Ngayau (7): Ameliorasi dari Negatif ke Positif
Ngayau dan ameliorasi: Dayak sendiri mengubah citra-dirinya by AI. |
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA : Ngayau.
Sepatah kata menggetarkan. Sekaligus menggentarkan. Kata yang lama bergaung dari rimba Kalimantan. Menari di antara akar sejarah yang ditulis dengan darah dan air mata.
Ritual tua manusia Dayak yang pernah menjadi penanda keberanian, kini menjelma dalam bentuk yang jauh berbeda. Sepatah kata yang dulu mengandung ancaman, kini dipahat ulang dalam peradaban. Ameliorasi. Dari negatif menjadi positif.
Carl Bock menulis The Headhunters of Borneo (1881), sebuah catatan perjalanan yang lebih mencerminkan fantasi kolonial daripada kenyataan hidup orang Dayak.
Buku ini kemudian dicetak ulang oleh Marshall Cavendish Editions pada tahun 2009, tetap membawa warisan gambaran keliru: Borneo sebagai negeri liar yang dihuni oleh pemburu kepala dan perempuan telanjang. Tentu saja, ini sisi-pandang asing yang bias!
Baca Bias Barat dalam Kajian Kepercayaan Dayak
Penulis asing itu bukan hanya mencatat, tetapi membingkai sejarah dalam lensa yang tidak pernah menjadi milik kita. Sejarah Dayak, dalam tangannya, menjadi semacam kisah petualangan eksotis bagi pembaca Eropa—bukan kenyataan yang dipahami oleh mereka yang hidup dan mati di tanah ini.
Bock bukan sebagai pencerita yang bijak, melainkan sebagai penulis yang mencatat dengan kepala yang bukan kepala kita. Ia datang dengan mata yang telah dipenuhi oleh kisah-kisah Eropa tentang negeri liar, di mana peradaban adalah hak tunggal orang-orang yang datang dari utara. Ia mengamati, mencatat, dan menuliskan apa yang dilihatnya, tetapi tidak dengan pemahaman, melainkan dengan prasangka.
Baca Narasi Dayak: Dari Outsider’s View ke Dayak-Led Storytelling
Borneo bagi Bock adalah panggung bagi kisah-kisah yang telah ia bawa sejak berangkat. Ia mencari kepala manusia yang dipenggal, bukan sebagai bagian dari adat yang berakar pada kosmologi dan hukum, tetapi sebagai bukti bagi pembacanya di Eropa bahwa hutan ini masih buas, dan bahwa tugas peradaban belum selesai. Ia mengisahkan manusia berekor—dongeng yang lahir dari rasa haus akan eksotisme, lebih daripada kebenaran.
Tulisan Bock abadi. Bukan karena kebenarannya, tetapi karena dampaknya. Ia mengabadikan gambaran yang keliru tentang Dayak, membentuk bayangan yang melekat di kepala dunia selama lebih dari satu abad: manusia tanpa baju, pemangsa kepala, penghuni rimba yang asing bagi dunia modern. Namanya bertahan, tetapi bukan sebagai teman sejarah yang jujur—melainkan sebagai pencatat yang lupa bahwa sejarah harus dimengerti dari dalam, bukan hanya ditulis dari jauh.
3 Fase Ngayau: Dayak mengubahnya menjadi positif
Tiga kali ngayau sekurang-kurangnya dalam garis sejarah mengalami metamorfosis makna.
Pertama, dari ritual berdarah yang berakar pada mekanisme bertahan hidup, sebuah perayaan keberanian yang menyiratkan pesan: hanya yang kuat yang layak bertahan.
Dalam alam dunia Dayak, ngayau bukan sekadar aksi brutal, melainkan tanggung jawab terhadap komunitas, pernyataan eksistensi di tengah ketidakpastian. Kepala yang terangkat bukan sekadar trofi, tetapi tanda persembahan bagi leluhur, simbol bahwa kehidupan tidak berjalan tanpa pengorbanan.
Baca Ngayau (6)
Ngayau bukanlah sekadar pertumpahan darah tanpa alasan. Ia hadir dalam struktur sosial dan spiritual masyarakat Dayak, menciptakan keseimbangan antara dunia manusia dan dunia arwah.
