Ngayau di Era Digital dan Industri 5.0 Ngayau (8)
Ngayau esensinya adalah: bertahan hidup, kreatif, dan menjadi smart people by AI. |
🌍 DAYAK TODAY | JAKARTA : Di tanah yang sunyi tapi tak pernah diam itu —hutan, sungai, ladang, kabut pagi yang naik dari lembah— seorang pria Dayak melangkah dengan tubuh yang biasa saja, tapi jiwa yang luar biasa.
Lelaki itu tidak membawa gelar doktor. Ia tak kenal Harvard. Ia tak pernah membaca David McClelland yang menyusun teori tentang need for achievement (N-Ach), kebutuhan untuk berprestasi yang konon jadi motor pembangunan.
Baca Ngayau (7): Ameliorasi dari Negatif ke Positif
Tapi ia memilikinya—bukan sebagai teori, melainkan sebagai darah.
Orang Dayak, sejak lama, hidup dalam medan yang tak menjanjikan kemudahan. Bukan karena mereka memilih kesulitan, tetapi karena mereka memilih kejujuran terhadap alam.
Dayak hidup dari tanah warisan moyangnya
Orang Dayak hidup bukan dari tanah yang disuburkan mesin, melainkan dari tanah yang mereka pupuk sendiri dengan keringat, keuletan, dan keyakinan bahwa hidup bukan untuk mengeluh—melainkan untuk dijalani.
Di sinilah endurance itu tumbuh. Sebagai sikap. Sebagai warisan. Sebagai etos yang tidak diajarkan di ruang kuliah, tapi diwariskan dari ladang ke ladang, dari ayunan parang hingga anyaman tikar.
Baca Ngayau (6)
Dulu, mereka menyebutnya ngayau—sebuah kata yang kini nyaris tak diucapkan tanpa rasa takut. Tapi kata itu, dalam akar terdalamnya, bukan tentang kekerasan, melainkan tentang keberanian menghadapi ketidakpastian. Tentang menjelajah. Tentang melampaui kampung halaman demi mempertahankan kehormatan, harga diri, dan tanah air.
Kini, ngayau itu tetap ada. Tapi dalam bentuk yang berbeda.
Orang Dayak kini merantau ke universitas, ke ruang-ruang Zoom, ke startup digital, ke parlemen, ke kantor pemerintahan, kampus, lembaga riset, ke pasar global. Tapi seperti leluhur mereka yang berjalan menyusuri sungai dengan perahu kecil, mereka pun menempuh dunia baru itu dengan sikap yang sama: tidak gentar.
Ngayau di era Industri 5.0
Di zaman Industri 5.0, manusia ditantang bukan hanya untuk berpikir cepat, tapi juga untuk tetap manusia. Untuk hidup di antara robot dan algoritma tanpa kehilangan rasa. Dan di titik inilah, orang Dayak membawa sesuatu yang tak bisa dikodekan oleh mesin: ketekunan tanpa pamrih, keteguhan tanpa sorotan.
Baca Ngayau (1)
The need for achievement yang dimaksud McClelland—yakni dorongan dalam diri manusia untuk melakukan sesuatu secara baik, bahkan luar biasa—telah hidup ratusan tahun dalam tubuh dan batin orang Dayak.
Tanpa teori. Tanpa seminar motivasi.
Lihatlah para petani ladang berpindah yang membuka hutan dengan tangan telanjang. Lihatlah perempuan yang menenun berbulan-bulan untuk satu lembar kain. Lihatlah pemuda-pemuda yang mendirikan koperasi, membangun kampus di tengah desa, dan membuat teknologi keuangan agar kampung tak lagi diperas kota.
Mereka bukan “berprestasi” karena ingin mendapat medali. Mereka berbuat karena mereka tahu: kalau bukan kita yang membangun tanah ini, siapa lagi? Kalau bukan kita yang bertahan, siapa yang akan mewarisi?
Mereka bukan heroik. Mereka hanya setia.
Dan di situlah letak kekuatan sebenarnya: pada daya tahan. Pada kesetiaan. Pada langkah kecil yang terus diulang tanpa harus dilihat.
Mereka tidak “berambisi” dalam pengertian orang kota yang mengejar status. Tapi mereka punya nyala kecil yang tak padam: ingin berguna. Ingin bermakna. Ingin agar anak-anak mereka kelak hidup tidak sebagai penonton, tapi sebagai pelaku.
Baca Ngayau (5)
Maka ketika dunia berubah menjadi digital, ketika algoritma menentukan apa yang kita lihat, dan AI mulai mengambil alih pekerjaan manusia—orang Dayak justru menunjukkan sesuatu yang tak bisa digantikan: ketekunan yang tak bisa dipalsukan. Semangat bertahan yang tidak dibuat-buat. Kecintaan pada tanah dan sesama yang tidak bisa dihitung dalam grafik.
Ngayau hari ini dalam dunia yang berubah terus
Ngayau hari ini bukan lagi soal membawa pulang kepala. Tapi membawa pulang nilai. Membawa pulang perubahan. Dan membawa pulang kebenaran yang sederhana: bahwa hidup ini bukan soal siapa yang paling cepat, tapi siapa yang paling teguh.
Di tengah kegilaan dunia, orang Dayak tidak berteriak. Tapi mereka berjalan. Dan terus berjalan.
Dan barangkali, di era industri paling canggih ini, yang kita butuhkan bukan hanya orang pintar, tapi orang yang kuat batin. Yang tahu bahwa dunia boleh berubah, tapi prinsip hidup tetap bisa bertahan.
Baca Dayak di Titik Hijau Pulau Kalimantan
Tiadak ada yang tidak berubah, demikian filsuf Yunani kuno, Heraclitus, kecuali: perubahan itu sendiri yang tidak berubah. "Panta rhei kai ouden menei" — segala sesuatu mengalir, tiada yang tetap. Heraclitus mengajarkan bahwa perubahan adalah satu-satunya keniscayaan dalam hidup. Dunia ini tidak pernah diam; ia bergerak, bergelombang, berubah arah, dan tak pernah kembali pada titik yang sama.
Dalam arus perubahan global yang semakin cepat ini—teknologi berkembang, budaya bergeser, sistem nilai berganti—mereka yang bertahan bukanlah yang paling kuat, melainkan yang paling mampu beradaptasi.
Orang Dayak tahu bahwa dunia boleh berubah. Dan karena itu, Dayak harus bisa berubah bersama dunia, tanpa kehilangan akar. Dayak yang cerdas (smart), ialah mereka yang membaca tanda-tanda zaman, memelihara kearifan leluhur, dan sekaligus menjalin simpul baru dengan dunia modern.
Seperti air sungai yang mengalir, Dayak tidak tinggal diam. Ia menyusup ke sela-sela batu, menyuburkan tanah, dan memberi kehidupan. Dalam pusaran perubahan, Dayak belajar menjadi lentur tanpa patah, berubah tanpa tercerabut, maju tanpa melupakan.
Seperti mandau yang diasah dalam diam.
Seperti sungai yang mengalir tak tergesa.
Seperti ngayau yang kini menjelma sebagai semangat yang tenang, tapi tak tergoyahkan.
Jakarta, 14 April 2025