Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (22)
Orang-orang Hakka di Sanggau sebuah novel sejarah. Ilustrasi:Matius Mardani. |
🌍 DAYAK TODAY | SANGGAU : Tampun Juah malam itu menjadi saksi kekuatan yang tak terlihat, namun nyata. Tanah itu berbisik kepada dunia: siapa pun yang berani melawan alam akan binasa oleh kekuatan yang tak pernah mereka pahami.
Ketika kemudian tuak pati disajikan di altar leluhur, suasana semakin mencekam.
Para roh leluhur hadir, mengawasi dengan tatapan tajam. Ketegangan menggantung di udara, seperti awan gelap yang menunggu hujan turun. Pati nyawa mulai mengalir, dan darah tumpah dari mereka yang datang untuk menerima hukuman mereka.
Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau (21)
"Ini adalah harga yang harus dibayar," suara roh-roh leluhur menggema, mengguncang jiwa mereka yang hadir. "Darah ini akan menjadi cermin dari setiap tindakan kita."
Tanah Sangao, yang kemudian hari dijuluki “bumi Dara Nante” namun lupa atau bahkan sengaja untuk tidak menyandingakannya dengan Babai Cinga, mulai pulih, namun bukan tanpa harga. Setiap tetes darah yang tumpah, setiap pengorbanan yang dilakukan, adalah cermin dari kehidupan itu sendiri.
Kehidupan adalah perjalanan yang penuh dengan pilihan, yang memiliki konsekuensi yang jauh lebih besar daripada yang dapat dibayangkan. Jika manusia lupa akan hal ini, mereka akan kembali ke tempat yang lebih gelap, lebih sunyi, lebih hampa —seperti tanah yang kering, yang tak pernah ditanami lagi.
Baca Orang-Orang Hakka di Sanggau - Sebuah Novel Sejarah Bercatatan Kaki by Masri Sareb Putra (1)
Kehidupan adalah cermin dari setiap langkah
yang diambil. Jika kita menghancurkan tanah ini, kita akan menghancurkan diri
kita sendiri. Jika kita menjaga tanah ini, kita akan menjaga kehidupan itu
sendiri. Namun, untuk menjaga tanah ini, kita harus memahami bahwa segala
sesuatu berharga, dan setiap pengorbanan adalah harga yang harus dibayar.
6
Batas Dunia
Di hadapannya, gua Tampun Juah tampak menakutkan, seolah menanti untuk mengungkapkan rahasia yang tersembunyi selama berabad-abad. Tidak ada suara selain embusan angin yang membawa aroma bumi yang telah berusia ribuan tahun.
Di sanalah, di ujung dunia ini, setiap detik berjalan berbeda. Bagi mereka yang tak paham, gua ini hanyalah gua biasa, namun bagi Babae Cinga dan mereka yang memiliki ilmu madra-guna, ini adalah tempat yang penuh dengan energi tak terlihat —seutas titian jalan menuju kekuatan yang tak terjangkau oleh kebanyakan orang.
Dengan langkah tenang, ia mencoba masuk, mengikuti suara batinnya yang sudah terlatih. Kegelapan menyelimuti, tetapi Babae Cinga merasakan setiap detil di dalamnya, dari tiap tiupan angin yang berbisik, hingga setiap aliran energi yang bergerak di sekitar dirinya. Sebuah perjalanan yang tak hanya melintasi ruang, namun juga waktu.
Sungai Sekayam[1] mengalir di luar gua, sebuah aliran air yang tampak biasa bagi orang-orang sekitar. Namun bagi mereka yang memiliki pemahaman lebih dalam, air itu bukan hanya sekadar cairan yang mengalir menuju muaranya yaitu Sungai Kapuas. Sungai ini adalah lorong waktu, sebuah saluran tak terlihat yang menghubungkan dimensi berbeda. (Bersambung)
Catatan kaki:
[1] Sungai Sekayam, terutama di Sanggau, berperan yang sangat penting dalam sejarah, bukan hanya sebagai bentang geografis, tetapi juga sebagai titik awal narasi sejarah yang tertulis. Di muara Sungai Sekayam, yang bermuara di Sungai Kapuas, tercatat awal mula berdirinya Kerajaan Sanggau. Wilayah ini menjadi saksi penting transformasi politik dan budaya, di mana pusat kekuasaan berpindah dari muara Sungai Mengkiyang menuju ke hulu Muara Sungai Sekayam. Proses ini mencerminkan dinamika masyarakat lokal dan pentingnya jalur sungai sebagai pusat peradaban dan mobilitas.
Selain itu, Sungai Sekayam juga memainkan peran penting dalam sejarah migrasi orang Iban. Seperti dicatat oleh Ballai (1967), Mengkiang menjadi titik penting dalam konteks migrasi orang Iban dari Tampun Juah, Sekayam Hulu.
Dari muara Sungai
Sekayam, orang Iban memulai migrasi ke arah kiri Sungai Kapuas—proses yang
dikenal sebagai "kibak." Jalur migrasi ini membawa mereka ke berbagai
wilayah penting, termasuk Hulu Sanggau, Sekadau, Sintang, dan Kapuas Hulu.
Jalur ini bukan hanya menunjukkan pola perpindahan populasi tetapi juga
menyiratkan penyebaran tradisi, budaya, dan interaksi antar kelompok etnis di
sepanjang aliran sungai yang kaya akan sejarah tersebut.