Setiap kepala yang dipersembahkan bukan hanya penanda kemenangan atas musuh, tetapi juga bagian dari siklus hidup yang dianggap sakral. Ia adalah doa, pengorbanan, dan bentuk komunikasi dengan yang tak kasat mata. Namun, di balik itu semua, ada juga ketakutan dan dendam. Ngayau tidak hanya memupuk keberanian, tetapi juga memperpanjang lingkaran kekerasan yang sulit diputus.
Namun, sungai waktu terus mengalir, dan peradaban menuntut perubahan.
Ngayau pun mengalami transisi kedua: dari medan tempur ke gelanggang sport. Di sini, kemenangan tak lagi diukur dari kepala yang dipenggal, melainkan dari ketangkasan dan keberanian dalam arti baru. Sebuah permainan, sebuah adu keterampilan yang merayakan keunggulan tanpa perlu darah tertumpah. Piala menggantikan kepala, kejayaan direbut bukan dengan parang, melainkan dengan taktik dan strategi.
Perubahan ini tidak terjadi dalam satu malam. Ada perdebatan panjang, ada ketidaksetujuan, dan ada mereka yang masih bertahan dalam cara lama. Namun, perlahan, pemahaman bahwa keberanian dan kehormatan dapat diwujudkan dalam bentuk lain mulai tumbuh. Turnamen, pertandingan, hingga adu keterampilan menjadi panggung baru bagi mereka yang ingin membuktikan diri. Ngayau tidak lagi tentang mengambil kepala, tetapi tentang mengukir prestasi.
Baca Ngayau (5)
Kemudian, di abad modern, ngayau memasuki fase ketiga.
Ngayau bukan lagi terpatri dalam kisah perburuan fisik, tetapi menjadi metafora dalam dunia bisnis dan organisasi. Headhunter—sebutan yang kini lazim dalam ekosistem perusahaan— merupakan simbol bagaimana ngayau berevolusi. Kini, yang diburu bukan kepala dalam arti harfiah, melainkan kecerdasan, bakat, dan keahlian. Perusahaan berlomba-lomba mengumpulkan pribadi-pribadi sumber daya manusia terbaik, bukan untuk dimusnahkan, melainkan untuk diberdayakan. Ngayau menjadi upaya kolektif demi kemajuan bersama.
Transformasi ini bukan kebetulan. Tahun 1894, pertemuan di Tumbang Anoi menjadi titik balik sejarah. Para tetua Dayak dari berbagai sub-suku berkumpul, menyepakati dihapuskannya tradisi kayau.
Di titik itu, dunia lama bersentuhan dengan dunia baru. Saling-kayau ditinggalkan, digantikan oleh pemahaman bahwa keberanian dapat diekspresikan dalam bentuk lain—bukan melalui perang, tetapi dalam kemajuan dan inovasi. Ngayau tak hilang, hanya berganti rupa. Namun, semangatnya tetap sama: memerangi keterbelakangan, bagaimana bertahan, seperti apa menyiasati masa depan yang lebih baik lagi.
Dan yang penting, serta tetap ngayau dalam maknanya yang asli lagi sejati: menunaikan marwah leluhur untuk: menjaga dan mempertahankan Borneo rumah sekaligus lumbung dan hidup orang Dayak.
Kini, ngayau bukan sekadar perburuan kepala musuh di masa lalu. Ia menjelma menjadi sesuatu yang lebih luas, lebih dalam, lebih mendesak.
- Mengusahakan dan menerbitkan Sertifikat Tanah keluarga Dsayak adalah ngayau —sebuah perlawanan terhadap tangan-tangan tak terlihat yang ingin mencabut hak.
- Menjaga hutan Borneo adalah ngayau —melawan pelan tapi pasti kepungan alat berat yang merangsek ke dalam rimba.
- Bertahan di tanah sendiri adalah ngayau— sebab para investor, pengusaha tambang, dan birokrat berseragam telah menjadikannya medan laga yang sunyi.
- Membantu masyarakat memperoleh pengakuan wilayah adat adalah ngayau—sebuah upaya mengembalikan ingatan kolektif pada tanah yang diwariskan sejak sebelum peta dibuat.
- Sekolah dan kuliah adalah ngayau —sebuah perjalanan yang sunyi, penuh pertanyaan, dan kadang berakhir dengan pengkhianatan kepada kampung halaman. Tapi tetap, ia ngayau.
