Carl Bock dan Para Penulis Asing Melihat Dayak dengan Mata bukan dengan Hati

Carl Bock, Dayak, citra, headhunter, penulis asing, Borneo, insula, Inggris, The Headhunters of Borneo, Oxford University Press

Bock membangun citra buruk Dayak, dia pun di mata Dayak, buruk.
Bock membangun citra buruk Dayak, dia pun di mata Dayak, buruk. Ist.


Peneliti             :
Masri Sareb Putra, M.A.
Tanggal rilis     : 07 Juni 2025.


Abstrak

Penelitian ini menganalisis narasi tentang Dayak yang dibangun Carl Bock dalam The Headhunters of Borneo (1881) serta pengaruhnya terhadap persepsi Barat tentang masyarakat Dayak. Dengan pendekatan kritis poskolonial, studi ini mengeksplorasi bagaimana Bock, seperti banyak penulis kolonial dan penulis non-Dayak lainnya, memandang masyarakat Dayak secara etnosentris, dari luar, tanpa pemahaman mendalam akan kehidupan dan kosmologi mereka. Penelitian, pengamatan, serta publikasi oleh non-Dayak senantiasa menyisakan bias, terutama karena mereka tidak punya sisi experiences, tidak mengalami, sehingga tiak memahami Dayak secara purna.

Artikel ini menyoroti keterbatasan etnografi kolonial dan menegaskan pentingnya suara lokal dalam membangun narasi budaya yang autentik dan berkeadilan.

Baca Gua Niah dan Dekonstruksi Mitos Yunnan Membalik Narasi Asal Usul Orang Dayak

Pendahuluan

Carl Bock, penjelajah asal Norwegia abad ke-19, mendokumentasikan pengalamannya di Borneo dalam The Headhunters of Borneo (1881). Bagaimanapun karya kolonial non-Dayak ini berkontribusi besar membentuk citra masyarakat Dayak sebagai "primitif" dalam imajinasi Barat. Namun, narasi Bock sarat bias etnosentris. Ia memandang Dayak sebagai objek eksotis tanpa memahami konteks budaya maupun dinamika kehidupan mereka. Tulisan ini mengkaji narasi tersebut, mengungkap kelemahan pandangan Bock sebagai pengamat luar, dan menggarisbawahi pentingnya keterlibatan dan suara lokal.

Metodologi

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif berupa analisis teks kritis terhadap The Headhunters of Borneo, didukung kajian teori poskolonial dan wawancara dengan cendekiawan Dayak. Artikel-artikel seperti "Cornelis Highlights Disparity" dan "Kalimantan, Sapi Perah Republik yang Terlupakan" digunakan untuk memberi konteks atas marginalisasi budaya dan sumber daya Dayak. Fokus utama adalah dekonstruksi bias kolonial dan penguatan perspektif lokal.

Baca FILSAFAT DAYAK Usaha Rasional Memahami Zat Tertinggi, Penduduk Asli, Alam Semesta, dan Budaya Borneo Masa ke Masa

Hasil

Analisis menunjukkan bahwa Bock menampilkan masyarakat Dayak sebagai tontonan eksotis: perburuan kepala, tato, dan simbol-simbol lain dicatat tanpa pemahaman kosmologis. Ia menggambarkan Dayak sebagai “liar” dan “primitif,” sembari mengabaikan pengetahuan ekologis dan sistem kepercayaan mereka. Buku ini, yang kembali diterbitkan oleh Oxford University Press pada 1985, menyebarkan citra yang keliru. Sementara itu, masyarakat Dayak sendiri melihat Bock sebagai sosok asing, bahkan menyerupai makhluk gaib, refleksi atas jurang budaya yang tak pernah dijembatani.

