Sawit, Angka, dan Hutan (Dayak) yang Hilang

sawit, minyak, lemak. nabati, Borneo, Sumatra, Papua, hingga Afrika Barat, kelapa , kedelai, Dayak, hutan, deforestasi

Sawit, Angka, dan Hutan yang Hilang
Dunia kini tunduk pada satu jenis minyak: sawit. Dok. penulis.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA: Di balik aroma gorengan pagi dan kilau margarin di roti anak sekolah, dunia bergerak pelan-pelan. 

Digerakkan oleh cairan-cairan tak bernama yang menyusup ke hampir setiap rumah tangga, setiap pasar, setiap produk industri. 

Minyak. Lemak. Tak bersuara, tapi menentukan.

Tunduk pada satu jenis minyak: Sawit

Menurut Oil World Annual Vol. 1 -2023/4, pada tahun 2003/2004, ketika dunia belum sepenuhnya dikuasai oleh algoritma dan platform digital, produksi global minyak dan lemak berada pada angka 130,8 juta ton. 

Baca Dayak dalam Pusaran Industri Minyak Sawit Dunia yang kian Meningkat

Kala itu dunia belum sepenuhnya tunduk pada satu jenis minyak. Sawit, meski mulai diperhitungkan, hanya mencatatkan 23,1 persen. Kedelai masih berada sedikit lebih tinggi: 23,5 persen. Ada semacam keseimbangan, atau mungkin ketidaktahuan, tentang siapa yang kelak akan memimpin. 

Minyak lobak (11,1 persen), bunga matahari (7,3 persen), dan kelompok kecil yang terdiri dari minyak inti sawit dan kelapa (4,9 persen) turut bermain dalam orkestra sunyi itu. Sementara itu, kategori luas dan tak terdefinisi —“minyak dan lemak lainnya”—mengisi 30,1 persen panggung, memberi tempat bagi keragaman yang perlahan-lahan mulai menghilang.

Dua puluh tahun kemudian, dunia menjadi lebih panas, lebih penuh, lebih lapar. 

Baca Pidato Prabowo Terkait Ekstensifikasi Sawit bagi Perusahaan dan Harapan bagi Petani Sawit Mandiri

Tahun 2023/2024 mencatat lonjakan besar: 259,8 juta ton minyak dan lemak diproduksi. 

Lonjakan itu bukan hanya soal jumlah. Ia juga bicara tentang dominasi. 

Sawit kini menjadi semacam monarki: 31,5 persen dari seluruh produksi global. 

Hutan yang hilang

Dari sebuah tanaman tropis, tumbuh di ladang-ladang basah di Borneo, Sumatra, Papua, hingga Afrika Barat, sawit menjelma menjadi penguasa senyap rantai pasok dunia.

Kedelai, yang sempat memimpin, turun sedikit ke 23,9 persen. Masih besar, tapi kini bukan lagi raja. Minyak lobak naik menjadi 12,1 persen, dan bunga matahari —dengan ladang-ladang kuningnya yang menyala di Eropa Timur— menyumbang 9 persen. 

Minyak inti sawit dan kelapa

Minyak inti sawit dan kelapa —yang lebih dekat dengan kampung dan kebiasaan tropis— tinggal 4,5 persen. Sementara itu, “yang lainnya”, sekali lagi, mengalami penyusutan dramatis: dari 30,1 persen menjadi 19,1 persen. 

Sebuah tanda zaman: bahwa keragaman makin sempit, dan beberapa jenis minyak kini mengambil tempat utama dalam narasi pangan dunia.

Baca Dampak Fluktuasi Harga Minyak Nabati dan Sawit bagi Petani Dayak di Kalimantan

Tetapi ini bukan sekadar pergeseran angka. Ini cerita tentang tanah yang berubah menjadi ladang tak henti-henti. Hutan-hutan yang dibuka. 

Sungai-sungai yang dibelokkan. Keringat petani kecil yang bersaing dengan modal besar. Dan konsumsi global yang tumbuh lebih cepat dari yang bisa dikejar produksi. Dunia ini bukan hanya memakan makanan, ia juga memakan dirinya sendiri.

Kepentingan pasar dan tanggung jawab ekologis

Kita hidup di zaman di mana produksi tak lagi bisa hanya dikejar. Harus dikelola. Diperhitungkan. Industri minyak dan lemak kini berada dalam posisi genting: harus menyeimbangkan antara pertumbuhan dan keberlanjutan. Antara kepentingan pasar dan tanggung jawab ekologis. Antara kebutuhan hari ini dan napas panjang hari esok.

Ini semacam puisi yang belum selesai. Setiap tetes minyak adalah narasi tentang dunia yang ingin terus berjalan: cepat, efisien, dan penuh pilihan. Tapi juga tentang dunia yang mungkin, pelan-pelan, kehilangan kemampuannya untuk memilih.

Seperti esai yang terlalu panjang, dunia ini butuh jeda. Butuh titik koma. 

Butuh waktu untuk bertanya ulang: siapa yang memimpin, dan ke mana semua ini mengarah. Sebab dalam tetes-tetes kecil itu, terkandung seluruh drama zaman. 

Drama yang tak hanya soal angka dan persen, tapi soal masa depan yang masih bisa ditulis—jika kita berani berhenti sejenak dan mendengarnya.

Jakarta, 24 April 2025

LihatTutupKomentar