- Berusaha adalah ngayau —sebab dalam kerja keras ada perlawanan terhadap ketidakpastian.
- Menulis adalah ngayau —sebab setiap kata yang dicatat adalah tanda bahwa kita belum menyerah.
- Literasi adalah ngayau —sebuah pembacaan ulang atas dunia yang mencoba membuat kita lupa.
- Dan berbuat baik, meskipun terdengar sederhana, adalah ngayau —sebab di dunia yang penuh tipu daya, kebaikan tak lagi sekadar kebajikan, tetapi keberanian.
Menariknya, semangat ngayau dalam konteks modern justru semakin relevan. Dalam dunia yang bergerak cepat, di mana kompetisi menjadi pemandangan sehari-hari, jiwa ngayau tetap diperlukan. Namun, ia tidak lagi hadir dalam bentuk kekerasan fisik.
Ngayau kini tentang ketangkasan berpikir, kecepatan bertindak, dan keberanian mengambil keputusan dalam menghadapi tantangan baru. Para pemimpin bisnis, inovator, hingga akademisi, semuanya memiliki semangat ngayau dalam dirinya. Mereka berburu gagasan, mengincar kesempatan, dan menantang batas yang ada.
Baca Ngayau (4)
Ngayau juga telah merasuk dalam dunia politik dan budaya. Pemimpin yang sukses adalah mereka yang memiliki daya ngayau yang tajam—kemampuan untuk membaca situasi, mengenali talenta, dan menggerakkan perubahan. Sementara itu, dalam dunia seni dan sastra, ngayau hadir dalam bentuk pencarian identitas, eksplorasi kreativitas, dan upaya menghidupkan kembali nilai-nilai yang nyaris hilang.
Ngayau dan spiritnya untuk masa kini
Lalu, apakah ngayau hanya menjadi kisah masa lalu yang diromantisasi? Ataukah ia tetap berdenyut dalam urat nadi masyarakat modern?
Ngayau yang baru adalah tentang bagaimana sebuah masyarakat menafsir ulang tradisi mereka tanpa kehilangan jati diri. Seperti yang terjadi di berbagai belahan dunia, transformasi budaya bukan tentang kehilangan, melainkan tentang adaptasi. Ngayau tidak mati, ia berevolusi, menemukan jalan baru untuk tetap relevan.
Bahkan, dalam dunia digital, semangat ngayau tetap ada. Kini, persaingan terjadi di ranah maya. Inovasi adalah parang baru, ide adalah peluru, dan kecepatan bertindak adalah tameng yang menentukan kemenangan. Siapa yang cepat, siapa yang tajam dalam menganalisis tren, siapa yang mampu membaca perubahan, ialah yang bertahan. Ngayau di era digital bukanlah tentang mengalahkan musuh secara fisik, melainkan tentang mengungguli mereka dalam strategi dan pemikiran.
Namun, apakah kita kehilangan sesuatu dalam transformasi ini? Apakah dengan menghilangkan unsur fisik, kita juga menghapus makna terdalam ngayau? Ataukah kita justru menemukan cara baru untuk merayakan keberanian tanpa mengorbankan nyawa?
Pertanyaannya: siapa yang mengubahnya?
Jawabannya mungkin terletak pada kita semua—mereka yang menulis ulang makna, membentuk ulang sejarah dengan cara baru. Ameliorasi ngayau mencerminkan perjalanan peradaban itu sendiri. Bahwa manusia, dalam upayanya untuk terus maju, selalu mencari cara untuk mengubah kekerasan menjadi kebajikan, insting bertahan hidup menjadi perayaan keunggulan.
Baca Ngayau (1)
Kini, ngayau bukan lagi kisah tentang kepala yang terlepas dari tubuh. Ia menjadi narasi tentang pencarian terbaik di antara yang terbaik. Sebuah metamorfosis yang membuktikan bahwa sejarah tak pernah diam, bahwa makna bisa bergeser, dan bahwa bahkan tradisi yang paling keras sekalipun dapat berubah menjadi sesuatu yang lebih terang, lebih mulia.
Dari ritual ke permainan. Dari perang ke kompetisi. Dari pedang ke pena. Ngayau tetap hidup, tetapi dalam wajah yang lebih bersahabat, lebih membangun, dan lebih memuliakan manusia.
-- Masri Sareb Putra