dugaan bahwa batu tersebut diambil dari sungai Krayan, berupa batu pilihan yang keras dan tidak mudah retak atau pecah. Cara membawanya ke puncak munggu pun kemungkinan besar dilakukan secara bergotong royong, yang dalam bahasa setempat disebut “ruyud.”
Batu Tabau bukan sekadar artefak peninggalan sejarah, melainkan simbol peradaban yang mencerminkan tingkat kreativitas serta kecerdasan suatu bangsa.
Melihat Batu Tabau saat ini, kita seharusnya membayangkan bagaimana kehidupan pada masa lampau, ketika alat ini pertama kali dibuat puluhan atau bahkan ratusan tahun yang lalu. Sudah tentu, sebelum alat ini dibuat, nenek moyang telah memiliki pengalaman panjang dalam bercocok tanam.
Pada masa itu, masyarakat membuka ladang tanpa mengenal musim tertentu. Aktivitas bercocok tanam tidak dilakukan secara serentak atau bergotong royong, sehingga ada ladang yang terserang hama dan gagal panen, sementara yang lain berhasil.
Pengalaman bertani ini kemudian didiskusikan oleh warga: mengapa ada ladang yang gagal? Mengapa ada yang berhasil? Hasil diskusi menemukan bahwa kegagalan panen disebabkan oleh waktu peladangan yang tidak serentak, sehingga hama dan penyakit lebih mudah menyerang lahan tertentu.
Curah hujan yang tidak sesuai kebutuhan tanaman juga menjadi faktor kegagalan. Sebaliknya, ladang yang berhasil umumnya memulai musim tanam pada waktu yang tepat, dilakukan secara serentak oleh warga, serta didukung oleh musim hujan yang berlangsung dari bulan September hingga Februari.
Batu Tabau pun menjadi alat untuk menentukan awal siklus pertanian agar hasil yang diperoleh optimal. Dalam mengerjakan ladang, berbagai tahapan dilakukan secara kelompok atau satu kampung, yang disebut "Perungui," meliputi: menebas (nefu), menebang (nefeng), mencincang (ngawa), membakar (ngeseb), menanam (nibu), menugal (nuan/nguan), merumput (demamu), dan memanen (ngerani). Asumsinya jika peladangan dilakukan serentak dalam satu kampung (bersama dengan kampung lain di sekitarnya), maka hama dan penyakit tidak akan terfokus menyerang satu wilayah tertentu, sehingga lebih mudah dikendalikan.
Dari pengalaman ini, muncul gagasan untuk membuat alat penunjuk musim peladangan berdasarkan peredaran matahari, yang kemudian diwujudkan dalam bentuk Batu Tabau. Jika matahari muncul dari arah tertentu, maka saatnya mulai menebas dan menebang. Pada posisi tertentu, musim membakar dimulai, dan pada musim tertentu, waktunya untuk menanam.
Arah tongkat yang menunjuk ke matahari ini dipatenkan dalam bentuk batu, sehingga menjadi artefak yang tidak hanya berfungsi sebagai peninggalan sejarah, tetapi juga mencerminkan tingginya peradaban serta daya cipta suatu bangsa.
Sebagaimana budaya Dayak pada umumnya, masyarakat Sungai Krayan memiliki tradisi sebelum panen padi, yaitu mengambil padi muda yang masih bersusu, yang disebut "ubek" dalam bahasa setempat. Setelah dikeringkan dengan cara dijemur, ubek akan berubah warna menjadi biru muda dan memiliki rasa yang renyah serta lezat, terutama jika dicampur dengan gula dan kelapa.
Kehidupan masyarakat Dayak erat kaitannya dengan budaya tradisional yang dipengaruhi oleh kondisi alam serta unsur misteri dan kepercayaan gaib. Dalam bertani, terdapat berbagai pantangan yang harus dihindari, yang petunjuknya diperoleh melalui tanda-tanda alam, seperti tumbuhan, bulan, dan binatang. Misalnya, jika di suatu lahan tumbuh tanaman tertentu, maka lahan tersebut dianggap tidak subur dan tidak boleh ditanami. Begitu pula, jika bulan purnama tiba, masyarakat tidak boleh bekerja, seperti membangun rumah, karena diyakini dapat membawa malapetaka, misalnya kebakaran.
Ada juga pantangan lain yang berkaitan dengan pertanda dari hewan. Jika dalam perjalanan ke ladang seseorang melihat ular atau burung yang melintas dari arah tertentu, maka mereka tidak boleh melanjutkan pekerjaan. Kepercayaan ini, terlepas dari benar atau tidaknya, tetap memiliki makna dalam tatanan budaya Dayak, khususnya bagi masyarakat Sungai Krayan pada masa itu. Semua pantangan, tanda dari burung, ular, matahari, bulan, dan bintang, serta kepercayaan terhadap alam gaib dan hal-hal supranatural dalam budaya pertanian, dirangkum dalam satu teknologi sederhana, yaitu Batu Tabau.
