Tahap VIII Pemilihan Paus | Via Compromissi meski Suara Mayoritas belum Menyentuh 2/3
Ballot dimasukkan ke dalam piala. Repro: Masri Sareb Putra (2007, halaman 96). |
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA: Tak ada lonceng yang berdentang ketika suara pertama itu ditulis. Hanya sunyi. Dan pena.
Di dalam Kapel Sistina yang lukisan-lukisannya menggantungkan tubuh dan pengharapan, para kardinal menunduk, satu per satu, dan menulis sebuah nama. Bukan sembarang nama. Tapi nama yang, jika waktu hendak bergerak ke sana, akan dikenang oleh dunia sebagai Paus.
Baca Tahap VII Pemilihan Paus | Ketika Ballot Dibakar Mengepul Fumata Nera dan Fumata Bianca
Ada ritual yang begitu sederhana hingga nyaris tampak seperti prosedur biasa: ballot, secarik kertas, tulisan tangan. Lalu dilipat, dibawa ke altar. Tapi justru karena kesederhanaannya, ia menyimpan ketegangan yang tak tampak: adakah nama saya tertulis oleh tangan-tangan itu?
Mereka memilih dalam diam. Dua kali pada pagi hari, sekali pada sore. Tiga kali sehari, seperti waktu makan atau waktu salat. Tapi ini bukan perkara konsumsi atau sembahyang biasa. Ini perkara takdir. Dan juga perkara angka: dua pertiga suara dibutuhkan agar seorang dari antara kardinal dapat muncul ke jendela Basilika dan memperkenalkan diri kepada dunia dengan satu kalimat yang singkat dan tak bisa ditarik kembali: Saya Paus sekarang.
Tapi jika tiga hari berlalu tanpa satu pun nama mencapai batas itu, waktu akan berhenti sejenak.
Para kardinal diberi satu hari untuk merenung, berdoa, dan, untuk pertama kalinya dalam ritus itu, berbicara lebih terbuka. Tidak tentang strategi, tapi tentang kemungkinan.
Tidak tentang lobi, tapi tentang apa yang belum terucap: siapa sebenarnya yang paling sanggup memikul beban ini, bukan siapa yang paling diinginkan?
Baca Tahap V Pemilihan Paus | Pembagian Ballot (Surat Suara) dalam Sunyi
Kadang, bahkan sembilan kali mereka memilih, dan sembilan kali juga nama-nama itu tak membuahkan hasil.
Sejarah memperbolehkan para kardinal memilih jalan kompromi. Via compromissi, ia disebut: jalan tengah. Bukan dalam arti kompromi politik seperti yang kita kenal hari ini: penuh perhitungan dan kepentingan. Tapi dalam arti kerelaan untuk mengakui: ada seseorang yang selalu hampir terpilih, dan barangkali ia memang yang dikehendaki.
Maka aturan bisa sedikit dibengkokkan. Untuk memberi tempat bagi kenyataan yang sudah berulang: suara mayoritas itu tak bisa diabaikan, walau belum menyentuh dua pertiga.
Baca Papabili
Di dunia luar, kita menunggu tanda: asap hitam atau asap putih. Tapi di dalam Kapel Sistina, yang terjadi lebih rumit dari sekadar warna. Ia adalah percampuran antara bisikan Roh Kudus dan bisik-bisik batin manusia. Antara harapan kolektif dan ketakutan personal. Antara tradisi dan kebutuhan zaman.
Jika suatu hari Anda melihat asap putih, ingatlah. Itu bukan asap dari kemenangan, melainkan dari kesepakatan yang paling sulit dicapai. Kesepakatan yang lahir dari kesunyian, dari pengakuan bahwa kadang yang terbaik bukan yang paling kuat, tapi yang paling diakui oleh hati banyak orang, berulang kali, tanpa harus berteriak.
Jakarta, 4 Mei 2025