Indonesia perlu menulis-ulang folklor yang positif

Eropa, folklor, McClelland, Pancasila, nilai, kebaikan, kejujuran, prestasi,

Indonesia perlu menulis-ulang folklor yang positif
Pendidikan kebaikan, bukan pendidikan anti. Ilustrasi: Grog.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA: KORUPSI. Kata itu kembali bergaung, seperti lonceng retak yang nadanya tak pernah merdu.

Di layar ponsel, di koran pagi, di percakapan warung kopi, ia hadir sebagai trending topik Indonesia, seolah-olah telah menjadi bagian dari napas negeri ini.

Baca Makan Dahulu, Ber-Filsafat Kemudian

Bukan sekadar berita, bukan pula sekadar kejahatan—korupsi adalah luka yang menganga, yang tak hanya menyakiti pelakunya, tapi juga keluarga, lingkungan, bangsa, bahkan dunia. Ia adalah batu yang dilempar ke danau tenang, menciptakan riak-riak yang merusak jauh melampaui titik jatuhnya.

Folklor yang positif, bukan anti-kebaikan

Dulu, Prof. McClelland, seorang profesor pengembara intelektual dari Barat, mencoba memecahkan teka-teki Eropa. Mengapa Eropa Barat melaju, sementara Eropa Timur tertatih, padahal keduanya berbagi benua yang sama? Ia menyelami folklor, cerita-cerita rakyat yang mengalir di nadi budaya.

Di Eropa Barat, ia temukan kisah-kisah tentang keberanian, kemajuan, nilai-nilai yang menegakkan harapan. Pahlawan-pahlawan di sana membangun, bukan meruntuhkan.

Di Eropa Timur, cerita-cerita itu lebih kelam—tentang kehilangan, ketidakpercayaan, dan nilai yang rapuh. Folklor, ternyata, bukan sekadar dongeng pengantar tidur. Ia adalah cermin jiwa kolektif, peta yang menuntun langkah sebuah bangsa.

Baca Filsafat Dayak Komprehensif, Buku Pertama di Bidangnya Diluncurkan di Sekadau

Lalu, kita berpaling ke Indonesia, negeri +62 yang katanya berpijar dengan semangat Pancasila. Tapi, di sudut-sudut cerita kita, apa yang kita temukan?

Ada Kancil, si cerdik yang nyolong ketimun, menang dengan tipu daya, dirayakan karena kelicikannya. Ada ibu yang mengutuk anaknya, cinta yang berbalik jadi murka, menyisakan luka di hati dan tanah.

Ada kisah balas dendam, di mana keadilan dirayakan dengan darah, bukan dengan nurani. Folklor kita, begitu kaya, begitu hidup, namun sering kali bernada negatif.

Apakah cerita-cerita ini, yang kita wariskan dari generasi ke generasi, turut membentuk kesadaran kolektif kita? Apakah Kancil, dengan kecerdikannya yang licik, telah menjadi lambang tak sadar bahwa korupsi hanyalah “cara lain” untuk menang?

Apakah nilai-nilai Pancasila, yang luhur itu, tersisih di pinggir, menjadi slogan yang diucap tapi tak dirasa?

Korupsi bukan sekadar mencuri. Ia adalah pengkhianatan—terhadap diri sendiri, terhadap keluarga yang menanti di rumah, terhadap lingkungan yang kehilangan kepercayaan, terhadap bangsa yang merana, dan terhadap dunia yang menatap kita dengan tanya. Ia adalah racun yang merembes, menghancurkan bukan hanya pelakunya, tapi juga harapan anak-anak yang bermimpi tentang masa depan yang adil.

Baca Calon CEO Keling Kumang Ditempa Keterampilan Menulis di Rumah Panjang

Bayangkan: seorang anak melihat ayahnya pulang dengan kantong penuh, tapi matanya kosong. Apa yang ia pelajari? Bahwa kejujuran adalah kelemahan? Bahwa Kancil, si pencuri ketimun, adalah pahlawan? Bayangkan pula sebuah desa yang kehilangan air bersih karena dana pembangunannya dikorupsi, atau sebuah negara yang kehilangan kepercayaan dunia karena elite-elitenya sibuk mengisi kantong sendiri. Korupsi bukan sekadar kejahatan; ia adalah perampasan terhadap masa depan.

