Buku Besar Berkelas Selalu Diawali Satu Gagasan
Spider diagram: trik dan tips mengembangkan gagasan. Ilustrasi by AI.
🌍 DAYAK TODAY | SEKADAU: Saya senantiasa percaya. Bila seseorang bisa menulis pendek, pula bisa ia menulis panjang. Bila bisa menulis satu artikel, akan bisa juga menulis satu buku.
Seperti juga hidup, menulis bukan tentang bagaimana memulainya, tapi bagaimana menjaga nyala itu agar tak padam. Karena pada akhirnya, buku besar bukan lahir dari ledakan besar, melainkan dari embun gagasan yang sabar menetes. Sedikit demi sedikit. Kadang dari sebuah kalimat. Kadang dari satu kata.
Rumah panjang Buah Main, kawah candradimuka calon CEO
Pada 15–17 Mei 2025, di rumah panjang Buah Main, Tapang Sambas—di jantung Sekadau yang masih dihijaukan sisa-sisa hutan dan mitos-mitos kuno—saya berbagi sesuatu yang mungkin lebih tua dari mesin tik: cara berpikir.
Saya pada ketika itu memperkenalkan spider diagram kepada 11 calon CEO Credit Union Keling Kumang. Suatu trik dan tips cara menulis, yang pada galibnya adalah cara untuk melihat dunia.
Baca FILSAFAT DAYAK
Laba-laba selalu duduk di pusat sarangnya. Dari titik itu, ia merajut benang, menyilang dan menyilang, sampai menjadi pola. Gagasan bekerja seperti itu. Ia mesti punya pusat.
Dan dari sana, jaring-jaring logika, argumen, contoh, dan bahkan imajinasi pun tumbuh.
Dalam setiap tulisan, laba-laba itu adalah pikiran utama. Ia diam di pusat, tapi menggerakkan seluruh jaringan.
Kita terlalu sering lupa bahwa “artikel” berasal dari kata Latin articulus—sebuah “bagian kecil” dari satu bangunan besar. Seperti tulang-tulang kecil yang menyusun ruas jari, ia tampak sepele tapi penting. Artikel bukan karya remeh. Artikel adalah janin buku.
Buku besar tak tiba-tiba ada
Seorang penulis profesional tahu: bila mampu menulis satu artikel dengan cermat dan jernih, ia sedang memahat pondasi untuk bangunan narasi yang lebih besar. Seperti Samuel P. Huntington. Buku besarnya yang kontroversial, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, tak muncul tiba-tiba. Ia berawal dari artikel. Tahun 1993. Di Foreign Affairs.
Baca Prof Nina Yulianti, Jejak Langkah Perempuan Dayak di Panggung Internasional
Tiga tahun kemudian, ketika debat sudah menyala, ketika kritik dan pujian sudah bersahut-sahutan, Huntington menyempurnakannya menjadi buku. Sebuah buku yang tetap menggigit sampai hari ini. Buku yang mengandung gizi pemikiran, dan seperti makanan yang baik: tetap awet untuk disantap pikiran puluhan tahun kemudian.
Novelty. Kebaruan. Itulah ukuran sebuah buku berkelas. Bukan karena tebalnya. Tapi karena daya hidupnya.
Baca Samuel P. Huntington dan Nujum tentang Benturan Peradaban Dunia yang Menjadi Fakta
Ketika Tembok Berlin runtuh dan euforia globalisasi menyeruak, sebagian dunia berpikir sejarah telah selesai. Fukuyama bilang: ini akhir dari pertentangan ideologi. Tapi Huntington menarik kita turun ke bumi: peradabanlah, bukan ideologi, yang akan memicu konflik masa depan.
Dalam The Clash of Civilizations, Huntington melihat dunia sebagai mosaik peradaban: Barat, Islam, Konfusian, Hindu, Jepang, Latin, Ortodoks, Afrika. Tiap peradaban menyimpan sejarah, luka, kebanggaan, dan nalar masing-masing. Dan ketika mereka saling bersentuhan, garis patah terbentuk. Konflik muncul.
Tentu saja dunia tak sesederhana itu. Kritik pun deras. Edward Said mengecamnya sebagai “politik geografi yang membelah dunia dengan prasangka kultural.” Tapi buku besar tak harus selalu disetujui. Ia harus menggugah.
Dalam ruangan panjang tempat kami berdiskusi di Tapang Sambas, di antara tiang kayu dan anyaman atap yang menua bersama waktu, saya sampaikan ini:
Tugas kita bukan sekadar mengelola koperasi atau menyusun laporan keuangan. Tapi lebih-lebih membangun cara berpikir. Menenun jaring pengetahuan seperti laba-laba menenun sarangnya. Dengan disiplin. Dengan kesabaran. Dengan passion dan sukacita melayani maka kita akan menjadi besar.
Karena penulis besar adalah pemikir yang sabar. Dan buku besar, selalu berawal dari satu gagasan kecil—yang dirawat, dipertajam, dan dibentangkan.
Seperti senar kecapi yang ditarik pelan, lalu bunyinya menjalar ke segala arah. Sunyi—tapi menggetarkan.
Masri Sareb Putra
Sekadau, Kalimantan Barat
19 Mei 2025
*) Penulis dicatat sebagai salah seorang "Angkatan 2.000 dalam Sastra Indonesia dalam Leksikon Suastra Indonesia (2000: 390), menulis dan menerbitkan lebih dari 4.000 artikel di Kompas (sejak 1994), media nasional dan internasional, serta menulis dan menerbitkan 214 buku ber-ISBN sejak buku perdana (novel dari Cerbung di harian Jawa Pos) Flamboyan Kembali Berbunga (Nusa Indah, 1987).