Hukum Adat Dayak: Suara Hati, Suara Tuhan dalam Perspektif Etika Deontologi dan Teleologi

Dayak, suara hati, baik, moral, etika, sosial, hukum, aturan, rumah panjang, komunal, deontologi, teleologi, Bentham, Kant

 

Hukum Adat Dayak: Suara Hati, Suara Tuhan dalam Perspektif Etika Deontologi dan Teleologi
Dahulu kala  tetua adat, kepala kampung, dan komunitas memahami norma-norma adat secara kolektif tanpa memerlukan dokumen tertulis. Ilustrasi : penulis.

PONTIANAK: DAYAK TODAY: Hukum Adat Dayak mengalami dinamika dari masa ke masa, mencerminkan adaptasi dan respons terhadap perubahan sosial, politik, dan hukum nasional. 

Sebelum tahun 1980-an, hukum adat bersifat lisan dan diwariskan melalui tradisi turun-temurun. 

Para tetua adat, kepala kampung, dan komunitas memahami norma-norma adat secara kolektif tanpa memerlukan dokumen tertulis. Keputusan dalam perkara adat didasarkan pada konsensus dan pengalaman kolektif dalam komunitas.

Baca FILSAFAT DAYAK

Namun, pasca 1980-an, terjadi upaya kodifikasi hukum adat di berbagai komunitas Dayak. Misalnya:

  • Dayak Kanayatn menerbitkan buku Hukum Adat Kanayatn, yang mengatur berbagai aspek kehidupan sosial dan sanksi adat.
  • Dayak Ngaju mengenal Singer, sebuah sistem hukum adat yang kemudian terdokumentasi dalam bentuk tertulis.
  • Dayak Jangkang, yang termasuk sub-rumpun Bidayuh, juga mengodifikasi hukum adat mereka dalam bentuk buku resmi.

Kodifikasi ini bertujuan untuk memastikan keberlanjutan hukum adat di tengah perkembangan zaman, terutama dalam menghadapi modernisasi dan interaksi dengan hukum negara.

Dayak yang baik tidak memerlukan hukum

Bagi orang Dayak yang hidup dengan baik dan berpegang teguh pada nilai-nilai adat, hukum sebenarnya tidak diperlukan. Prinsip utama yang dipegang teguh adalah “Suara Hati adalah Suara Tuhan”—sebuah keyakinan bahwa seseorang yang memiliki nurani yang bersih akan otomatis hidup dalam kebaikan tanpa perlu dikekang oleh aturan yang bersifat koersif.

Baca Dayak Sukubangsa yang Jujur

Dalam kehidupan Rumah Panjang, sistem sosial Dayak secara alami menciptakan pengawasan dan aturan yang tidak tertulis. 

Di sinilah hukum sosial dan adat bekerja. Orang Dayak percaya bahwa manusia akan menjadi baik jika hidup dalam lingkungan yang baik. Rumah Panjang bukan sekadar tempat tinggal, tetapi juga sistem sosial yang membentuk karakter, di mana setiap individu bertanggung jawab atas dirinya dan komunitasnya.

Tetapi, siapa yang terlibat dalam perkara hukum? Apakah mereka orang-orang baik? Tidak! Hukum hanya dibutuhkan ketika ada individu yang melanggar keseimbangan dan tatanan sosial. Di masa lalu, hukum adat Dayak tidak dikodifikasi karena norma-norma sudah tertanam dalam budaya dan diterapkan melalui sanksi sosial serta pengawasan kolektif.

Baca Perdagangan dan Migrasi Besi di Austronesia

Namun, pada 1980-an, hukum adat mulai dikodifikasi. Langkah ini bukan untuk mengatur orang-orang yang sudah hidup baik, tetapi untuk mengendalikan individu-individu yang menyimpang, yang mengganggu harmoni komunitas. Ini adalah bukti bahwa hukum dalam masyarakat Dayak bersifat restoratif, bukan represif—bertujuan untuk mengembalikan keseimbangan sosial, bukan sekadar menghukum.

Perspektif Etika Deontologi dan Teleologi

Dari sudut pandang filsafat, sistem hukum adat Dayak dapat dianalisis melalui dua pendekatan etika utama: deontologi (Immanuel Kant) dan teleologi (Aristoteles dan Jeremy Bentham).

  1. Etika Deontologi (Immanuel Kant)

    • Etika ini menekankan bahwa tindakan moral harus didasarkan pada kewajiban, bukan pada konsekuensinya.

    • Dalam konteks hukum adat Dayak, norma-norma yang berlaku di Rumah Panjang bersifat imperatif dan harus ditaati karena merupakan bagian dari kewajiban moral yang diwariskan oleh leluhur.

    • Seperti Kant yang berpendapat bahwa tindakan moral harus didasarkan pada “categorical imperative”, orang Dayak juga percaya bahwa hidup dalam kebaikan adalah suatu kewajiban, bukan sekadar pilihan.

  2. Etika Teleologi (Aristoteles dan Jeremy Bentham)

    • Berbeda dengan deontologi, etika teleologi berfokus pada hasil atau konsekuensi dari suatu tindakan.

    • Dalam hukum adat Dayak, aturan-aturan adat berkembang dengan tujuan menciptakan kesejahteraan komunitas dan menjaga keharmonisan sosial.

    • Aristoteles, dengan konsep eudaimonia (kebahagiaan tertinggi), mengajarkan bahwa hukum dan etika harus bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang baik bagi masyarakat.

    • Jeremy Bentham, seorang utilitarian, berpendapat bahwa hukum harus menghasilkan manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang, sejalan dengan prinsip hukum adat Dayak yang bertujuan menyeimbangkan kehidupan bersama.

Panduan moral dan sosial

Dalam filsafat politik Dayak, hukum adat tidak berfungsi sebagai alat kekuasaan yang menekan individu, melainkan sebagai mekanisme moral dan sosial yang bertujuan menjaga keseimbangan hidup. 

Dari perspektif deontologi, hukum adat dipatuhi karena merupakan kewajiban moral yang melekat dalam kehidupan sosial. Sementara dari teleologi, hukum adat dikembangkan untuk mencapai kesejahteraan dan harmoni bersama.

Baca Dayak Bukan Berasal dari Yunnan tapi dari Gua Niah

Maka, bagi orang Dayak yang baik, hukum tidak perlu karena suara hati mereka sudah selaras dengan hukum alam dan moral. Namun, bagi warga yang menyimpang, hukum adat hadir sebagai penyeimbang, bukan sekadar alat penghukuman.

-- Masri Sareb Putra

LihatTutupKomentar