Literasi Dayak di Era Disrupsi : Melek Belajar dalam Segala Hal terutama Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Dayak, literasi, Alvin Toffler, Era Disrupsi, Pararaton, Bakulapura, Borneo, Nagarakertagama, Tanjungpura, Tanjungpura, huwus

Literasi Dayak di Era Disrupsi: learn how to learn. Visualisasi by Grok.

🌍 DAYAK TODAY  | JAKARTA: Literasi bukan sekadar kemampuan membaca dan menulis, melainkan sarana peradaban untuk mempertahankan jati diri, menggali akar sejarah, dan mengukir masa depan.

Alvin Toffler, seorang futurolog dan pemikir terkemuka, pernah menyatakan dengan tajam:

"The illiterate of the future will not be the person who cannot read. It will be the person who does not know how to learn."
(“Orang yang buta huruf di masa depan bukanlah mereka yang tidak bisa membaca, melainkan mereka yang tidak tahu bagaimana belajar.”) dikutip dalam Menumbuhkan Minat Baca Sejak Dini oleh Masri Sareb Putra (2008:9).

Melek Literasi di Era Disrupsi

Pernyataan Toffler semakin relevan di tengah perubahan zaman yang serba cepat. Di era digital dan disrupsi teknologi seperti sekarang, literasi tidak lagi cukup dimaknai sebatas kemampuan membaca dan menulis. Literasi telah bergeser menjadi kemampuan untuk terus belajar, menyaring informasi, dan membentuk pemahaman yang kritis terhadap dunia yang terus berubah.

Baca Events that Mark Important Historical Milestones for the Dayak from 1957 to 2024

Toffler mengajak kita untuk meninjau kembali makna "melek huruf." Jika di abad ke-20, buta huruf berarti tak bisa membaca; maka di abad ke-21, buta huruf berarti tidak bisa belajar ulang (relearn), membongkar kebiasaan lama (unlearn), dan beradaptasi dengan hal-hal baru (learn). Dalam konteks ini, literasi menjadi proses seumur hidup, lifelong learning, yang menuntut keterbukaan pikiran dan keberanian menghadapi ketidakpastian.

Di Indonesia, khususnya dalam komunitas lokal seperti masyarakat Dayak di Borneo, pernyataan Toffler ini bisa menjadi refleksi sekaligus panggilan. Kemampuan untuk belajar, menyimpan, dan mentransformasikan pengetahuan lokal — dari tacit menjadi eksplisit — menjadi fondasi penting bagi revitalisasi identitas budaya dan penguatan peradaban lokal. Ini adalah bentuk literasi yang kontekstual, membumi, dan strategis.

Baca Sukadana di Masa Lampau

Dengan demikian, melek literasi hari ini berarti melek terhadap proses belajar itu sendiri. Bukan hanya tahu apa yang harus dipelajari, tetapi juga bagaimana cara belajar, kapan harus belajar, dan bahkan kapan harus berhenti sejenak untuk mengolah makna.

Bagaimana masyarakat Dayak di Borneo?

Pentingnya literasi menjadi semakin mendesak di tengah arus modernitas dan dominasi narasi luar yang kerap mengaburkan sejarah lokal.


Membaca Kembali Sejarah Dayak Lewat Naskah Kuno

Membuka kembali lembaran naskah-naskah seperti Pararaton dan Nagarakertagama adalah langkah strategis untuk menegaskan keberadaan dan kontribusi wilayah Dayak dalam sejarah Nusantara. Nama-nama seperti Tanjungpura dan Bakulapura, yang muncul dalam teks abad ke-14, bukan sekadar catatan geografis, melainkan penanda eksistensi politik dan budaya Borneo dalam jejaring kerajaan besar seperti Singasari dan Majapahit.

Baca Borneo dalam Catatan Pararaton dan Nagarakertagama : Tanjungpura dan Bakulapura

Tanjungpura dalam Pararaton

Pararaton, naskah sejarah kerajaan Singasari, mencatat keberadaan Tanjungpura di wilayah pesisir barat Kalimantan sebagai bagian dari jaringan kekuasaan Raja Kertanegara. Di masa itu, Singasari bercita-cita menyatukan Nusantara, termasuk wilayah yang jauh seperti Borneo, yang kala itu dikenal sebagai Tanjungpura.

