Membaca Sejarah Orang Dayak Berdasarkan Bukti Arkeologis
Dayak Pewaris Sah Pulau Borneo. Ilustrasi by AI. |
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA: Sejarah, sebagaimana sering dikatakan, ditulis oleh mereka yang meninggalkan catatan. Namun bagi Borneo, pulau seluas 743.330 kilometer persegi, terbesar ketiga di dunia, masa lalunya sebelum abad ke-4 Masehi masih menjadi misteri.
Belum ditemukan prasasti, artefak, atau bukti tekstual yang dapat menjelaskan eksistensi prasejarah pulau ini.
Baca Rekam Jejak Pleistosen di Gua Niah: Dari Manusia Purba ke Masyarakat Dayak
Langka, bahkan ketiadaan, bukti fisik membuat para sejarawan dan arkeolog lebih banyak berspekulasi daripada menyusun narasi historis yang pasti.
Membaca Sejarah Orang Dayak Berdasarkan Bukti Arkeologis
Upaya merekonstruksi sejarah awal Borneo telah dilakukan oleh para ilmuwan seperti Robert Blust dan Peter Bellwood, terutama terkait migrasi dan pola bahasa Austronesia. Meskipun kajian-kajian ini memberikan wawasan berharga, belum cukup adekwat untuk membentuk kronologi pengaruh dan kekuasaan yang definitif atas Borneo. Tanpa sintesis antara data arkeologis, antropologis, dan bukti sejarah tertulis, masa paling awal Borneo tetap merupakan halaman terbuka.
Abad ke-4 hingga ke-12 M: Jejak Hindu-India
Pengaruh luar pertama yang nyata atas Borneo datang dari peradaban Hindu India. Jejak ini paling jelas terlihat melalui Kerajaan Kutai Martadipura yang berlokasi di Borneo Timur saat ini. Kutai dikenal sebagai kerajaan Hindu tertua di Indonesia.
Baca Kalimantan, Sapi Perah Republik yang Terlupakan? (In-depth reporting)
Bukti paling kuat keberadaan Kutai berasal dari tujuh batu bertulis kuno yang dikenal sebagai prasasti Yupa, ditulis dengan aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta. Prasasti ini, yang berasal dari abad ke-4 Masehi, mencatat silsilah raja-raja Kutai serta dukungan mereka terhadap kaum Brahmana.
Berikut adalah tabel periodeisasi yang menggambarkan pembacaan sejarah Orang Dayak berdasarkan bukti arkeologis:
Periode | Keterangan |
---|---|
Abad ke-4 hingga ke-12 M | Jejak Hindu-India |
Pengaruh luar pertama dari peradaban Hindu-India terlihat jelas melalui Kerajaan Kutai Martadipura di Borneo Timur. Prasasti Yupa, yang berisi silsilah raja-raja Kutai dan dukungan terhadap Brahmana, menjadi bukti kuat dari pengaruh ini. Kudungga dan Aswawarman adalah tokoh penting di kerajaan ini. Hindu-Buddha turut membawa perubahan dalam sistem sosial dan politik. | |
Abad ke-13 hingga ke-21 | Kebangkitan Islam |
Islam masuk ke Borneo melalui perdagangan, terutama di Kerajaan Kutai Kartanegara yang memeluk Islam pada 1575. Islam juga masuk ke Kesultanan Banjar. Proses Islamisasi membawa perubahan besar dalam hukum, sosial, dan ekonomi di Borneo, dengan penguasa berubah menjadi sultan. Pada abad ke-20, Islam sudah mengakar kuat di masyarakat Borneo. | |
Abad ke-21 | Kebangkitan Identitas Dayak dan Kristiani |
Pada abad ke-21, orang Dayak mengalami kebangkitan identitas budaya dan keagamaan mereka, terutama melalui gereja Katolik dan Protestan yang sudah ada sejak abad ke-19. Kebangkitan ini juga meliputi kesadaran akan hak politik dan ekonomi, dengan munculnya tokoh Dayak dalam pemerintahan dan organisasi masyarakat sipil serta gerakan koperasi seperti CUKK. | |
Kesadaran Adat yang Bangkit | Bangsa Pertama Pulau Borneo |
Seiring dengan gelombang perubahan yang datang, orang Dayak bertahan dengan tradisi mereka dan memperjuangkan hak-hak atas tanah, hutan, dan kehormatan mereka. Ancaman dari deforestasi, perkebunan sawit, dan pertambangan memicu kebangkitan kesadaran kolektif. Kini suara Dayak semakin terdengar dalam kebijakan pemerintah dan perlindungan tanah adat mereka. | |
Lembaga Pendidikan dan Gereja | Peran dalam Kebangkitan |
Pendidikan tinggi dan gereja berperan sentral dalam mengubah kesadaran Dayak. Universitas dan pusat riset kini mempublikasikan sejarah dan literasi Dayak, menjembatani tradisi lisan dengan dokumentasi tertulis, memperkuat identitas mereka di tingkat nasional dan internasional. |
Tabel ini mencatat berbagai periode yang membentuk sejarah dan kebangkitan orang Dayak berdasarkan bukti arkeologis, dengan menekankan pengaruh Hindu, Islam, dan kebangkitan identitas Dayak di abad ke-21.
