Kekuasaan dalam Konklaf | Memilih Servus Servorum Dei

Servus servorum Dei, paus, kardinal, Gereja Katolik, Habemus Papam, Roma, fanfare, Kapel Sistina, Petrus, Vatikan, Roma, Katolik

Kekuasaan dalam Konklaf | Servus Servorum Dei
Paus: kuasa untuk melayani dan mengabdi: Servus servorum Dei by AI.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA: Kekuasaan, dalam konklaf, bukan sesuatu yang direbut—melainkan sesuatu yang ditanggungkan. 

Paus bukan raja, tapi pemikul. Ia tak memerintah dengan pedang atau undang-undang, melainkan dengan lambang dan diam. 

Takhta Petrus, yang konon berasal dari seorang nelayan yang menyangkal gurunya tiga kali sebelum menjadi batu fondasi, adalah kekuasaan yang dibangun di atas keraguan, luka, dan pengampunan.

Baca Segelintir Kardinal Berpengalaman dalam Konklaf Sepanjang Sejarah

Itulah paradoksnya: kekuasaan tertinggi di Gereja Katolik lahir bukan dari superioritas mutlak, melainkan dari sebuah kehendak untuk melayani. 

Servus servorum Dei

Servus servorum Dei: Abdi dari para hamba Allah. Julukan yang gemetar, sebab ia menuntut yang terpilih untuk meninggalkan dirinya sendiri. 

Dan mungkin karena itulah, mereka yang duduk dalam konklaf kerap menunduk, bukan mendongak. Mereka memilih, tapi juga melepaskan. Mereka berbicara, tapi juga berdoa.

Dalam dunia yang hiruk dan cepat, konklaf adalah lambat. Dalam dunia yang terbuka dan bising, konklaf adalah tertutup dan tenang. Seolah Gereja, melalui ritual ini, sedang berkata: tidak semua yang penting harus cepat, tidak semua yang benar harus populer. Kadang, yang abadi justru bersembunyi di balik keterlambatan dan kesunyian.

Baca 80 Tahun Ketika Usia Mendepak para Santo

Dan mungkin, dalam keheningan Kapel Sistina itu, para kardinal sebenarnya sedang memilih bukan hanya seorang Paus, tetapi wajah masa depan Gereja. Wajah yang tak pernah bisa sepenuhnya diprediksi, karena ia harus memuat paradoks antara kemapanan dan pembaruan, antara ortodoksi dan cinta.

Dan akhirnya, asap putih itu pun naik. Perlahan, nyaris ragu, seperti napas yang baru saja dihela setelah menahan waktu.

Habemus Papam

Asap putih yang menembus langit Roma, menandai bahwa sebuah keputusan telah lahir, bukan dalam gegap gempita, tapi dalam bisik-bisik nurani dan napas panjang sejarah.

Baca Mungkinkah Paus dari Timur?

Tak ada teriakan. Tak ada fanfare. Hanya sekelumit kalimat: Habemus Papam. 

Kita memiliki seorang Paus. Tapi bahkan kalimat itu pun tak menjelaskan segalanya. Sebab Paus bukan hanya nama baru di daftar panjang penerus Petrus. Ia adalah simbol dari kesepakatan yang tak sepenuhnya rasional, dari misteri yang tak bisa dibedah oleh logika belaka. Ia adalah tanda bahwa, setidaknya kali ini, para manusia tua dalam jubah merah itu telah setuju untuk berharap lagi.

Dan mungkin, sebagaimana dalam puisi yang baik, makna dari semuanya bukan terletak pada apa yang dikatakan, melainkan pada jeda. Pada diam sebelum nama disebut. 

Baca Papabili

Pada waktu sebelum jendela balkon dibuka. Pada saat itu, yang hanya sekejap, kita menyadari: dunia menanti bukan siapa yang terpilih, tapi apa yang dibawa dari balik pintu tertutup itu. 

Sebuah arah. Atau setidaknya, secercah cahaya dari sebuah ruang yang terus mencoba percaya bahwa Roh Kudus masih menari dalam ketidakpastian.

Jakarta, 2 Mei 2025

LihatTutupKomentar