Lelah membaca berita negatif

Saya, terus terang, lelah membaca berita-berita itu. Korupsi, penipuan, kejahatan—semuanya seperti lingkaran setan yang berputar, menjebak kita dalam narasi yang sama. Saya rindu cerita lain, cerita yang menarik, yang positif, yang membangun. Saya rindu folklor baru, di mana Kancil bukan mencuri, melainkan menanam, di mana ibu tak mengutuk anaknya, melainkan merangkulnya dengan cinta yang membangun, di mana keadilan bukan tentang balas dendam, tapi tentang membangun kebaikan bersama.

Saya rindu cerita yang membuat kita bangga menjadi bagian dari +62, yang membuat Pancasila bukan sekadar kata-kata di buku pelajaran, tapi nyata dalam tindakan, dalam sikap, dalam kehidupan.

Tapi, mungkinkah kita menulis ulang cerita itu? Mungkinkah kita, sebagai bangsa, menciptakan folklor baru yang tak memuliakan kecurangan, tapi kejujuran? Mungkinkah kita mengajarkan anak-anak kita bahwa keberanian bukan tentang mencuri ketimun, tapi tentang menolak godaan untuk melakukannya? Korupsi harus berhenti, bukan karena hukuman, tapi karena kita sadar: ia buruk, ia merugikan, ia memadamkan cahaya yang seharusnya menyala di hati bangsa.

Wajah Dayak yang Melangkah Hari Ini

Kita perlu cerita baru, folklor yang membangun kesadaran kolektif, yang menegaskan bahwa Pancasila bukan sekadar ide, melainkan jalan. Jalan yang menuntun kita menjauh dari Kancil yang licik, menuju manusia yang jujur, yang hidup bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk sesama, untuk bangsa, untuk dunia.

Pertanyaan ini bukan akhir, melainkan awal. Bukan jawaban, melainkan undangan. Untuk melihat ke dalam, untuk merenung, untuk bertanya: cerita apa yang ingin kita wariskan?

Dan, lebih penting lagi, tindakan apa yang akan kita ambil untuk membuat cerita itu nyata?

Indonesia perlu menulis-ulang folklor yang positif

folklor yang baik dan benar bukan sekadar kisah yang menghibur, melainkan yang menyalakan bara di dada manusia: dorongan untuk melampaui, untuk menoreh tanda di batu yang keras, untuk menjadi lebih dari sekadar debu yang diterbangkan angin.

Folklor, dalam pandangannya, adalah cermin jiwa yang tak hanya menceritakan siapa kita, tetapi juga siapa yang kita dambakan.

Indonesia, tanah yang penuh dengan cerita-cerita yang terjalin dari benang-benang mitos dan sejarah, sepertinya lupa akan ini. Kita punya dongeng tentang malin kundang yang dikutuk, tentang raja-raja yang tenggelam dalam ambisi, tentang dewi-dewi yang menangis di balik kabut.

Tapi, di mana kisah-kisah yang menggenggam tangan kita, yang berbisik, “Bangkit, kejar bintang itu”?

Kita terlalu lama terpaku pada cerita-cerita yang mengingatkan kita pada kegagalan, pada kutukan, pada batas-batas yang tak pernah kita coba langkahi. McClelland, dalam kesunyian studinya, seolah menantang: tulis ulang folklor itu. Buat ia hidup, bukan sebagai bayang-bayang masa lalu, tetapi sebagai nyala yang membakar masa kini.

Menulis ulang folklor Indonesia bukan sekadar menata kata, tetapi merajut kembali mimpi kolektif kita. Bayangkan sebuah cerita tentang seorang petani di lereng gunung yang tak hanya bertahan dari badai, tetapi menciptakan bendungan untuk desanya.

Atau kisah seorang gadis pesisir yang menaklukkan laut, bukan dengan pedang, tetapi dengan keberanian membaca bintang-bintang. Ini bukan soal menghapus yang lama, tetapi memberi napas baru: cerita-cerita yang membuat anak-anak di pelosok negeri ini memandang cakrawala dan berkata, “Aku bisa.” Kita perlu folklor yang tak hanya berbicara tentang apa yang telah terjadi, tetapi tentang apa yang mungkin yaki tentang keberanian yang lahir dari tanah yang sama, dari darah yang sama.

Indonesia, dengan segala luka dan keindahannya, adalah kanvas yang luas. Mari kita tulis cerita-cerita yang bukan hanya mengenang, tetapi juga menggerakkan. Sebab, dalam setiap folklor yang positif, ada denyut N-Ach: hasrat untuk menjadi lebih, untuk menembus batas, untuk menjadikan dunia ini sedikit lebih terang.

Jakarta, 23 Mei 2025

LihatTutupKomentar