Diskusi: Menulis Dayak dari Dalam, Bukan dari Jauh

1. Kolonialisme Pengetahuan dan Kuasa atas Narasi

Kedatangan Carl Bock ke Borneo pada abad ke-19 tidak hanya membawa tubuh, buku catatan, dan sepasang sepatu kulit dari Eropa, tetapi juga membawa satu hal yang jauh lebih menentukan: pandangan dunia. Ia tidak datang dengan kehendak untuk memahami, melainkan dengan tekad untuk menjelaskan. Dalam hal ini, ia adalah representasi dari kolonialisme pengetahuan—sebuah proyek besar yang tidak hanya menaklukkan wilayah, tetapi juga menaklukkan makna, simbol, dan cara hidup.

Baca Indigenous Peoples from World’s Largest Forest Basins Unite in Brazzaville, Demand Global Recognition of Land Rights

Carl Bock menuliskan apa yang ia lihat, tetapi apa yang ia lihat telah terlebih dahulu disaring oleh asumsi-asumsi dunia asalnya: bahwa Borneo adalah “dunia lain,” bahwa masyarakat Dayak adalah “yang lain,” dan bahwa segala sesuatu yang tak serupa dengan Eropa adalah bentuk ketertinggalan, primitivisme, atau kebodohan.

Dalam konstruksi naratif semacam itu, orang Dayak tidak ditulis sebagai manusia yang otonom, melainkan sebagai objek untuk diamati. Dalam buku The Headhunters of Borneo (1881), Bock bukan hanya menciptakan laporan perjalanan; ia menciptakan lensa kolonial yang terus memengaruhi cara dunia melihat masyarakat Dayak hingga hari ini.

2. Tato, Tengkorak, dan Kosmologi yang Disalahpahami

Tato di lengan orang Dayak, yang bagi Bock mungkin hanya ornamen eksotis, sesungguhnya adalah naskah hidup. Ia adalah simbol status, peta pengalaman hidup, dan penanda spiritualitas. Namun, karena Bock tak mampu atau tak bersedia untuk menanyakan maknanya, ia hanya mencatat tampilannya. Ini adalah tragedi dalam ilmu pengetahuan kolonial: melihat tanpa menyimak, mencatat tanpa bertanya, menjelaskan tanpa mendengarkan.

Hal serupa terjadi pada tengkorak yang tergantung di rumah panjang. Di mata Bock, tengkorak itu adalah tanda kebrutalan, simbol barbarisme yang menakutkan. Namun bagi masyarakat Dayak, itu adalah bagian dari ritus yang mendalam—sebuah ungkapan relasi antara dunia manusia dan dunia roh. Ritual pengayauan (pengambilan kepala) bukanlah tindakan sembarangan atau kriminal sebagaimana didefinisikan hukum Barat, tetapi adalah bagian dari struktur kepercayaan dan mekanisme penyeimbang kekuasaan dan spiritualitas.

Bock tak mampu menangkap konteks itu karena ia melihat dengan mata kolonial—mata yang memisahkan fakta dari makna, tubuh dari budaya, tindakan dari nilai-nilai. Inilah yang disebut oleh Edward Said sebagai orientalism—pembentukan citra “Timur” oleh “Barat” untuk melayani superioritas moral dan politik mereka.

3. Narasi yang Membekukan: Menjadi Tontonan, Bukan Subjek

Apa yang ditulis Bock pada akhirnya menjadi teks yang membentuk persepsi global. Buku-bukunya dicetak ulang lebih dari seabad kemudian, dan tetap dipasarkan dengan sensasi yang sama: Borneo sebagai dunia yang gelap dan liar, Dayak sebagai manusia setengah jalan menuju manusia sepenuhnya.

Narasi semacam ini membekukan identitas Dayak dalam satu bingkai: sebagai yang eksotis, yang lain, yang mistik. Dunia Barat tidak diberi ruang untuk mengenal mereka sebagai subjek yang utuh, dengan filsafat hidup, seni, hukum adat, dan spiritualitas yang kompleks.

