Dayak dalam Konfigurasi Filsafat Politik

Dayak dalam Konfigurasi Filsafat Politik. Ilustrasi by RMSP.
PONTIANAK: DAYAK TODAY: Politik Indonesia saat ini tidak dalam keadaan "baik-baik saja".
Cara-cara mendapatkan kekuasaan misalnya, ditempuh dengan mengubah konstitusi secara cepat dan dengan praktik money politics.
Kita tidak (pernah) bisa mengharapkan buah yang baik dari bibit yang buruk. Seperti itu tamsil yang pas untuk cara-cara manusia Indonesia mendapatkan kekuasaan hari ini.
Maka, tidak heran terjadi political decay di mana-mana.
- Atas situasi ini, kita bertanya-tanya:
- Apakah yang salah dengan bangsa +62?
- Apakah sistem politiknya yang salah?
- Multipartai yang tidak jelas kelaminnya?
- Ataukah ada pada moral bangsa?
Politeia (Republik) Plato: Fondasi Negara Ideal
Plato, dalam karyanya Politeia (Republik), mengeksplorasi konsep negara ideal yang didasarkan pada keadilan dan struktur sosial yang harmonis.
Plato membagi masyarakat menjadi tiga kelas utama:
Kelas Penguasa (Filsuf-Raja): Mereka yang memiliki kebijaksanaan dan pengetahuan untuk memimpin. Plato berpendapat bahwa hanya para filsuf yang memahami bentuk kebaikan sejati yang layak memerintah (Plato, 380 SM).
Kelas Penjaga (Prajurit): Mereka yang bertugas melindungi negara dari ancaman eksternal dan internal, berperan sebagai penjaga ketertiban dan keamanan.
Kelas Produsen (Pekerja): Mereka yang bertanggung jawab atas produksi barang dan jasa, termasuk petani, pengrajin, dan pedagang.
Plato menekankan bahwa keadilan tercapai ketika setiap individu menjalankan perannya sesuai dengan kemampuannya tanpa mencampuri peran kelas lain.
baca Filsafat Bahasa Dayak dan Perbandingannya dengan Bahasa Yunani dan Latin
Dengan analogi ini, Plato menunjukkan bahwa keadilan dalam individu dan negara bergantung pada harmoni antara akal, semangat, dan nafsu (Plato, 380 SM).
Leviathan Thomas Hobbes: Dasar Kontrak Sosial
Thomas Hobbes, dalam karyanya Leviathan (1651), menawarkan pandangan yang berbeda mengenai sifat manusia dan pembentukan negara. Ia menggambarkan keadaan alamiah sebagai situasi di mana tidak ada otoritas politik, yang mengarah pada:
Keadaan Perang: Hobbes berpendapat bahwa tanpa otoritas yang kuat, manusia cenderung hidup dalam konflik terus-menerus, yang ia sebut sebagai "perang semua melawan semua" (bellum omnium contra omnes).
Hidup yang Brutal: Dalam kondisi ini, kehidupan manusia digambarkan sebagai "soliter, miskin, kotor, brutal, dan pendek" (Hobbes, 1651).
Untuk menghindari kekacauan tersebut, Hobbes mengusulkan konsep kontrak sosial, di mana individu secara sukarela menyerahkan sebagian kebebasan mereka kepada otoritas pusat yang kuat (Leviathan) untuk menjamin perdamaian dan keamanan (Hobbes, 1651).
Praktik Politik Wangsa Medici dan Pemikiran Machiavelli: Realisme Politik
Niccolò Machiavelli, dalam pengamatannya terhadap praktik politik Wangsa Medici di Firenze, menyusun karya Il Principe (Sang Pangeran) yang menawarkan pandangan pragmatis tentang kekuasaan dan kepemimpinan.
Beberapa poin kunci dari pemikirannya meliputi:
Virtù dan Fortuna: Machiavelli menekankan bahwa seorang penguasa harus memiliki virtù (kualitas seperti kecerdasan, keberanian, dan keterampilan) untuk mengendalikan fortuna (nasib atau keberuntungan) (Machiavelli, 1513).
Moralitas Fleksibel: Demi stabilitas dan kekuasaan, penguasa harus siap untuk bertindak di luar norma moral tradisional jika situasi menuntut.
