Tahap VI Pemilihan Paus | Tiga scrutineers Menghitung Saksama dan Membacakan "Eligo in Summum Pontificem"

kardinal, konklaf, paus, scrutineers, Kapel Sistina, Gereja Katolik, Calice, piala, eligo, Michelangelo, Eligo in Summum Pontificem, sede vacante

Eligo in Summum Pontificem
Ballot itu —yang tak disebut “kertas suara”— dilipat, dan ditaruh dalam sebuah Calice. Visualisasi by: AI.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA:   Di Kapel Sistina, di bawah langit buatan tangan Michelangelo. Para pangeran Gereja berkumpul. Dan menulis nama calon paus berikutnya setelah setidak-tidaknya 15 hari sede vacante, takhta Santo Petrus lowong; dan paus terdahulu, wafat. 

Tapi ini bukan tentang sekadar mencoblos dalam bilik suara. Ini bukan demokrasi dengan sorak dan baliho. Ini ritual. Ini upacara sakral yang nyaris tak berubah selama berabad-abad, mungkin lebih tua dari republik mana pun yang masih ada.

Baca Tahap V Pemilihan Paus | Pembagian Ballot (Surat Suara) dalam Sunyi

Para cardinal elector menulis dengan tangan yang telah dibaptis dalam keheningan. Menyisipkan nama di kertas yang sudah ditentukan redaksinya bertuliskan: Eligo in Summum Pontificem

Saya memilih sebagai Paus Tertinggi. Bukan “saya dukung,” bukan “saya jagokan.” Kata kerja di situ seperti doa dan keputusan ilahi sekaligus: eligo.

Ballot itu—yang tak disebut “kertas suara”—dilipat, dan ditaruh dalam sebuah cawan. Calice. Cawan tempat anggur sakramen. Di sana, suara menjadi tubuh Gereja. Di sana, kehendak manusia menyentuh kehendak Tuhan—atau barangkali, mencoba menyerupainya.

Baca Baca Tahap IV Pemilihan Paus | Promitto, Voveo ac Iuro - Sumpah Kardinal Mengikat Langit dan Bumi

Ada tiga scrutineers (panitia pelaksana pemungutan suara paus). Mereka bukan sekadar panitia. Mereka semacam notarius sakral, penjaga batas antara keputusan dan kekeliruan. Seorang membaca. Seorang mencatat. Seorang mengkonfirmasi. 

Para scrutineers bukan hanya menyebut nama, tapi seperti menyebut takdir. Satu persatu, pelan, tanpa tepuk tangan, tanpa sorak. 

Tiap nama kardinal yang ditulis sebagai calon paus, dibaca keras, tapi tanpa pengeras suara. Di ruang itu, suara manusia lebih berwibawa ketimbang mikrofon.

Setelah semuanya selesai dibaca, ballot itu—yang tak lagi sekadar kertas—dijahit. Ya, dijahit. Dengan benang. Ditembus jarum di huruf "Eligo". Di zaman drone dan algoritma, Gereja menjahit kertas suara dengan tangan. Tradisi ini absurd bagi yang percaya kecepatan adalah ukuran kebijaksanaan. Tapi bagi para kardinal itu, menjahit adalah pernyataan: bahwa segala keputusan besar harus dirawat dan dijaga utuh—bukan dipotong-potong menjadi opini minoritas yang menjerit di media sosial.

Baca Baca Kardinal

Jika tak ada satu pun yang meraih dua pertiga jumlah suara, proses diulang. Dua kali pagi. Dua kali sore. Tak ada kata “deadlock.” Yang ada: diam. Doa. Dan, tentu saja, asap.

Asap dari cerobong kapel bukan kebetulan. Ia dirancang sebagai bahasa. Jika hitam, artinya belum. Jika putih, artinya Paus baru telah lahir—dari rahim yang tak berwujud, dari kebulungan suara dan kesepakatan yang tak bisa dicapai lewat debat.

Asap itu mungkin satu-satunya tanda yang masih ditafsir seperti menafsir bintang: simbol yang tak berbicara dalam kata, tapi dalam isyarat. Di zaman segala sesuatu dibocorkan, diretas, dan ditweet, asap ini tetap rahasia.

Saya teringat Kafka. 

Kafka pernah menulis: “Segala sesuatu yang besar bersifat mistik.” Pemilihan Paus adalah salah satunya. Ia besar, karena pelan. Ia sakral, karena dirahasiakan. 

Baca Baca Mungkinkah Paus dari Timur?

Dan di zaman ketika politik adalah tontonan, konklaf adalah kesendirian yang tak bisa dilihat siapa pun—kecuali Tuhan.

Ballot dijahit. Suara dibakar. Tapi suara itu tak lenyap. Ia naik ke langit, dalam wujud asap, menuju yang tak bisa disentuh. Keputusan itu tak diumumkan. Ia dimunculkan.

Tanpa kata. Tanpa siaran langsung, tanpa juru bicara.

Dan kita, yang berdiri di bawah cerobong, menengadah.

Jakarta, 4 Mei 2025

LihatTutupKomentar