Pemimpin (Sejati) Makan Paling Belakangan

pemimpin, Dayak, makan, terakhir, eat last, leader, Sumitro, Duc in altum, Simon Sinek

Simon Sinek menulis buku berjudul Leaders Eat Last. AI.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA: Simon Sinek menulis buku bagus banget berjudul Leaders Eat Last (2014). Mengingatkan. Sekaligus menyindir perilaku umumnya para pemimpin dunia.

Tapi di negeri ini pemimpin makan lebih dulu. Dan kalau perlu menghabiskan semua makanan yang ada.Tanpa ada sisa. 

Rakyatnya? Dibiarkan mengais remah-remahnya saja. Itu pun jika masih ada sisa.

Baca Capital Flight

Di banyak tempat. Kepemimpinan adalah tentang pengorbanan. Di sini, kepemimpinan adalah tentang keuntungan. Jabatan adalah proyek. Kekuasaan adalah warisan keluarga. Politik adalah soal negosiasi siapa dapat apa, bukan siapa harus melakukan apa.

Tahun 1984. Prof. Soemitro Djojohadikusumo mencatat fakta yang demikian ini: 30 persen dana APBN bocor. Belum termasuk dana non-budgeter.

Itu empat dekade lalu. Ketika korupsi negeri ini masih bisa dihitung dengan persentase. 

Sekarang? 

Tak ada lagi angka yang bisa dipercaya. APBN disusun seperti hidangan besar, penuh lauk-pauk yang diambil diam-diam. Infrastruktur mangkrak, anggaran bantuan sosial dijarah, dana pendidikan dipermainkan. 

Bahkan pajak, yang dikutip dengan wajah serius dan penuh imbauan moral, sebagian berakhir di rekening pribadi pejabat yang katanya "abdi negara." 

Baca Negara Leviathan

Tak usah berbantah-bantah soal pajak ini. Ingatan kolektif kita masih menyimpan sosok Gayus dengan segenap kisah misteriusnya itu.

Itu sebabnya Sinek membayangkan pemimpin sebagai orang yang melayani. Sosok yang berdiri di belakang untuk memastikan semua orang mendapat bagian sebelum dirinya sendiri. 

Di sini pemimpin berdiri di depan, menyodok barisan, memastikan dirinya dapat lebih dulu. Mereka tak sekadar makan lebih dulu—mereka membangun sistem yang memastikan bahwa hanya mereka yang bisa makan dengan tenang.

Mereka menyebut diri mereka pelayan rakyat. Tapi mereka lebih sibuk dilayani. 

Mobil dinas berganti tiap tahun, perjalanan dinas ke luar negeri lebih sering dari kunjungan ke dapur rumah warganya. 

Mereka bicara tentang kerja keras, sementara sidik jarinya bahkan tak pernah menyentuh mesin absen. Mereka bicara tentang pengorbanan, tapi yang berkorban selalu rakyat.

Baca Joker

Lalu ketika krisis datang—entah itu pandemi, bencana alam, atau ekonomi yang memburuk—mereka tampil di layar televisi, bicara soal ketahanan, gotong royong, dan kesabaran. Mereka meminta rakyat mengencangkan ikat pinggang, sementara mereka sendiri menambah lubang baru di dompetnya.

Kita ingat pepatah lama: ikan busuk dari kepalanya. Tapi di sini, bukan hanya kepala yang busuk. Ekor, sirip, bahkan insangnya pun sudah tak bisa diharapkan. Pemimpin yang benar-benar memimpin kini lebih langka dari udara bersih di kota-kota besar.

Pemimpin Makan Paling Belakangan
Pemimpin sejati wajib membaca dan menerapkan buku Leaders Eat Last ini.

Ada frasa Latin yang indah: Duc in altum: bertolak ke tempat yang lebih dalam. Sebuah ajakan untuk melampaui batas, menembus ketakutan, membawa pengikut menuju sesuatu yang lebih besar. 

Tapi pemimpin kita justru berpegang erat pada tepian, enggan mengambil risiko, lebih sibuk menjaga posisinya daripada membawa perubahan. Mereka tak ingin bertolak ke tempat yang lebih dalam—mereka takut ombak.

Baca 5 Sebab VOC Bubar

Dan jika pun mereka akhirnya makan terakhir, pertanyaannya adalah: apa yang mereka tinggalkan untuk kita? 

Sering kali yang tinggal hanya piring kosong dan janji-janji basi.

-- Rangkaya Bada

LihatTutupKomentar