Stabilitas sebagai Tujuan Utama: Politik sering kali melibatkan kompromi dan adaptasi terhadap realitas praktis daripada idealisme moral (Machiavelli, 1513).
Trias Politica: Pemisahan Kekuasaan untuk Mencegah Tirani
Charles-Louis de Secondat, Baron de Montesquieu, dalam karyanya De l'Esprit des Lois (Ruh Undang-Undang, 1748), memperkenalkan konsep pemisahan kekuasaan yang dikenal sebagai Trias Politica.
Montesquieu mengusulkan bahwa untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan tirani, kekuasaan negara harus dibagi menjadi tiga cabang yang independen:
Legislatif: Bertugas membuat undang-undang.
Eksekutif: Bertugas melaksanakan undang-undang dan mengelola administrasi pemerintahan.
Yudikatif: Bertugas menafsirkan undang-undang dan menegakkan keadilan (Montesquieu, 1748).
Konsep ini menjadi dasar bagi demokrasi modern, termasuk Indonesia, yang seharusnya mencegah dominasi kekuasaan oleh satu pihak.
Politik Menurut Harold Lasswell: Siapa Mendapat Apa, Kapan, dan Bagaimana?
Harold Lasswell mendefinisikan politik sebagai "who gets what, when, and how" (Lasswell, 1936). Definisi ini menekankan bahwa politik berkaitan dengan distribusi sumber daya dan kekuasaan dalam masyarakat. Dalam konteks Indonesia, praktik politik yang didominasi oleh oligarki dan kepentingan kelompok tertentu menunjukkan bahwa distribusi kekuasaan sering kali tidak adil.
Etika Politik: Deontologi vs. Teleologi
Aristoteles: Aristoteles menekankan etika kebajikan (virtue ethics) dalam politik, di mana tujuan utama negara adalah mencapai eudaimonia (kesejahteraan umum). Ia menekankan bahwa pemimpin yang baik harus memiliki karakter moral yang kuat dan kebijakan yang mengutamakan kesejahteraan rakyat (Aristoteles, 350 SM).
Jeremy Bentham: Dalam pendekatan teleologis, Bentham mengusulkan prinsip utilitarianisme, yaitu bahwa kebijakan yang baik adalah yang menghasilkan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang terbanyak (Bentham, 1789).
Bagaimana Politik Dayak?
Orang Dayak dalam politik harus mengutamakan kebaikan umum dan berlandaskan pada etika moral. Dalam praktik politiknya, Dayak seharusnya memegang prinsip "tulus seperti merpati, cerdik seperti ular" sebagaimana diajarkan dalam tradisi dan nilai-nilai budaya mereka.
Tulus seperti Merpati: Menunjukkan kejujuran, ketulusan, dan niat baik dalam membangun pemerintahan yang bersih dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat.
Cerdik seperti Ular: Menggambarkan kecerdasan, strategi, dan kemampuan beradaptasi dalam menghadapi dinamika politik yang sering kali penuh intrik.
Politik Dayak seharusnya berorientasi pada kesejahteraan kolektif dan menghindari praktik-praktik koruptif yang merusak moral serta kepercayaan masyarakat. Dengan mengedepankan etika politik berbasis kebajikan dan kepentingan umum, Dayak dapat menjadi teladan dalam membangun sistem politik yang lebih adil dan bermartabat.
Baca FILSAFAT DAYAK
Kondisi politik Indonesia saat ini mencerminkan berbagai tantangan yang telah dibahas dalam sejarah filsafat politik. Dari Plato hingga Bentham, kita dapat melihat bahwa permasalahan politik sering kali berkisar pada perebutan kekuasaan, legitimasi pemerintahan, dan moralitas dalam pengambilan keputusan.
Oleh karena itu, perbaikan sistem politik Indonesia tidak hanya bergantung pada reformasi institusional, tetapi juga pada perbaikan moralitas politik dan komitmen terhadap kesejahteraan rakyat.
Dayak dalam Kancah Politik Nasional: Dari Era Lama hingga Masa Kini
Sejak era Lama dan Orde Baru, masyarakat Dayak telah aktif dalam kancah politik nasional. Salah satu tonggak sejarah yang menandai partisipasi politik Dayak adalah keberadaan Partai Daya (PD), sebuah partai politik yang mewakili aspirasi masyarakat Dayak pada masanya. Peneliti seperti Jamie S. Davidson mencatat bahwa Partai Daya sempat menjadi wadah perjuangan politik bagi masyarakat Dayak, meskipun kemudian mengalami pasang surut seiring dinamika politik nasional.
Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Beberapa tokoh Dayak yang menonjol dalam politik pada masa itu adalah Palaunsoeka dan Oevaang Oeray.
Oevaang Oeray mencatat sejarah sebagai Gubernur Kalimantan Barat pertama yang berasal dari Dayak (1960–1966), menjadikannya simbol kebangkitan politik masyarakat Dayak di tingkat provinsi.
Selain itu, Tjilik Riwut juga merupakan sosok penting, dikenal sebagai Gubernur (Dayak) Kalimantan Tengah pertama (1958 - 1967) dan pahlawan nasional yang berperan besar dalam integrasi Kalimantan ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Politisi Dayak Masa Kini
Saat ini, kiprah politikus Dayak tidak hanya terbatas di tingkat lokal, tetapi juga telah merambah ke tingkat nasional. Tercatat bahwa:
- Belasan anggota DPR RI berasal dari masyarakat Dayak, memperjuangkan kepentingan daerah di Senayan.
- Satu orang menjabat sebagai ketua komisi di DPR RI, menunjukkan peran strategis dalam perumusan kebijakan.
- Satu gubernur dan dua wakil gubernur berasal dari Dayak, menegaskan bahwa kepemimpinan Dayak masih kuat di tingkat eksekutif provinsi.
- Belasan bupati dan wali kota berasal dari Dayak, membuktikan bahwa masyarakat Dayak memiliki kepercayaan kuat terhadap pemimpin dari kalangan mereka sendiri.
- Seorang putra Dayak dari Kalimantan Utara adalah salah satu Ketua Umum (Ketum) partai medioker di Pusat.
Dengan semakin banyaknya tokoh Dayak di berbagai tingkatan pemerintahan, masyarakat Dayak dapat menyandarkan harapan kepada mereka. Minimal, kehadiran para politikus Dayak ini dapat menjadi inspirasi dan motor pengaderan bagi generasi muda Dayak untuk terlibat lebih aktif dalam politik dan pemerintahan.
Lebih dari sekadar jumlah, tantangan terbesar bagi para politikus Dayak saat ini adalah memastikan bahwa suara dan kepentingan masyarakat adat tetap diperjuangkan di tengah arus politik nasional yang dinamis. Isu-isu seperti hak atas tanah adat, dampak perkebunan kelapa sawit, pertambangan, serta pemberdayaan ekonomi dan pendidikan bagi masyarakat Dayak harus tetap menjadi agenda utama yang mereka perjuangkan.
baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah
Masyarakat Dayak kini tidak hanya sebagai objek politik, tetapi juga sebagai subjek yang aktif dalam menentukan masa depan daerah dan bangsa. Semakin kuat keterlibatan politik mereka, semakin besar peluang untuk memastikan bahwa Dayak tidak hanya menjadi bagian dari sejarah, tetapi juga masa depan yang lebih cerah.
Filsafat Politik Dayak: Mencari Akar dalam Kebijaksanaan Lokal
Di manakah letak kandungan gizi menu Filsafat dalam konfigurasi Filsafat Politik Dayak?
Untuk memahami filsafat politik Dayak, pertama-tama kita harus memahami apa itu filsafat. Filsafat, dalam definisi klasiknya, adalah scientia rerum per causas ultimas—suatu upaya intelektual yang menggali realitas hingga pada sebab-sebab terdalamnya (Aristoteles, 350 SM). Ia adalah bentuk pemikiran radikal dalam arti yang sesungguhnya, berasal dari kata radix (Latin) yang berarti akar.
Baca Dayak Sukubangsa yang Jujur
Dengan analogi, filsafat adalah pencarian kebenaran yang mampu "melihat kucing hitam di atas batu hitam dalam kegelapan malam." Dalam konteks ini, filsafat politik Dayak bukan hanya wacana normatif tentang kekuasaan, tetapi juga suatu metode berpikir kritis yang menyelidiki struktur kekuasaan dan dampaknya terhadap masyarakat (Plato, 380 SM).
