Iklan dari Surga Fridolin Ukur

Fridolin Ukur, Sekolah Tinggi Teologi (Hoogere Theologische School), sastrawan, Kristen, Dayak, H.B. Jassin, Horison, Gunung Mulia, Tantang Djawab

 

Fridolin Ukur
Fridolin Ukur. Dok. LLD.

🌍 DAYAK TODAY  | SEKADAU: Fridolin Ukur, sosok yang dijuluki kardinal sastra Indonesia, diabadikan oleh Korrie Layun Rampan dan Masri sebagai pelopor sastrawan Dayak dalam khazanah sastra Indonesia (Sastrawan Dayak: Karya & Dunianya, 2019). 

Lahir di Tamiang Layang, Kalimantan Tengah, pada 5 April 1930, Ukur adalah anak ketiga dari lima bersaudara pasangan Merry dan Christian Ukur. Sebagai kakak, ia terpaksa dewasa lebih cepat, belajar mandiri sembari mengayomi adik-adiknya. 

Baca Prof Nina Yulianti, Jejak Langkah Perempuan Dayak di Panggung Internasional

Masa kecilnya dihabiskan seperti anak-anak lain di kampungnya: membantu orang tua di ladang. Namun, di sela kesibukan itu, Ukur tetap setia dengan buku dan tulisan. 

Koleksi buku ayahnya, mulai dari terbitan Pakat Dayak tentang politik dan budaya, hingga karya-karya tentang Bung Karno, ia lahap dengan penuh semangat, menunjukkan jiwa intelektualnya yang mulai bersinar.

Pada 1950, Ukur merantau ke Jakarta untuk menempuh pendidikan di Sekolah Tinggi Teologi (Hoogere Theologische School). Uniknya, saat itu ia juga seorang militer. Ia kerap kuliah dengan seragam tentara lengkap, sebuah pemandangan yang tak biasa. Namun, pada Desember 1950, ia memilih meninggalkan dunia militer untuk fokus pada panggilan lain. 

H.B. Jassin, tokoh besar sastra Indonesia, mengakui bakatnya dengan memasukkan karya-karya Ukur dalam antologi Angkatan ’66 Prosa dan Puisi (1968). 

Kumpulan khotbahnya yang puitis, Iklan dari Surga (1980), terbitan Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, berhasil memikat hati pembaca dengan keindahan dan kedalaman maknanya.

Baca Cornelis Mengaum di Mimbar Forum Munas II ICDN dan Bongkar Eksploitasi Borneo Masa ke Masa

Ukur juga aktif sebagai pimpinan redaksi majalah Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), tempat ia memublikasikan puisi-puisinya dengan nama samaran Eff Serau. Pada 1952, ia mewakili Pemuda Kristen Indonesia dalam Konferensi Pemuda Kristen Sedunia di Travancore.

Karya-karya keagamaannya, khususnya dalam ranah Kristen, cukup banyak. Beberapa yang bernuansa sastra meliputi Malam Sunyi (1961), Darah dan Peluh (1962), Belas Tercurah (1980), dan Wajah Cinta (2000), yang diterbitkan khusus untuk merayakan ulang tahunnya yang ke-70. Puisi-puisinya, seperti “Wajah Cinta”, “Malam pun Patah”, dan “Peristiwa Malam”, turut dipilih Korrie Layun Rampan untuk antologi Kristen dalam Sastra Indonesia dan dibahas dalam majalah Horison-Kakilangit (Desember 2005).

Buku tentang Ukur bukan sekadar biografi, melainkan rekonstruksi kehidupan sosial masyarakat di masanya. Khotbah-khotbahnya dalam acara "Mimbar Protestan TVRI" yang ia pandu begitu mendalam, memadukan unsur filosofis dan puitis. Ia juga mengguncang dunia antropologi budaya lewat Tantang Djawab Suku Dayak (1971), terbitan BPK Gunung Mulia. 

Baca Bagaimana Dayak Mengubah dan Melawan Dominasi Oligarki

Dalam buku ini, Ukur mengupas asal-usul, penggolongan, dan persebaran etnis Dayak, mengembangkan gagasan dari monograf kontrolur Hindia Belanda, Malincrodt.

Sebagai sastrawan, Ukur produktif menghasilkan puisi. Kumpulan puisinya, seperti Malam Sunyi (1961) dan Wajah Cinta (2001), menunjukkan kepekaannya dalam merangkai kata. 