Baca Dayak dalam Bayang-Bayang Clash of Civilizations

Dalam literatur kolonial, masyarakat Dayak bukan agen. Mereka adalah latar. Mereka adalah objek eksotis yang eksistensinya hanya penting sejauh bisa dikonsumsi oleh pembaca Eropa. Teks kolonial seperti ini menempatkan orang Dayak dalam posisi pasif dan bisu. Ia menuliskan kepala Dayak, tetapi mengabaikan isi kepalanya.

4. Teks Sebagai Pilihan: Menyusun, Menghapus, dan Mengarahkan

Teks tidak pernah netral. Ia adalah hasil dari pilihan: apa yang dimasukkan dan apa yang dibiarkan hilang. Carl Bock memilih untuk menekankan kekerasan dan ketakutan. Ia menulis “pengayauan,” tapi tidak menulis pantang, tidak menulis adat besai, tidak menulis belian atau gawai. Ia menulis tubuh tanpa menggambarkan jiwa. Ia menulis rumah panjang tanpa mencatat prinsip kolektivisme yang menopangnya.

Dalam dunia akademik, pilihan semacam ini menentukan arah sejarah. Karena teks Bock menjadi rujukan banyak studi antropologi dan kolonial, maka generasi akademisi setelahnya mewarisi bias tersebut. Bahkan hingga kini, masih ada buku-buku pelajaran dan jurnal ilmiah yang mengutip Bock tanpa kritik, tanpa kesadaran bahwa sumber itu dibangun di atas jarak, bukan kedekatan.

5. Kebangkitan Narasi dari Dalam

Kini, muncul generasi baru penulis, akademisi, dan budayawan Dayak yang mulai menulis dari dalam. Mereka tidak lagi ingin jadi objek tulisan, tetapi subjek yang menentukan apa yang penting untuk diceritakan. Mereka tidak menulis untuk memikat pembaca dari luar, tetapi untuk memulihkan makna bagi diri sendiri dan komunitas.

Karya-karya seperti ini bukan sekadar koreksi terhadap teks lama. Mereka adalah bentuk pembebasan. Karena dengan menulis sendiri, masyarakat Dayak merebut kembali kendali atas narasi mereka. Mereka menulis bukan untuk menjelaskan siapa mereka kepada orang asing, tetapi untuk mengingatkan diri sendiri bahwa mereka bukan warisan yang mati, tapi peradaban yang hidup.

Hal ini menunjukkan pentingnya dekolonisasi pengetahuan. Proses ini bukan hanya soal mengganti narasi, tapi memulihkan cara pandang. Menulis kembali kisah orang Dayak berarti menempatkan nilai-nilai lokal sebagai lensa utama. Ia bukan hanya tentang isi, tapi juga tentang cara pandang terhadap isi itu.

6. Jenggot Bock dan Ketakutan yang Tak Disadarinya

Simbol lain yang menarik adalah jenggot Carl Bock. Dalam dunia Barat, jenggot bisa bermakna maskulinitas atau kebijaksanaan. Namun, di hutan Kalimantan, penampilan ini justru menciptakan ambiguitas. Orang Dayak, yang terbiasa membaca tanda-tanda alam dan mengenali makhluk-makhluk gaib, mungkin tidak tahu pasti bagaimana harus mengkategorikan orang seperti Bock.

Baca Stabilitas Populi: Ketahanan Populasi Dayak di Borneo Sangat Tinggi

Penampilan tubuh, dalam kosmologi lokal, adalah komunikasi. Dan tubuh Bock adalah pesan yang membingungkan. Ia datang sebagai tamu, tapi membawa tatapan penguasa. Ia tersenyum sopan, tapi mengandung penilaian. Dalam dunia yang sarat simbol dan isyarat, Bock adalah makhluk yang janggal, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara spiritual.