Jika filsafat politik klasik mengajukan pertanyaan tentang keadilan, legitimasi, dan kekuasaan (Machiavelli, 1513; Hobbes, 1651), maka filsafat politik Dayak muncul dari pengalaman historis dan kebijaksanaan komunitas yang menolak struktur politik yang eksploitatif. Ini bukan sekadar upaya memahami dunia, tetapi juga bagaimana mengubahnya menjadi lebih adil dan manusiawi (Freire, 1972).
Filsafat Politik Dayak dan Krisis Bangsa
Filsafat senantiasa lahir dari thaumasia —rasa heran yang mendalam atas ketidakseimbangan dalam masyarakat (Montesquieu, 1748). Juga dari bertanya-tanya serta mencari sebab-musabab, tali-temali segala sesuatu: mengapa begitu? mengapa bukan begini? Mengapa bangsa +62 ini tidak sedang dalam kondisi faktual baik-baik saja?
Orang Dayak dalam refleksi filosofisnya mengajukan pertanyaan kritis:
- Mengapa bangsa ini sakit?
- Mengapa terjadi pembusukan politik yang sistemik?
- Mengapa kualitas manusia Indonesia mengalami kemunduran?
- Bagaimana memperbaikinya?
- Apa solusi dari konsep dan pemikiran?
Pertanyaan ini bukan sekadar ungkapan frustrasi, melainkan refleksi kritis terhadap kondisi politik yang penuh dengan korupsi, eksploitasi sumber daya, dan marginalisasi masyarakat adat (Lasswell, 1936). Di dalamnya, terkandung tuntutan terhadap keadilan distributif, etika politik, serta tanggung jawab negara dalam menciptakan kesejahteraan bersama.
Baca Sensus Divinitas dalam Kehidupan Spiritual Manusia Dayak
Sebagaimana Bentham (1789) menekankan utilitarianisme dalam politik sebagai pencapaian kebahagiaan terbesar bagi sebanyak mungkin orang, filsafat politik Dayak menekankan prinsip belarasa—sebuah bentuk etika politik berbasis solidaritas komunitas. Dalam konteks ini, kekuasaan tidak boleh hanya menjadi alat dominasi, melainkan harus berfungsi sebagai sarana penciptaan kesejahteraan kolektif.
Maka, filsafat politik Dayak adalah filsafat yang berangkat dari kegelisahan terhadap realitas yang tidak ideal, membangun analisis terhadap persoalan yang terjadi, serta menawarkan solusi konkret berbasis kearifan dan pengalaman empiris. Ia menolak pragmatisme kekuasaan semata, sebagaimana dikritik Bentham (1789), dan justru menekankan politik sebagai medium untuk mencapai bonum commune—kebaikan bersama yang berakar pada nilai-nilai kolektif dan keberlanjutan sosial.
Dengan demikian, filsafat politik Dayak bukan hanya sekadar wacana, tetapi sebuah praksis yang berorientasi pada transformasi sosial.
Filsafat Dayak mengajukan alternatif terhadap sistem politik yang kerap tidak berpihak pada rakyat. Model kepemimpinan yang ditawarkan berbasis nilai-nilai Dayak yang luhur dan berkeadilan (keterrtiban yang adil dan makmur) dengan menempatkan manusia dan alam sebagai pusat kebijakan.
-- Masri Sareb Putra, M.A.
Daftar Pustaka
- Aristotle (350 BCE) Politics. Translated by Benjamin Jowett. Oxford: Clarendon Press.
- Bentham, J. (1789) An introduction to the principles of morals and legislation. London: T. Payne and Son.
- Freire, P. (1972) Pedagogy of the oppressed. Translated by Myra Bergman Ramos. New York: Herder and Herder.
- Hobbes, T. (1651) Leviathan. London: Andrew Crooke.
- Lasswell, H. D. (1936) Politics: Who gets what, when, how. New York: McGraw-Hill.
- Machiavelli, N. (1513) Il Principe (The Prince). Translated by Harvey C. Mansfield. Chicago: University of Chicago Press.
- Montesquieu, C.-L. de (1748) De l'Esprit des Lois (The Spirit of the Laws). Translated by Thomas Nugent. London: J. Nourse.
- Plato (380 BCE) The Republic. Translated by G. M. A. Grube. Indianapolis: Hackett Publishing.