Salah satu tokoh penting dalam sejarah Kutai adalah Kudungga, yang awalnya hanya seorang kepala suku lokal sebelum wilayahnya dipengaruhi oleh budaya Hindu-India. Putranya, Aswawarman, dikenal sebagai raja Hindu pertama Kutai dan pendiri dinasti kerajaan (wangsakerta).
Masuknya unsur budaya Hindu-Buddha, termasuk sistem kasta, karma, reinkarnasi, dan ritual keagamaan, menjadi titik awal terciptanya sistem sosial dan politik yang lebih kompleks.
Baca Prof Nina Yulianti, Jejak Langkah Perempuan Dayak di Panggung Internasional
Jejak peradaban Hindu-Buddha juga ditemukan di pedalaman Borneo, terutama di sepanjang sungai besar yang menjadi jalur perdagangan utama. Brahmana memegang peran dominan dalam urusan agama maupun pemerintahan, sebagaimana dibuktikan dalam berbagai prasasti.
Abad ke-13 hingga ke-21: Kebangkitan Islam
Islam masuk ke Borneo melalui jalur perdagangan, dibawa oleh saudagar dan ulama dari Timur Tengah dan Semenanjung Melayu. Kutai Kartanegara menjadi salah satu kerajaan pertama yang memeluk Islam di bawah pemerintahan Aji Raja Mahkota Mulia Alam, yang masuk Islam tahun 1575. Tokoh penting penyebaran Islam saat itu adalah Tuan Tunggang Parangan, seorang ulama berpengaruh yang diterima dengan hangat oleh raja.
Pada pertengahan abad ke-18, gelar penguasa berubah dari raja menjadi sultan, dimulai dengan Sultan Aji Muhammad Idris. Di sisi lain Borneo, Kesultanan Banjar juga memainkan peran penting dalam penyebaran Islam, setelah Pangeran Samudera memeluk Islam dan bergelar Sultan Suriansyah.
Islam kemudian membentuk struktur hukum, sosial, dan ekonomi baru di Borneo. Di masa kolonial, para sultan dan pemimpin Muslim juga memimpin perlawanan terhadap penjajah Belanda. Memasuki abad ke-20, Islam telah mengakar kuat di tengah masyarakat Borneo.
Abad ke-21: Kebangkitan Identitas Dayak dan Kristiani
Kini pada abad ke-21, orang Dayak tengah mengalami kebangkitan besar dalam identitas budaya dan keagamaan mereka.
Sejak abad ke-19, misionaris Katolik dan Protestan telah menyebarkan agama Kristen ke pedalaman Borneo. Misi Kapusin dan Jesuit membangun gereja, sekolah, dan institusi pendidikan yang menjadi pilar penting bagi masyarakat Dayak.
Baca Duri Cinta Kebun Sawit (1) | Tanah dan Belahan
Lebih dari sekadar agama, kebangkitan ini menandai kesadaran baru akan hak politik dan ekonomi. Tokoh-tokoh Dayak mulai menduduki posisi penting dalam pemerintahan dan organisasi masyarakat sipil. Kebangkitan budaya juga terlihat dari semakin dikenalnya hukum adat, seni, dan sistem sosial yang berbasis nilai-nilai Dayak.
