Makan Dahulu, Ber-Filsafat Kemudian
Masri Sareb Putra, M.A. memandu bedah buku dan diskusi Fisafat Dayak. Ist. |
🌍 DAYAK TODAY | SEKADAU: Filsafat, yang selama ini sering diasosiasikan dengan hal-hal rumit dan membuat dahi berkerut, ternyata bisa tampil dalam wajah yang sama sekali berbeda.
Filsafat bukan sekadar soal berpikir berat atau berdiskusi abstrak yang hanya dipahami segelintir orang. Filsafat bisa menghibur, membangkitkan tawa, dan menyulut kegembiraan intelektual.
Di tangan yang tepat, filsafat menjadi jembatan untuk memperkaya dan meningkatkan kualitas kehidupan, menertawakan absurditas, dan menemukan makna dalam hal-hal yang tampak biasa.
Ketika dipraktikkan dalam konteks budaya lokal seperti Dayak, filsafat justru menghadirkan kedekatan, kehangatan, dan rasa bangga yang menyenangkan.
Baca Filsafat Dayak Komprehensif, Buku Pertama di Bidangnya Diluncurkan di Sekadau
Pengalaman itu benar-benar terasa saat peluncuran dan bedah buku Filsafat Dayak yang diselenggarakan di kampus Institut Teknologi Keling Kumang, Sekadau, pada 20 Mei 2025.
Dalam acara yang berlangsung selama tiga jam itu, suasana intelektual menyatu dengan keceriaan khas komunitas Dayak.
Para peserta yang terdiri atas dosen, mahasiswa, pengurus yayasan pendidikan Keling Kumang, para pemuka masyarakat, cendekiawan lokal, hingga awak media; semuanya berperan-aktif dalam perbincangan yang hidup dan penuh antusiasme.
Peserta bukan hanya berdiskusi. Mereka juga menggumuli nilai-nilai mendalam dari kearifan lokal Dayak dalam bingkai filsafat, sambil menikmati momen kebersamaan yang inspiratif dan membangkitkan kesadaran akan kekayaan tradisi sendiri.
Filsafat berawal dari rasa heran dan dorongan untuk bertanya. filsafat tumbuh dari kegelisahan manusia menghadapi dunia, dari ketidakpuasan terhadap jawaban yang tersedia, dan dari hasrat untuk mencari makna terdalam atas segala sesuatu.
Meski demikian, berfilsafat kerap dianggap sebagai kegiatan kaum bijak, seolah terbatas bagi mereka yang hidup di menara gading, jauh dari hiruk pikuk kehidupan sehari-hari.
Filsafat awalnya dilakukan kaum elitis
Asumsi ini berakar pada sejarah filsafat itu sendiri, ketika pada masa Yunani kuno kegiatan berpikir kritis dan reflektif memang hanya dilakukan oleh kaum elite. Para filsuf merenungkan alam, menggugat hakikat, dan merumuskan prinsip-prinsip dasar keberadaan.
Baca Calon CEO Keling Kumang Ditempa Keterampilan Menulis di Rumah Panjang
Sementara itu, orang kebanyakan sibuk memenuhi kebutuhan dasarnya, nyaris tak punya waktu untuk merenung. Maka lahirlah ungkapan Latin yang terkenal: primo vivere, deinde philosophari—hidup dulu, filsafat kemudian.
Namun, bila direnungkan lebih jauh, filsafat bukanlah monopoli para cendekia. Ia adalah naluri alami manusia: bertanya, menggugat, dan mencari tahu. Justru karena kebutuhan paling dasar telah terpenuhi, manusia memiliki ruang untuk berpikir.
Dalam konteks inilah filsafat hadir sebagai upaya olah pikir yang paling hakiki, sebagai scientia. Yakni pengetahuan paling mendasar yang menyoal hingga akar.
Filsafat bukan sekadar soal definisi dan abstraksi. Filsafat adalah jalan menuju pemahaman lebih dalam atas hidup, atas kebenaran, dan atas kedudukan manusia di tengah semesta.
Di hadapan Tuhan Yang Mahaluas, manusia tetap terbatas, dan kebijaksanaan sejati hanya milik-Nya. Bahkan filsuf seperti Santo Augustinus mengakui: Scientia nostra, scientia tuae comparata; ignorantia: Pengetahuan manusia di hadapan Tuhan, tak ada apa-apanya.
Manusia yang berfilsafat sesungguhnya sedang mengakui keterbatasannya dan dalam proses itu, mendekati kebijaksanaan ilahi.
Baca "Dayak" as a Standardized Term: A Unifying Identity
Meski demikian, pengetahuan manusia bermanfaat banyak. Ia membuat kita mampu membedakan benar dan salah, baik dan buruk, terbatas dan tak terbatas. Dari sinilah lahir cabang filsafat yang disebut epistemologi, yaitu refleksi mendalam atas pengetahuan itu sendiri.
Epistemologi menyoal pertanyaan mendasar: apa yang membedakan pengetahuan yang benar dari yang keliru? Apa yang membuat suatu keyakinan dapat dibenarkan? Seperti dikemukakan oleh Francis Heylighen (1993): Epistemology is the branch of philosophy that studies knowledge. It attempts to answer the basic question: what distinguishes true (adequate) knowledge from false (inadequate) knowledge?
Pertanyaan-pertanyaan itu terasa semakin relevan di zaman ini. Indonesia sebagai bangsa tengah bergerak menuju masyarakat industri dan digital yang lebih kompleks. Namun, dalam kenyataan sosial hari ini, masih banyak yang berjuang memenuhi kebutuhan dasar. Dalam konteks itu, kegiatan berpikir reflektif dan kritis, termasuk filsafat, kadang terasa jauh dari realitas. Namun justru karena itulah penting menanamkan semangat berpikir mendalam sedari dini.
Filsafat sebagai mata kuliah
Beruntung, hampir semua perguruan tinggi di Indonesia telah memasukkan filsafat ilmu sebagai mata kuliah tersendiri.
Langkah ini bukan hanya penting untuk membentuk daya pikir kritis generasi muda, tetapi juga sebagai fondasi bagi lahirnya budaya ilmiah di lingkungan akademik.
baca Heran dan Bertanya: Pangkal Mula Filsafat
Hal yang penting dilakukan bukan sekadar hafalan teori, tetapi keberanian untuk menggugat, mempertanyakan, dan menyusun ulang pengetahuan dengan jujur.
Kita tidak sekadar mencetak lulusan, tetapi membentuk manusia yang berpikir, manusia yang sadar bahwa kebenaran tidak datang begitu saja, melainkan harus diperjuangkan melalui dialog, penelitian, dan perenungan.
Di sinilah filsafat hadir bukan sebagai kemewahan intelektual, melainkan sebagai kebutuhan manusiawi yang paling mendasar: memahami hidup, menguji pengetahuan, dan menapaki jalan bijak dalam keterbatasan kita sebagai manusia.
-- Rangkaya Bada