Mari kita nikmati sepotong keindahan puisi karyanya. 

Fridolin Ukur
WAJAH CINTA

Sangat sederhana
bila malam ini kita tersihir
oleh kisah lembut penuh syahdu
tentang dara yang melahirkan dalam kesucian
tentang bayi kecil di palungan sederhana

Sangat dangkal
jika perayaan ini hanya memukau kita
dalam alunan doa dan nyanyian rindu
tentang malaikat, domba, dan para gembala

Aku akan menolak
khotbah-khotbah elok tentang surga
yang hanya melarutkan dalam mimpi kosong
yang memesona namun tak berarti

Aku akan menentang
cerita iman yang lupa pada kasih sesama
tutur khidmat yang hanya bergema di ruang hampa
tenggelam dalam kemunafikan yang kelabu

Sebab Dia
yang malam ini hadir menyapa
menjelajahi dunia, mencari kita
memilih sudut paling sepi
saat terdampar di tikungan malam
tersungkur di kandang hewan

Sebagai bayi tanpa rumah
ia merengkuh dada sang ibu
menghirup udara penuh aroma kotoran domba

Dalam kesetiaan tulus
ia tinggalkan kemuliaan suci
masuk ke dunia penuh derita
memeluk bumi yang ternoda

Begitu akrab dengan kemiskinan
begitu dekat dengan kepapaan
walau kaya, ia memilih menjadi miskin
agar kita kaya melalui kemiskinannya

Dalam dirinya
tersirat wajah cinta sejati!

Fridolin Ukur
MALAM PUN PATAH

Di atas tumpukan sampah
kami dirikan kemah-kemah
dari plastik usang, koran bekas, dan karton lapuk

Di bawah jembatan
kami buka malam
diterpa dingin, badai, dan topan

Di atas tikar sobek
kami jalani hidup, larut dalam duka
yang tak pernah reda

Di sudut kota paling pengap
tak ada tempat untuk bernaung
di daerah kumuh yang kelam

Keseharian kami adalah lapar
yang mencengkeram tanpa henti

Konon, ketika Kau memilih
nista yang paling hina dalam kebebasan
ketika Kau dengan setia
memilih kandang sebagai tempat singgah

Malam pun patah
malam tak lagi buntu!

Biar bulan tak seindah dulu
ada bintang yang berkedip ramah
menyapa hidup yang layu
tersungkur dalam debu

Ada ketulusan yang menyentuh jiwa
lembut, penuh kasih
sentuhan persahabatan
membawa harap akan kebaikan dan keadilan!

Cipayung Jaya, Desember 1985

Fridolin Ukur
PERISTIWA MALAM

(i)
Betapa dunia ini tergila-gila
meraikan keperkasaan, memuji keelokan
inilah potret wajah bumi!

Sementara lagu dan suara bergema
ada raungan manusia yang menderita
dalam genangan darah yang tercecer
menghantui mimpi mereka yang tak berdaya

Kecupan musim yang indah
tak lagi punya makna
hangat musim kemarau
sejuk udara di musim hujan

Semua hanya menumbuhkan kekecewaan
derita terus berlanjut
seperti tak pernah usai

Bumi kami adalah bumi bencana
bermusim tangis tanpa tawa
rusaknya keindahan dalam keterasingan
inilah keluh dunia yang tak pernah bertepi

(ii)
Rindu yang membara di dada Hawa
sejak ia malu pada ketelanjangannya
keluh lirihnya mengalir di nadi
pengembaraan manusia di bawah matahari

Antara lara dan janji
pada pemulihan semesta
kebeningan cinta yang suci
telah lama memudar, menyusut
terdesak ke sudut paling kelam
terlunta dalam petualangan yang menua

Datanglah peristiwa malam ini
membelah dunia yang gelap
mimpi dan kenyataan yang saling cemburu
cahaya dan kelam yang saling memburu
berjumpa malam ini
dalam pelukan perdamaian
tak ada lagi rahasia yang membisu!

(iii)
Dalam peristiwa malam ini
jantung semesta terbedah
pilu yang abu, lara yang membusuk, punah sudah

Ada denyut baru: denyut cinta!
Ada darah baru: darah keadilan!

Horison, No. 12, Th. XXXIX, Desember 2005

-- Catatan oleh Masri Sareb Putra

LihatTutupKomentar