Wajah Dayak yang Melangkah Hari Ini
Wajah Dayak hari ini: gambaran kontras dengan narasi luar di masa lampau. Dok. cewekdayak Fb. |
🌍 DAYAK TODAY | SEKADAU:
Pada suatu pagi yang biasa. Saya menemukan seraut wajah Dayak di layar gawai saya.
Bukan wajah yang dibingkai rumbai-rumbai bulu enggang. Atau dilatari kabut hutan lebat yang menyimpan bunyi burung dan sunyi pedalaman.
Wajah-baru itu berdiri di depan sebuah mobil, tersenyum, mengenakan setelan bergaya urban yang meyakinkan.
Di tangannya secangkir kopi. Dan di baliknya ada sebuah rumah megah, bersih, dan terang. Bukan rumah betang, bukan juga pondok sederhana yang pernah saya lihat di foto-foto zaman Orde Baru.
Baca Grace Lukas dan Perjuangan Sertifikat Lahan dan Rumah Warga di Kabupaten Sekadau
Saya terdiam. Tidak karena keterkejutan, tapi oleh sesuatu yang lebih pelan: rasa senang yang ditambatkan sejarah. Sebentuk keharuan yang tidak berisik.
Karena saya tahu, wajah seperti itu tidak muncul begitu saja. Ia adalah hasil dari luka yang dijahit, dari jalan panjang yang dilintasi diam-diam oleh ketabahan.
Sepuluh, dua puluh, bahkan lima puluh tahun yang lalu, tak banyak yang menyangka bahwa wajah-wajah Dayak akan sampai ke panggung ini.
Dulu dalam narasi yang dibuat di kota-kota besar, Dayak seringkali hanya muncul sebagai gambar eksotisme: lelaki bertato, perempuan menari, rumah panjang, dan cerita mistik. Mereka jarang hadir sebagai subjek yang berbicara atas nama dirinya sendiri. Seolah-olah sejarah Indonesia dibangun tanpa orang Dayak.
Tapi waktu, jika diberi ruang, tahu caranya menumbuhkan harapan. Waktu, ketika tidak ditebang atau dibakar, tahu bagaimana membangun akar baru dari batang yang nyaris patah.
Hari ini, wajah Dayak tidak lagi satu. Ia berlipat. Ia muncul di auditorium universitas, di balik meja kerja startup, di layar TikTok yang menari di antara tari tradisi dan tren kota. Di Pontianak, di Samarinda, di Jakarta, bahkan di luar negeri, kita melihat mereka menjadi pengusaha, dosen, aktivis, dokter, insinyur, konten kreator. Mereka tak lagi “dilihat”, tetapi mulai “melihat”. Dan suara mereka—pelan, tapi pasti—mewarnai ruang publik yang dulu hanya jadi milik orang lain.
Anak-anak Dayak hari ini fasih berbahasa Inggris, lancar menggunakan N-Vivo untuk menganalisis data lapangan, dan bisa berbicara tentang hak adat dan teknologi digital dalam satu tarikan nafas. Mereka tampil percaya diri, dengan nama yang tak disamarkan dan identitas yang tak ditutupi. Mereka bisa tampil di panggung internasional tanpa harus melepaskan manik-manik budaya yang melekat di dada.
Kita barangkali boleh bertanya: apakah ini bentuk lain dari kehilangan? Apakah modernitas, dalam segala kilau dan kenyamanannya, sedang mencopot kulit masa lalu dan menggantikannya dengan sesuatu yang tak berakar?
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Tapi mungkin pertanyaan itu tak adil. Karena setiap zaman memang punya pakaiannya sendiri. Dan anak-anak Dayak masa kini, tampaknya, sedang menjahit pakaian itu dengan tangan mereka sendiri—bukan membeli dari toko sejarah orang lain. Mereka tak sedang menukar akar dengan layar sentuh, tapi sedang membuktikan bahwa tradisi dan modernitas tak selalu harus bertabrakan.
Saya teringat pada seorang anak muda Dayak yang saya temui dalam sebuah diskusi daring. Ia berbicara tentang ekonomi kreatif di daerah perbatasan, sambil sesekali menyisipkan istilah dalam bahasa Iban. Ia berbicara tentang algoritma digital dan kearifan lokal dalam satu garis kalimat. Saya tahu, di hadapan saya bukan hanya seorang pemuda, tapi perwujudan dari keberlanjutan yang dicita-citakan. Ia tidak marah pada masa lalu, tidak silau pada masa depan. Ia berdiri di antaranya—dengan kepala tegak dan hati yang tak mudah diusik.
Inilah mungkin wajah Dayak masa kini: wajah yang menoleh pada akar, tapi melangkah ke depan. Dan langkah itu bukan pengkhianatan, tapi bentuk lain dari keberanian.
Karena pada akhirnya, identitas bukan apa yang kita pertahankan mati-matian, melainkan apa yang kita hidupkan dalam pilihan-pilihan sehari-hari.
Dan di sinilah transformasi itu berlangsung: bukan di depan kamera, bukan di rapat-rapat kementerian. Tapi di kehidupan sehari-hari orang-orang yang berani menyulam kembali makna “menjadi Dayak” dalam zaman yang terus berubah.
Inilah mungkin wajah Dayak masa kini: wajah yang menoleh pada akar, tapi melangkah ke depan. Dan langkah itu bukan pengkhianatan, tapi bentuk lain dari keberanian.
Baca Ngayau (1)
Karena pada akhirnya, identitas bukan apa yang kita pertahankan mati-matian, melainkan apa yang kita hidupkan dalam pilihan-pilihan sehari-hari. Dan di sinilah transformasi itu berlangsung—bukan di depan kamera, bukan di rapat-rapat kementerian—tetapi di kehidupan sehari-hari orang-orang yang berani menyulam kembali makna menjadi Dayak dalam zaman yang terus berubah.
Saya teringat kalimat penyair Polandia, Zbigniew Herbert: “You were saved not in order to live / you have little time / you must give testimony.”
Anak-anak Dayak masa kini, barangkali, bukan hanya sedang membangun hidup yang layak. Mereka sedang memberi kesaksian: bahwa kebudayaan bukan bangunan beku yang tak boleh disentuh, tetapi taman yang harus dirawat, agar bisa tumbuh dengan bentuk yang mungkin tak terduga.
Mereka sedang memberi kesaksian bahwa akar tidak harus menahan kita dari berjalan, tapi justru menjadi tempat berpijak agar langkah kita lebih teguh. Bahwa menjadi “modern” tak harus berarti meninggalkan tradisi, dan menjadi “maju” bukan berarti menyalin rupa orang lain. Mereka tahu: hutan bisa berubah wujud tanpa kehilangan ruhnya. Rumah panjang bisa hidup dalam cara berpikir, bukan semata bentuk kayunya.
Dan di antara dunia yang semakin tergesa-gesa, wajah-wajah Dayak itu hadir sebagai jeda. Sebagai suara yang tidak meninggi, tetapi jernih. Sebagai cermin bahwa perubahan tak selalu berarti kebisingan, dan kemajuan tidak selalu berarti kehilangan.
Baca Bagaimana Dayak dalam Industri Sawit, Khususnya Plasma
Mungkin, seperti kata Chairil, “Aku ingin hidup seribu tahun lagi.” Tapi anak-anak Dayak masa kini mungkin akan menjawab, dengan tenang: kami tidak ingin hidup abadi, kami ingin hidup sepenuhnya—dengan nama sendiri, bahasa sendiri, dan langkah yang tidak lagi ditentukan oleh orang lain.
-- Rangkaya Bada