Secara ekonomi, masyarakat Dayak memperkuat diri melalui gerakan koperasi dan usaha berbasis komunitas. Credit Union (CU), antara lain Pancur Kasih, Lantang Tipo, Betang Asih, Banuri Harapan Kita, dan Keling Kumang (CUKK) di Kalimantan Barat menjadi contoh nyata keberhasilan ini.
Kesejahteraan masyarakat Dayak meningkat, partisipasi politik tumbuh, dan suara Dayak semakin didengar dalam kebijakan pemerintah dan perlindungan hutan serta tanah adat mereka.
Kebangkitan Dayak hari ini ditandai oleh transformasi besar dalam sistem mata pencaharian masyarakatnya. Jika dahulu karet menjadi tumpuan utama ekonomi rakyat Dayak, kini sawit dan sektor perkebunan lainnya mulai mengambil alih peran tersebut. Namun yang paling mencolok adalah keterbukaan akses pada bidang ekonomi kreatif—wilayah yang sebelumnya nyaris tertutup bagi masyarakat Dayak. Generasi muda Dayak kini tampil sebagai guru, dosen, birokrat, pegawai negeri, hingga profesional di berbagai bidang lainnya. Peralihan ini bukan sekadar pergeseran ekonomi, melainkan pergeseran struktur sosial dan cara berpikir: bahwa masa depan Dayak tak hanya berada di ladang dan hutan, tetapi juga di ruang-ruang intelektual, digital, dan profesional yang lebih luas.
Perubahan ini membawa kesadaran baru: pentingnya menjadi tuan di tanah sendiri. Dayak tidak lagi sekadar objek pembangunan, tetapi pelaku utama yang turut merancang arah kemajuan. Kebangkitan ini juga menjadi penanda kuat bahwa identitas Dayak sebagai pewaris sah Borneo kembali ditegaskan, bukan dalam romantisme masa lalu, tetapi dalam daya saing dan kapasitas masa kini. Di tengah arus globalisasi dan tekanan ekonomi ekstraktif, kebangkitan identitas ini menjadi kekuatan moral dan budaya untuk membangun Borneo dari akar tradisi hingga ke percabangan modernitas yang berdaya tahan.
Kesadaran Adat yang Bangkit: Bangsa Pertama Pulau Borneo
Selama berabad-abad, Borneo menjadi tempat pertemuan peradaban: dari Hindu, Islam, hingga kolonialisme Barat. Namun di balik segala gelombang perubahan, orang Dayak sebagai penghuni asli tetap bertahan, menjaga tradisi, ritual, dan hubungan spiritual dengan tanah leluhur mereka.
Sayangnya, selama masa kolonial dan pascakemerdekaan, Dayak seringkali disisihkan, dicap sebagai "primitif." Kini gelombang baru muncul: gerakan yang merebut kembali martabat Dayak, memperjuangkan tanah, hutan, dan hak untuk menentukan nasib sendiri.
Ancaman deforestasi, perkebunan sawit, dan pertambangan besar menjadi pemantik kesadaran kolektif. Suara Dayak kini menggema di panggung nasional dan internasional, menuntut pengakuan dan keadilan. Ini bukan sekadar kebangkitan budaya—tetapi pernyataan politik.
Lembaga pendidikan tinggi dan gereja memainkan peran sentral dalam perubahan ini. Universitas dan pusat riset kini mencatat sejarah Dayak, menjembatani tradisi lisan dengan dokumentasi tertulis. Publikasi dan literasi Dayak dari kampus ke kampung semakin berkembang.
Borneo bukan lagi hanya pulau eksotis dalam kisah petualangan. Ia kini menjadi medan kontestasi sejarah dan masa depan. Identitas dinegosiasi ulang, dan orang Dayak —bangsa pertama pulau ini—akhirnya berdiri tegak dalam cahaya sejarah mereka sendiri.
Cerita Borneo belum usai. Kini sedang ditulis ulang, dalam suara mereka yang menolak dilupakan.
Peneliti: Rangkaya Bada