Barangkali itu sebabnya muncul pertanyaan lucu sekaligus tajam dari masyarakat lokal: “Kalau bertemu dia sendirian di hutan, malam-malam, siapa yang lebih takut—kita, atau dia?” Ini bukan hanya guyonan. Ini adalah ironi. Karena di balik semua narasi tentang ketakutan terhadap Dayak, justru si penulis-lah yang membawa ketakutan dalam pikirannya sendiri.

7. Jejak Bock di Ruang Akademik dan Kelas-Kelas Sekolah

Yang paling menyedihkan dari warisan Carl Bock adalah bagaimana suaranya terus hidup dalam ruang-ruang pendidikan. Teks seperti The Headhunters of Borneo masih diperlakukan sebagai sumber yang sahih, tanpa pembacaan kritis. Padahal, buku itu bukan hasil dialog, melainkan hasil pengamatan sepihak yang sarat bias.

Hal ini menunjukkan bahwa kolonialisme belum selesai. Ia berganti wajah menjadi kurikulum, menjadi kutipan ilmiah, menjadi rujukan tak terbantahkan. Itulah mengapa penting bagi dunia akademik Indonesia, khususnya di Kalimantan, untuk menyusun kembali silabus sejarah dan antropologi dengan melibatkan suara lokal.

8. Menuju Literasi Kritis dan Penulisan yang Membebaskan

Dalam menghadapi warisan teks kolonial seperti karya Bock, kita tidak cukup hanya menolaknya. Kita perlu melampauinya. Ini berarti membangun literasi kritis—kemampuan untuk membaca dengan kesadaran sejarah, untuk mempertanyakan narasi dominan, dan untuk menulis dari pengalaman nyata.

Kita menungu hasil penelitian dan publikasi yang membebaskan: penulisan yang tidak memuja eksotisme, tetapi menggali kearifan. Penulisan yang tidak mempermainkan trauma, tetapi memulihkan martabat. Penulisan yang tidak menjadikan budaya sebagai barang pajangan, tetapi sebagai sumber hidup.

9. Menulis dengan Kepala Sendiri

Narasi tentang Dayak telah terlalu lama ditulis oleh orang lain. Kini saatnya menulis dengan kepala sendiri dengan logika lokal, bahasa lokal, dan kepekaan lokal. Kita tidak butuh Carl Bock baru. Kita butuh penulis-penulis Dayak yang menulis dunia mereka bukan dari pinggir, tapi dari pusat kehidupan mereka sendiri.

Karena hanya dengan begitu, dunia akan tahu bahwa Borneo bukan halaman kosong. Ia adalah perpustakaan hidup. Ia bukan dunia yang belum berhuruf, tapi dunia yang huruf-hurufnya ditulis dengan tanah, sungai, langit, dan tubuh manusia yang menyatu dengan alam.

Bisa jadi, buku Carl Bock akan tetap ada. Tapi kini, ia hanyalah satu suara kecil di tengah kebangkitan suara-suara besar dari dalam hutan yang selama ini ia anggap sunyi.

Baca Wajah Dayak yang Melangkah Hari Ini

Kesimpulan

Narasi Carl Bock tentang Dayak adalah produk lensa kolonial yang mereduksi mereka menjadi objek eksotis. Bock pun tidak tahu agaknya jika orang Dayak berjumpa dia di hutan, jangan-jangan orang Dayak takut dan lari. Dikira bukan manusia melihat tampang, jenggot, serta jambangnya. 

Kegagalan Bock mengalami kehidupan Dayak secara langsung melahirkan representasi yang bias dan dangkal. Kini, dengan munculnya suara-suara Dayak, terdapat peluang untuk menulis ulang narasi tersebut secara lebih autentik dan adil. 

Studi ini merekomendasikan pendekatan etnografi dekolonial yang menempatkan pengalaman lokal sebagai sumber utama, serta menolak dominasi representasi kolonial atas budaya dan identitas masyarakat Dayak. *)


LihatTutupKomentar