Dayak Harus Turut Menikmati Booming Sawit

Dayak, sawit, minyak nabati, Oil World Annual 2024 , lingkungan, deforestasi, RSPO,CSR,

Dayak harus bisa menikmati booming sawit
SAWIT. Tak pernah ada petani bangga kecuali petani sawit. Dok. Defi Susana.

🌍 DAYAK TODAY  | PONTIANAK: Seorang perempuan Dayak, masih muda. 

Ia berdiri di tengah hamparan sawit, memotret dirinya dengan gembira, diapit tandan buah segar yang baru dipanen. Di wajahnya terpancar rasa bangga—bukan sekadar karena hasil panen, tapi karena merasa menjadi bagian dari dunia yang selama ini jauh: ekonomi global. 

Baca Membaca Sejarah Orang Dayak Berdasarkan Bukti Arkeologis

Untuk pertama kalinya, menjadi petani bukan sekadar bertahan hidup, tapi tampil, tampil dengan bangga. Sawit, yang dijuluki “emas hijau”, telah menabur harapan.

Namun harapan, seperti sejarah, tak pernah berdiri sendiri. Di belakang senyum itu ada kisah lain: dusun yang perlahan hilang dari peta, hutan yang dijadikan lembar konsesi, dan hukum yang tak mengenali tanah yang diwariskan lewat nyanyian nenek. 

Di Kalimantan, sawit tumbuh seiring penggusuran, seiring kompromi yang tak diminta, seiring kebisuan yang dibungkam dengan angka-angka produksi.

Permintaan minyak nabati melonjak: Bagaimana Dayak?

Selama dua dekade terakhir, permintaan minyak nabati melonjak ke tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Oil World Annual 2024 mencatat produksi minyak nabati global hampir dua kali lipat—dari 130,8 juta ton pada 2003/04 menjadi 259,8 juta ton pada 2023/24. 

Baca Kalimantan, Sapi Perah Republik yang Terlupakan? (In-depth reporting)

Pangsa sawit naik dari 23,1 persen menjadi 31,5 persen dari total tersebut. Laporan USDA pun memproyeksikan tren ini akan terus mendaki, didorong mandat biofuel, konsumsi makanan di negara berkembang, serta permintaan dari industri kosmetik dan farmasi.

Ledakan ini dirayakan oleh raksasa agribisnis dan pemerintah sebagai kemenangan efisiensi pertanian dan perdagangan bebas. Sawit dianggap jawaban: produksinya tinggi, lahannya sedikit, kegunaannya banyak. Tapi pasar yang merayakan angka-angka ini sering melupakan harga yang dibayar manusia dan lingkungan, terutama mereka yang hidup di pinggir hutan, jauh dari pusat kuasa.

Di Borneo, yang dahulu dikenal sebagai wilayah yang berdenyut dari hutan dan sungai, kini berubah menjadi lanskap monokultur. Di Kalimantan Barat maupun Tengah, ratusan konflik agraria muncul. Di balik setiap izin konsesi, ada cerita kampung yang merasa tak pernah diajak bicara, tanah ulayat yang tiba-tiba bukan lagi milik mereka, dan sidang pengadilan yang membahas ‘sertifikat’ yang tak pernah mereka kenal.

Di kampung-kampung Dayak di Kalimantan, tanda-tanda penggusuran datang bukan dengan surat, melainkan kamera dan peta. 

"Mereka bilang, hutan ini bukan milik kami lagi," kata seorang tetua kampung. Hutan yang dulunya sumber obat, madu, dan upacara adat, ditebang diganti barisan bibit sawit. Di Kalimantan Tengah, para janda hanya menerima beberapa juta rupiah untuk tanah yang dalam setahun menghasilkan keuntungan miliaran.

Baca Naypyidaw dan IKN: Ibukota yang Gagal Dicintai

Dan bukan hanya manusia yang kehilangan. Hutan-hutan yang menjadi rumah bagi orangutan, burung enggang, dan ribuan spesies lainnya turut terhapus. Laporan Greenpeace 2023 menyebut pembukaan hutan dan lahan gambut tak hanya melepas karbon dalam jumlah besar, tapi juga mempercepat krisis asap dan perubahan iklim lokal. Sungai-sungai keruh oleh sedimen dan pupuk. Pola hujan terganggu. Ladang menjadi gersang. Musim tanam tak lagi bisa diprediksi.

Gerakan masyarakat sipil dan kampung-kampung Dayak

Namun tak semua tinggal diam. Gerakan masyarakat sipil dan kampung-kampung Dayak mulai bergerak. Beberapa desa telah memperoleh status "hutan desa" dan hak kelola lestari. Di Kalimantan Timur, uji coba standar keberlanjutan berbasis yurisdiksi sedang berlangsung, termasuk pemetaan tanah adat dan penerapan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC). RSPO, Human Rights Watch, dan jaringan LSM global mendesak revisi Undang-Undang Cipta Kerja agar lebih berpihak pada hak adat.

Baca Ngayau (1)

Apa pun, kita harus mengakui satu hal: sawit tak bisa disangkal. Ia telah menjadi bagian dari kenyataan. Ia ada, tumbuh, dan menjalar. Tetapi kebenaran lain pun harus dikatakan dengan tegas: apa pun yang tumbuh di atas tanah orang, harus menghadirkan keadilan bagi yang empunya tanah. Tak cukup hanya kompensasi. Tak cukup hanya CSR. Penduduk setempat, pemilik sejarah dan akar, harus ikut mengecap nikmatnya—dalam arti yang sesungguhnya: menjadi pemilik, bukan buruh di ladang sendiri.

Kita boleh menyambut pertumbuhan. Tapi ia tak boleh datang dengan menghapus jejak kaki yang lebih dulu ada di tanah itu. Kita boleh bicara soal efisiensi dan pasar global, tapi tak bisa menafikan makna sebuah pohon bagi upacara, sebuah sungai bagi dapur, sebuah tanah bagi jiwa. 

Baca Who’s Destroying Borneo’s Forests? The Corporate Takeover of Dayak Lands

Masa depan tidak semata ditentukan oleh grafik produksi dan neraca ekspor, tapi oleh apakah pembangunan mampu memelihara martabat manusia dan harmoni dengan alam.

Sebab keadilan bukanlah perihal angka, tetapi pengakuan: bahwa tanah ini punya sejarah, punya suara, dan punya hak untuk menentukan masa depannya sendiri.

-- Eremespe/dayaktoday.com


LihatTutupKomentar