Credit Union Lembaga sekaligus Literasi Keuangan Dayak

Credit Union, CU, Dayak, literasi keuangan, finansial, Lantang Tipo, Pancur Kasih, Keling Kumang, Mura Kopa, dan Banuri Harapan Kita, Gereja

 

CU ujud kepercayaan yang tak bisa dibeli.
Credit Union Lembaga sekaligus Literasi Keuangan Dayak. Ilustrasi by AI.

🌍 DAYAK TODAY  | PONTIANAK:  Credit Union —CU begitu ia disingkat. Datang ke Kalimantan Barat bukan seperti pasukan penakluk. Tidak pula seperti penginjil modern yang menggedor pintu-pintu rumah. 

CU datang seperti embun yang tidak pernah memilih dedaunan mana yang akan disinggahinya. Datang perlahan, nyaris tanpa suara, tetapi tak pernah gagal membuat basah tanah yang kering.

Baca Belajar Koperasi dari Credit Union (CU)

Ia diperkenalkan oleh Gereja Katolik pada awal tahun 1970-an. Di saat banyak hal lain sedang goyah, dan ketika kata “koperasi” justru memunculkan rasa pahit di lidah. Sebab trauma masih menggantung di udara, seperti asap yang tak kunjung pupus. 

Orang mengenang KUD bukan sebagai Koperasi Unit Desa, tetapi Ketua Untung Duluan. Suatu lelucon getir yang lebih menyerupai kenyataan. Banyak koperasi kolaps. Dana lenyap. Ketua pergi. Dan rakyat, sekali lagi, menjadi penonton dalam panggung yang penuh janji tapi kosong di dalam.

Trauma KUD, awalnya tidak mudah masuk

Maka CU pun tidak mudah masuk. Ia menghadapi dinding tebal yang dibangun oleh kecurigaan dan kelelahan. Tapi kepercayaan, seperti juga hujan yang sabar, selalu menemukan celah. 

Baca Kepercayaan adalah Modal Dasar Credit Union

Dan CU memilih jalan sunyi: menyapa satu per satu, menawarkan bukan sekadar uang, tapi pendidikan. Bukan kemewahan, tapi kemandirian. Ia memulai dari kecil: dari dusun-dusun yang jauh dari bank, dari meja-meja kayu tempat para ibu menghitung receh, dari percakapan-percakapan antara petani dan pastor, antara guru kampung dan penggerak sosial.

Lalu ia tumbuh.

Dan pertumbuhan itu bukan hanya angka. Ia menjelma gerakan. CU menjadi semacam “revolusi sunyi”: tanpa senjata, tanpa toa pengeras suara, tapi mampu mengubah wajah masyarakat dari dalam. Ia tidak menjanjikan kekayaan, tetapi mengajarkan bahwa kekayaan bisa diciptakan bersama, dijaga bersama, dan dibagikan secara adil.

CU menancapkan akar sedalam-dalamnya di Borneo 

Hari ini, siapa yang bisa menyangkal kenyataan itu?

CU telah menancapkan akar sedalam-dalamnya di Bumi Borneo. Bukan hanya ada, tetapi membesar dan menguat. Lantang Tipo di Bodok, Pancur Kasih di Pontianak, Keling Kumang di Sekadau dan Sintang, Mura Kopa di kota tak begitu besar di Kalbar, dan Banuri Harapan Kita di Batang Tarang —semuanya telah menjelma raksasa-raksasa ekonomi rakyat. 

Baca Credit Union (CU) Lembaga sekaligus Literasi Keuangan Orang Dayak

Aset mereka tak lagi berbicara dalam hitungan juta, tapi triliun rupiah. Anggotanya bukan lagi puluhan, tapi ratusan ribu orang. Mereka bukan lagi sekadar peminjam dan penyimpan, tapi pemilik. Member-owner—sebuah istilah yang memuliakan rakyat biasa.

Lantang Tipo tumbuh seperti namanya: tanaman tepus yang bisa tumbuh di mana saja, pantang tipu, lantang bersuara, tegak berdiri, menembus keterbatasan geografis dan pendidikan. Pancur Kasih menjadi pancuran harapan, membawa kasih ke daerah-daerah yang terlupakan oleh sistem dan dijangkau Negara. Ada untungnya juga sebab di daerah-daerah terpencil di ranah Dayak "orang miskin" tidak dipelihara negara, tetapi diberdayakan oleh gerakan CU.

Keling Kumang lebih dari sekadar lembaga keuangan. Ia dalah konglomerasi. Suatu gerakan sosial yang merayakan identitas Dayak dalam wajah modernitas. Mura Kopa dan Banuri Harapan Kita, dengan strategi khas daerahnya, menunjukkan bahwa kemandirian bisa dibangun tanpa harus menunggu bantuan dari luar.

Baca Dayak: Suku Bangsa Jujur dan Tepercaya

Kini masyarakat Dayak dengan 7 rumpun besar terdiri atas 405 subsuku dan populasi sedunia dengan sirka angka 8 juta itu bukan sekadar melek huruf, tetapi melek finansial. Mereka tahu menghitung. Mereka tahu menabung. Mereka tahu membedakan kebutuhan dan keinginan. Mereka tahu kapan harus meminjam, kapan harus menahan diri. Mereka tahu bahwa uang bukan segala-galanya, tapi tanpa mengelolanya, banyak hal bisa hilang begitu saja—termasuk harga diri.

CU mengajarkan semua itu, pelan-pelan, dalam bahasa yang bisa dimengerti siapa saja: bahasa kepercayaan, bahasa belarasa, bahasa kesabaran. Tak ada iklan gempita, tak ada bunga tinggi, tak ada jebakan manis. Yang ada hanyalah tekad bahwa orang kecil pun berhak bermimpi besar—dan bahwa mimpi itu bisa dicicil perlahan-lahan, dengan gotong royong.

Baca CU Banuri Harapan Kita dan Literasi Keuangan Masyarakat Lokal (Dayak dan Flores)

Jika bank datang dengan dasi dan formulir, CU datang dengan pelatihan dan pelukan. Dan barangkali karena itulah ia diterima, bukan hanya di kepala, tetapi di hati.

Karena pada akhirnya, ini bukan hanya tentang uang. Ini tentang martabat. Tentang bagaimana orang Dayak, yang dulu dianggap hanya tahu hutan dan ladang, kini menjadi pengelola lembaga keuangan. Tentang bagaimana mereka berhitung, bukan dengan rasa takut, tapi dengan rasa percaya. Tentang bagaimana mereka menjadi tuan atas nasibnya sendiri.

Dan semua itu, sekali lagi, dimulai dari sepatah kata yang paling sederhana, tetapi paling sukar dijaga: percaya. 

Harfiah "credit" adalah : percaya. Dari kata Latin credere (kata kerja), credo (saya percaya - orang pertama tunggal)  dan credit (ia percaya  - orang ketiga tunggal).

-- Rangkaya Bada

LihatTutupKomentar