Konklaf Hari Pertama di Vatikan

Konkklaf, paus, kardinal, basilika, Santo Petrus, kapel, Sitina, Michelangelo, veni Creator Spiritus, sumpah, Gregorian, litani,

Konklaf Hari Pertama di Vatikan
Konklaf diawali Misa di basilika Santo Petrus dolanjutkan prosesi ke Kapel Sistina. Visual by AI.


🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA: 7 Mei 2025 terasa waktu yang lama. Ketika itulah detik seakan berhenti. Dunia mengerahkan pandangnya ke Basilika Santo Petrus, kemudian Kapel Sistina.

Jam-jam tak lagi dicatat dengan detik, melainkan dengan diam.
Angin pagi menyusup lembut di antara pilar dan jubah merah tua.
Suara Litani bergema seperti dari lorong waktu. Sementara di langit Roma, kabut menyerah perlahan pada cahaya.

Konklaf hari pertama

Konklaf Hari Pertama segera akan sudah dimulai.
Bukan sekadar pemilihan. Ini ziarah batin yang disembunyikan protokol.

Baca Kekuasaan dalam Konklaf | Memilih Servus Servorum Dei

Yang terbakar bukan hanya lilin. Tapi juga hati yang diam-diam berdoa.

Pagi turun perlahan di Vatikan. Sebuah pagi yang berbeda—bukan sekadar penanda hari, melainkan permulaan dari sesuatu yang telah ditulis dalam sejarah, dalam doa, dalam kemungkinan surga dan dunia yang saling bersilang.

Di bawah langit yang bersih dan hening, Basilika Santo Petrus berdiri dengan kekokohan abadinya. Hari itu, ia bukan hanya bangunan, melainkan rahim yang menampung kegelisahan dan harapan Gereja yang sedang menunggu seorang Bapa baru.

Baca Papabili

Di dalamnya, altar tinggi diterangi cahaya matahari yang menembus kaca-kaca suci.

Dan di hadapannya, para kardinal duduk dalam keheningan.
Jubah merah tua mereka adalah tanda, bukan hanya dari martabat, tapi juga luka dan darah dari sejarah panjang Gereja.

Kidung Gregorian

Tak ada suara selain kidung Gregorian yang melayang di udara.
Seolah dunia luar mengecil, dan hanya tersisa ruang ini—yang tidak memerlukan waktu, karena ia diresapi kekekalan.

Baca Mungkinkah Paus dari Timur?

Misa Konselebrasi pun dimulai.
Kata demi kata, doa demi doa, dilantunkan bukan untuk menyentuh telinga, melainkan hati yang telah lama diasah oleh doa dan diam.
Tak ada pidato, tak ada ambisi. Yang ada hanya sebuah persetujuan diam-diam: bahwa kekuasaan harus tunduk pada kekudusan.

Selesai misa, para kardinal bangkit.
Prosesi dimulai—langkah demi langkah melintasi lorong panjang Basilika, menuju Kapel Sistina.

Langkah mereka berat, bukan karena usia, tapi karena beban sejarah dan tanggung jawab ilahi.

Litani Para Kudus dinyanyikan

Dari balik pilar-pilar megah, suara umat dan petugas liturgi berseru, memanggil nama-nama para kudus, seakan menghidupkan kembali mereka untuk menyertai perjalanan ini.

Petrus, Paulus, Yakobus, Andreas …
Semua dipanggil untuk mengingatkan bahwa Gereja dibangun bukan oleh kekuasaan, tetapi oleh kesetiaan.

Kapel Sistina menanti dalam keheningan.

Lukisan Michelangelo menggantung di atas mereka seperti nubuatan.
“Pengadilan Terakhir” bukan sekadar karya seni, tetapi pengingat bahwa semua pilihan, termasuk memilih Paus, akan dipertanggungjawabkan—jika bukan di dunia, maka di hadapan Tuhan.

Para kardinal berdiri.
Tidak seorang pun berbicara.
Mereka menyanyikan lagu kuno: “Veni Creator Spiritus.”
Doa dalam bentuk nyanyian, memohon agar Roh Pencipta datang, menuntun, memberi terang pada hati yang mungkin masih gelap oleh ambisi dan perhitungan.

Baca Kardinal Richelieu

Suara para kardinal rendah. Namun dalam ketidaksempurnaannya, justru terasa suci.

Kemudian, Ketua Dewan Kardinal melangkah ke depan altar kecil.
Di tangannya, kitab suci.
Ia mengucapkan sumpah.
Satu per satu, para kardinal maju.
Tangan mereka diletakkan di atas Injil, dan dengan suara yang pelan tapi pasti, mereka mengucapkan janji:

“Et ego, Cardinalis N., promitto, voveo ac iuro…”
(Dan saya, Kardinal N., berjanji, bersumpah, dan menyatakan...)

Dalam sumpah itu, mereka menanggalkan dunia.
Dan konklaf dimulai.

Di balik dinding-dinding tebal Kapel Sistina

Di balik dinding-dinding tebal Kapel Sistina, dunia kini tidak tahu apa yang terjadi.

Namun satu hal pasti: di dalam ruang itu, manusia tengah berupaya sebaik mungkin untuk mendengar suara Tuhan—dalam kesunyian yang tak pernah benar-benar sunyi.

Jakarta, 2 Mei 2025

LihatTutupKomentar