Di mana lagi di Borneo, khususnya di kalangan masyarakat adat, terdapat bukti sejarah berupa artefak seperti Batu Tabau? Harus diakui bahwa praktik peladangan telah lama dilakukan oleh berbagai etnis Dayak di Borneo. Namun, hanya penghuni Sungai Krayan yang meninggalkan artefak nyata yang mencerminkan tingginya peradaban serta pemahaman mereka tentang ilmu bercocok tanam. Batu Tabau dapat dikatakan sebagai teknologi sederhana yang berfungsi sebagai penunjuk musim dan alat untuk menentukan tahapan peladangan yang tepat.
Kecerdasan alam manusia Dayak
Kecerdasan alam (natural smart) orang Dayak relatif lebih tinggi dibanding suku bangsa lainnya. Selain bersahabat dan hidup selaras dengan alam, orang Dayak juga mampu menguasai dan memanfaatkannya dengan bijak.
Pemahaman orang Dayak tentang siklus alam tidak hanya membantu dalam pertanian, tetapi juga dalam berbagai aspek kehidupan, seperti berburu, membangun rumah, dan mencari sumber air (Eghenter, Sellato, & Devung, 2003).
Orang Dayak memahami hukum-hukum alam dan menggunakannya untuk bertahan hidup. Ethno-logic Dayak dibangun dari, dan mengikuti hukum-hukum alam.
Dalam membangun rumah di atas air, misalnya, mereka mengamati setinggi mana siput bertelur untuk memprediksi pasang tertinggi. Dalam berburu, mereka membaca arah angin dan kebiasaan hewan buruan untuk memastikan keberhasilan.
Dalam pertanian, mereka memperhatikan tanda-tanda musim dan perilaku flora serta fauna untuk menentukan waktu tanam yang tepat.
Selain itu, masyarakat Dayak memiliki pengetahuan luas tentang tumbuhan obat. Mereka tahu tanaman mana yang bisa menyembuhkan luka, meredakan demam, atau bahkan menangkal racun. Ini bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga hasil dari pengamatan yang cermat dan praktik empiris selama berabad-abad (Cunningham, 2001).
Logika dan dalam sistem berpikir Dayak
Dalam sistem berpikir Dayak, logika bukan sekadar alat analisis formal, tetapi juga memiliki dimensi sosial, etis, dan ekologis.
Jika dalam tradisi Barat logika lebih menitikberatkan pada konsistensi internal dan deduksi, maka dalam Ethno-logic Dayak, suatu argumen diterima jika sesuai dengan fakta nyata, menjaga keselarasan sosial, sejalan dengan nilai adat dan spiritualitas, serta mempertimbangkan keberlanjutan bagi masa depan.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Dengan memahami Etno-logic Dayak, kita tidak hanya memperluas cakrawala dalam memahami logika sebagai disiplin ilmu, tetapi juga memberikan penghormatan pada cara berpikir dan penalaran yang telah diwariskan oleh leluhur Dayak selama berabad-abad.
-- Masri Sareb Putra
Daftar Pustaka
- Aristoteles. Organon. Terjemahan dan analisis dalam Jonathan Barnes (Ed.), The Complete Works of Aristotle, Vol. 1 & 2, Princeton University Press, 1984.
- Ave, J. B., & King, V. T. (1986). Borneo: The People of the Weeping Forest. Leiden: National Museum of Ethnology.
- Church, A. (1956). Introduction to Mathematical Logic. Princeton: Princeton University Press.
- Colfer, C. J. P. (2008). Human Health and Forests: A Global Overview of Issues, Practice, and Policy. London: Earthscan.
- Copi, I. M., & Cohen, C. (2019). Introduction to Logic. London: Routledge.
- Cunningham, A. B. (2001). Applied Ethnobotany: People, Wild Plant Use and Conservation. London: Earthscan.
- Dove, M. R. (1985). The Agroecological Mythology of the Javanese and the Political Economy of Indonesia. Honolulu: University of Hawaii Press.
- Eghenter, C., Sellato, B., & Devung, G. S. (2003). Social Science Research and Conservation Management in the Interior of Borneo: Unraveling Past and Present Interactions of People and Forests. Jakarta: CIFOR.
- Kneale, William & Kneale, Martha. The Development of Logic. Oxford University Press, 1962.
- King, V. T. (1993). The Peoples of Borneo. Oxford: Blackwell.
- Russell, B. (1945). A History of Western Philosophy. New York: Simon and Schuster.
- Sellato, B. (2002). Nomads of the Borneo Rainforest: The Economics, Politics, and Ideology of Settling Down. Honolulu: University of Hawaii Press.
- Smith, Robin. Aristotle’s Logic. Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2020. (plato.stanford.edu)
- Yansen TP dan Masri Sareb Putra. 2023. Jejak Peradaban Manusia Sungai Krayan. Jakarta: Penerbit Lembaga Literasi Dayak.