Prof. Dr. H. Rizali Hadi dan Masri Sareb Putra : Saling Bertukar Buku Ciri Dua Akademisi Jika Bertemu
Prof. Dr. H. Rizali Hadi (kanan pembaca) dan Masri: saling bertukar buku, tanda cendekia. |
Jika dua penulis dan akademisi bertemu, apa yang mereka lakukan? Tak hanya bertukar sapa atau berbincang santai. Mereka akan bertukar buku, pengikat ilmu.
๐ DAYAK TODAY | PONTIANAK: Di kalangan intelektual, pertemuan kerap menjadi ruang berbagi gagasan, bertukar perspektif, dan tentu saja, saling memberikan karya tulis.
Itulah yang tergambar dalam pertemuan hangat antara Prof. Dr. H. Rizali Hadi, M.M., akademisi asal Banjarmasin, dan Masri Sareb Putra, M.A., peneliti kebudayaan Dayak dan penulis yang telah menerbitkan lebih dari 200 judul buku ber-ISBN yang beberapa di antaranya menang sayembara.
Bertukar buku
Pertemuan keduanya berlangsung di Pontianak, di sela-sela pelaksanaan Musyawarah Nasional (Munas) II Ikatan Cendekiawan Dayak Nasional (ICDN), pertengahan Mei lalu. Dalam forum yang mempertemukan para pemikir, peneliti, dan tokoh-tokoh Dayak dari berbagai penjuru, Rizali dan Masri justru saling memberi “oleh-oleh” berupa karya tulis mereka.
๐ Baca juga: Cornelis Soroti Urgensi Pengendalian Inflasi dan Cadangan Devisa di Paripurna DPR
Prof. Rizali Hadi menyerahkan bukunya yang berjudul Pedagang dan Pejuang: Menyingkir Mencari Kehidupan Baru.
Buku ini merekam kisah para pedagang dan kelompok masyarakat yang harus berpindah tempat, membangun kehidupan baru di wilayah pesisir Kalimantan Selatan akibat tekanan sosial, politik, dan ekonomi.
Rizali mengemas narasi historis ini dengan pendekatan sosiologis dan kultural, menggambarkan bagaimana perdagangan tidak hanya soal transaksi, tetapi juga perjuangan eksistensial.
Sebagai balasan, Masri Sareb Putra menyerahkan sebuah makalah ilmiah yang ditulis bersama Dr. (H.C.) Cornelis, M.H., berjudul Eksploitasi Dayak dari Masa ke Masa. Makalah ini menelusuri jejak panjang eksploitasi terhadap masyarakat Dayak, mulai dari zaman kolonial Belanda, eksploitasi pada masa Orde Baru melalui proyek transmigrasi dan izin konsesi besar-besaran, hingga tekanan ekonomi dan ekologis akibat industri ekstraktif modern seperti sawit dan tambang.
“Buku bukan sekadar oleh-oleh akademik. Ini cara kami berbicara lebih dalam, tanpa harus mengangkat suara,” ujar Masri, yang juga menjadi penggagas forum literasi Dayak.
Rizali Hadi, Akademisi Bakumpai Penulis Perdagangan dan Dakwah
Prof. Rizali Hadi bukan nama baru di dunia akademik Kalimantan. Ia adalah dosen senior di Universitas Lambung Mangkurat, dan dikenal sebagai pemikir yang membumi.
๐ Baca juga: Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah: Ini Bukti Ilmiah Uji-karbon 40.000 Tahun Silam
Hal yang menarik adalah bahwa Rizali berasal dari suku Dayak Bakumpai, salah satu subsuku Dayak yang mendiami daerah aliran sungai di Kalimantan Selatan, dengan ciri khas sebagai pelaut, pedagang, dan pejuang yang adaptif terhadap perubahan zaman.
Selain menulis esai-esai kehidupan sehari-hari dalam buku Ada Satu Kesah dan serial satire dan pernak pernik kehidupan manusia keseharian.
Rizali juga menulis buku sejarah penting berjudul Perdagangan Menjemput Muhammadiyah di Katingan (2018, ISBN: 978-602-6381-79-8).
Buku ini menggambarkan bagaimana jalur perdagangan menjadi saluran efektif penyebaran ajaran Muhammadiyah di wilayah Katingan, Kalimantan Tengah. Perdagangan, dalam konteks ini, bukan hanya perpindahan barang, tetapi juga menjadi sarana dakwah, pendidikan, dan transformasi sosial.
Menariknya, buku tersebut diterbitkan oleh Masri Sareb Putra, yang sejak lama aktif menerbitkan karya-karya penting terkait kebudayaan, sejarah, dan peradaban Kalimantan. Kolaborasi dua tokoh ini menggambarkan bahwa kerja intelektual bisa melampaui batas universitas dan menjadi jembatan antara pengetahuan lokal dan arus global.
Sejauh ini, Prof. Rizali telah menulis dan menerbitkan lebih dari 10 buku ber-ISBN yang tersebar dalam berbagai bidang kajian sosial, budaya, dan sejarah. Sementara Masri Sareb Putra, yang sejak 2014 hidup dari “makan buku”, telah menulis dan menerbitkan 218 buku ber-ISBN.
Bagi Masri, menulis bukan hanya profesi, melainkan jalan hidup dan cara berkontribusi bagi peradaban Dayak dan Indonesia.
๐ Baca juga: Cornelis Sounds the Alarm: Protect West Kalimantan’s Credit Union Movement
Pertemuan Rizali dan Masri menjadi simbol penting bahwa kerja intelektual tidak hanya milik ruang akademik formal, melainkan juga tumbuh di akar budaya dan sejarah.
Dalam sunyi pertukaran buku itu, ada percakapan mendalam yang tak terucap, tentang masa lalu yang harus ditulis, masa kini yang harus dikritisi, dan masa depan yang harus diperjuangkan.
-- Rangkaya Bada