Tanjungpura diduga merupakan pusat peradaban awal Dayak, memiliki hubungan dagang dan budaya dengan pusat kekuasaan di Jawa Timur. Nama “Tanjungpura” mungkin berasal dari bentuk geografis tanjung besar yang menjorok ke laut menunjukkan posisi strategis Borneo dalam jalur pelayaran Asia Tenggara.

Bakulapura dalam Nagarakertagama

Dalam Nagarakertagama karya Mpu Prapanca (1365), Borneo disebut sebagai Bakulapura. Nama ini mencerminkan pentingnya wilayah ini dalam sistem kekuasaan dan perdagangan Majapahit. Bakulapura digambarkan sebagai bagian dari kekuasaan Majapahit yang luas, yang mencakup hampir seluruh kawasan Nusantara.

Kalimantan, Sapi Perah Republik yang Terlupakan? (In-depth reporting)

Bakulapura tidak hanya memiliki arti geografis, tetapi juga politis menggambarkan eksistensi entitas lokal yang menjalin hubungan diplomatik dan ekonomi dengan Majapahit. Ini menunjukkan bahwa Borneo bukan wilayah terpencil, melainkan bagian integral dari dunia maritim Nusantara.

Borneo dan Ambisi Politik Kerajaan Jawa

Hubungan antara Borneo (Tanjungpura/Bakulapura) dengan kerajaan Singasari dan Majapahit memperlihatkan bagaimana pulau ini menjadi bagian penting dari strategi politik dan ekspansi budaya kerajaan-kerajaan besar Jawa.

Setelah keruntuhan Singasari, Majapahit melanjutkan ambisi ini di bawah Mahapatih Gajah Mada melalui Sumpah Palapa, sebuah janji untuk tidak hidup nyaman sebelum menaklukkan (huwus) seluruh Nusantara. Borneo adalah salah satu wilayah yang masuk dalam cakupan sumpah tersebut.

Peran Borneo dalam Jaringan Perdagangan Maritim

Secara geografis, Borneo berada di jalur utama perdagangan antara Asia dan kepulauan Nusantara. Dengan sumber daya alam melimpahempah-rempah, hasil hutan, kayu, dan emas, pulau ini menjadi simpul penting dalam jaringan dagang kuno.

Baca FILSAFAT DAYAK

Majapahit memanfaatkan potensi ini untuk memperkuat jalur pelayarannya dan menjalin aliansi dengan entitas politik di luar Jawa. Nama-nama seperti Tanjungpura dan Bakulapura dalam naskah klasik membuktikan bahwa Borneo adalah wilayah yang sudah dikenal dan terlibat dalam arus perdagangan regional sejak abad ke-14.

Literasi Sebagai Upaya Pemulihan Ingatan Kolektif

Namun sayangnya, dalam narasi sejarah nasional, masyarakat Dayak kerap dikesampingkan. Di sinilah pentingnya literasi sebagai alat pembebasan dan pemulihan sejarah. Literasi bukan hanya membaca buku, tetapi membaca masa lalu, yakni jejak, simbol, lisan, hingga artefak di kampung-kampung Dayak.

Revitalisasi literasi di kalangan Dayak adalah misi kebudayaan:

  1. Untuk menghidupkan kembali memori kolektif,

  2. Merekam tacit knowledge,

  3. Menumbuhkan kesadaran historis generasi muda, dan

  4. Menyusun narasi tandingan yang adil dan kontekstual.

Dengan menggali kembali sejarah Tanjungpura dan Bakulapura, masyarakat Dayak bukan hanya menulis ulang sejarahnya, tetapi merebut kendali ruang peradaban yang selama ini terpinggirkan.

Borneo Hari Ini

Borneo—pulau terbesar ketiga di dunia—kini terbagi antara Indonesia (Kalimantan), Malaysia, dan Brunei. Namun, warisan sejarahnya yang tercatat dalam Pararaton dan Nagarakertagama tetap menyala, menjadi pengingat akan peran strategis pulau ini dalam sejarah Asia Tenggara.

Baca Bagaimana Dayak Mengubah dan Melawan Dominasi Oligarki

Memahami sejarah Borneo bukan hanya soal masa lalu, tetapi juga kunci membangun masa depan yang adil bagi generasi Dayak yang tak lagi menjadi penonton di tanah sendiri.

-- Masri Sareb Putra, M.A.


📖 Bacaan Terkait:

LihatTutupKomentar